Oleh: Akmal Burhanuddin Nadjib
Sangat disayangkan, banyak orang yang tidak mengenal sahabat besar yang memiliki peran penting dalam perjuangan Islam. Beliau adalah Zaid ibnu Khattab, saudara tua Umar ibnu Khattab.
Zaid ibnu Khattab sosok yang sangat dicintai oleh Umar, masuk Islam jauh sebelum Islamnya Umar. Beliau terlibat dalam berbagai kegiatan dakwah dan ikut serta dalam peperangan bersama Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم.
Ketika perang Badar terjadi, Umar pernah meminta Zaid agar menggunakan baju besi miliknya. Namun Zaid menolak sambil mengatakan, “Aku ingin mati syahid sebagaimana engkau menginginkannya.”
Akhirnya keduanya meninggalkan baju besi yang telah disiapkan.
Setelah Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم wafat, Zaid masih terus terlibat dalam berbagai pertempuran bersama kaum muslimin, diantaranya adalah memerangi para murtaddin dalam perang Yamamah. Banyak suka duka yang dialami Zaid bin Khattab sebagai pemegang panji ketika memberantas mereka yang keluar dari Islam.
Sebelum kemenangan yang diraih kaum muslimin atas orang-orang murtad, pasukan kaum muslimin sempat terdesak mundur hampir kalah. Melihat kondisi yang sedemikian carut marut, Zaid bin Khattab maju mengambil alih panji perang dan memimpin sambil mengatakan, “Ar-Rojjal bukanlah lelaki pahlawan.” (Rojjal adalah tangan kanan Musailamah)
Dengan suara tinggi Zaid berteriak, “Ya Allah, aku meminta ampun kepadaMu atas larinya sebagian sahabat-sahabatku. Aku berlepas diri dari klaim yang dilakukan Musailamah Al Kadzab dan istana Yamamah.”
Zaid bin Khattab terus berjalan di bawah panji-panji Muslim dan memerangi orang-orang murtad dengan keras dan mendapatkan kesyahidan ketika Abu Maryam Al-Hanafi, pengikut Musailamah membunuhnya.
Setelah perang berakhir dan kemenangan diraih pasukan muslimin, sebagian sahabat kembali ke Madinah untuk menyampaikan berita gembira tersebut. Diantara sahabat yang kembali ke Madinah adalah Abdullah bin Umar bin Khattab.
Setelah kabar gembira itu menyebar seantero Madinah, Umar bin Khatab mendatangi putranya dan bertanya, “Apa yang telah dilakukan pamanmu Zaid di Yamamah?”
“Beliau syahid,” jawab Abdullah
Abdullah mengangkat bahunya ketika Umar marah sambil berkata, “Kenapa bukan kamu yang syahid, bukan kamu? Pamanmu menemui kesyahidan sedangkan engkau masih hidup? Kenapa kamu masih menampakkan wajahmu dihadapanku?”
“Ayah, paman telah meminta kepada Allah agar mendapatkan kesyahidan. Allah mengabulkan permintaannya. Sedangkan aku ikut berjihad bersamanya dan meminta syahadah, namun Allah belum memberikannya,” jawab Abdullah dengan santai merespon pertanyaan sang ayah yang sangat sedih terpukul denga kesyahidan Zaid.
Dengan tersedu Umar berkata, “Zaid telah mendahuluiku mendapatkan dua kebaikan; ia telah masuk Islam sebelumku dan memperoleh kesyahidan.”
“Aku begitu merasakan masa kanak-kanak ketika bersama dengan Zaid,” kenang Umar
Umar sangat bersedih dengan kesedihan luar biasa atas syahidnya Zaid.
Zaid menjadi sosok yang paling terdepan dan pemberani dalam pertempuran bersama Rasulullah. Keberanian itu dilakukan saat memerangi mereka yang murtad, hingga akhir pertempuran dan kesyahidan menjemputnya
(Sumber : Siyar A’lam An Nubala – Imam Adz Dzahabi – Usdul Ghabah fie Marifatis Shohabah – Ibnu Hajar Al Asqolani)