Oleh: HM Joesoef (Wartawan Senior)
Senin lalu (22/3), melalui medsos, Yusuf Mansur mengumumkan bahwa dirinya melelang kacamata miliknya. Lelang dibuka dengan harga Rp 300 juta. Lazimnya sebuah lelang, dibuka dengan harga terendah, lalu naik, dan siapa yang menawar dengan harga tertinggi dialah yang dapat. Yang dilakukan Yusuf Mansur terbalik, dibuka dengan harga yang terbilang cukup tinggi untuk sebuah kacamata. Lelang kacamata tersebut untuk membangun asrama baru buat santri tahfidz. Sampai hari ke-3, tidak jelas nasib lelang tersebut. Dan seperti biasanya, jika gagal, Yusuf Mansur akan beralih ke opsi lain, dan seterusnya, tanpa mau belajar dari kegagalan-kegagalan sebelumnya.
Bagi Yusuf Mansur, memulung sedekah dengan judul akan membangun kelas dan asrama baru bukan hal yang baru. Tengoklah, pada 17 November 2019, di Hotel Grandika, Medan, ia mengadakan seminar dengan tajuk “The Power of Giving, The Miracle of Giving”. Fari Medan, seminar bergeser ke Bandung dan kota-kota lain. Juga lewat online.
Dalam seminar di Medan, Yusuf memberi penekanan pada pentingnya memberi dan balasan yang akan diterima oleh mereka yang ringan bersedekah. Berkali-kali lipat, bahkan lebih dari 70 kali lipat. Usai ceramah, baru diumumkan bahwa Pondok Pesantren (PP) Daarul Qur’an yang diasuhnya, membutuhkan dana. Ia meminta para peserta atau jamaahnya untuk memberikan sedekahnya kepada proyek yang sedang ia gagas: Ruang kelas untuk Pondok Pesantren Daarul Qur’an yang ada di Cipondoh, Kota Tangerang, Banten.
Ada 30 ruang kelas yang hendak dibangun, dengan kapasitas per kelas untuk 30 santri penghafal Qur’an. Wakaf per unit sebesar Rp 81 juta. Yusuf menganjurkan agar satu kelas bisa diborong oleh satu keluarga agar nama keluarga tersebut bisa disematkan sebagai nama bangunan atau kelas. Atas takdir Allah, Maret 2020 Indonesia diserang Covid-19. Memulung sedekah dan wakaf untuk kelas tersebut gagal. Minimal tidak sesuai dengan yang diharapkan. Masyarakat dan pemerintah Indonesia sibuk menghadapi serangan covid lengkap dengan dampak ekonomi yang sangat terasa.
Rupanya, nama besar Syekh Ali Jaber yang wafat dan dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren Daarul Qur’an di Cipondoh, dimanfaatkan. Yakni, beberapa pekan lalu Yusuf mengumumkan bahwa pihaknya akan membangun ruang kelas “Rumah Tahfidz Syekh Ali Jaber”. Untuk itu masyarakat diminta untuk menyalurkan sedekahnya ke sini. Rupanya, cara ini pun kurang bersambut. Maka, meluncurkan ide melelang kacamata yang tidak umum mahalnya itu. Apalagi dengan kondisi covid yang semua komponen masyarakat terdampak secara ekonomi.
Pengumuman lelang kacamata tersebut mendulang reaksi yang beragam, dari yang mendukung dan mendoakan, tidak sedikit yang nyinyir reaksinya. Bahkan, dengan nada nyinyir pula, ada yang hendak menyerahkan uang Rp 8 trilyun untuk medapatkan kacamata yang dilelalng itu. Ledekan, sindiran, dan sekaligus hujatan mewarnai “acara” lelang kacamata tersebut. Ada juga yang berkomentar, membangun kelas minta sedekah, giliran masuk ke pesantren, biayanya mahal.
Keluhan yang terakhir itu bukan mengada-ada. Mari kita tengok, berapa sih biaya untuk menjadi santrei di Daarul Qur’an? Biaya masuk untuk santri SD misalnya, pendaftaran Rp 850.000, uang masuk Rp 40 juta dan SPP per bulan Rp 4 juta. Sedangkan untuk SMP dan SMA, pendaftaran Rp 850.000, uang masuk Rp 31,5 juta, dan SPP per bulan Rp 2,7 juta. Jika ruang kelas dibebankan ke orangtua santri, cukup dengan 2 orang santri sudh bisa membangun 1 lokal kelas atau asrama.
Lha, ini kok masih minta sedekah? Untuk apa lagi? Pembaca yang kritis akan lebih faham untuk apa sebenarnya sedekah yang dihimpun tersebut. Wallahu A’lam.