Oleh: LBH Makassar
Tiga petani dari Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan saat ini sedang menunggu putusan Jaksa Pengadilan Negeri Watansoppeng. Mereka didakwa menebang pohon jati di dalam kawasan hutan lindung.
Ketiga petani tersebut adalah Kakek Natu bin Takka (75), Ario Permadi (31) dan Sabang bin Beddu (47). Mereka berasal dari lingkungan Ale Sewo, Kecamatan Lalabata, Soppeng. Mereka tidak tahu, kalau kebun jati yang selama ini dikelolanya secara turun-temurun sejak ratusan tahun lalu diklaim sebagai kawasan hutan lindung oleh pemerintah.
Pohon jati yang mereka tebang adalah pohon yang ditanam sendiri di kebun miliknya. Kebun itu memiliki luas ±2600 meter persegi yang berjarak ±100 m dari rumahnya. Kebun milik Kakek Natu ini adalah warisan dari orang tuanya yang telah meninggal puluhan tahun lalu.
Namun hukum berkata lain, Kakek Natu, Ario Permadi dan Sabang diancam dan dipenjarakan karena mengelola kebun dan memotong pohon jati yang mereka tanam sendiri.
Mereka dijerat Pasal tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (UU P3H). Padahal seharusnya undang-undang ini digunakan untuk menjerat pelaku pembalakan liar dari kelompok atau korporasi yang secara sistematis melakukan kejahatan kehutanan. Sangat tidak adil menggunakan pasal ini untuk menjerat petani kecil!
Sebelumnya, di tahun 2018 ada perkara serupa, 3 orang petani Soppeng di jerat dengan pasal UU P3H. Saat itu Hakim Pengadilan Negeri Watansoppeng memutuskan ketiganya tidak bersalah. Dalam pertimbangannya, hakim berpendapat bahwa petani tradisional yang mengelola kebun secara turun-temurun dan berladang untuk kepentingan sandang, pangan dan papan tak boleh dipidana. Putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap dan menjadi yurisprudensi.
Namun kali ini, Hakim Pengadilan Negeri Watansoppeng tidak berpihak kepada Natu sekeluarga. Pada 19 Januari 2021, Majelis Hakim memutuskan untuk Memvonis mereka 3 (tiga) bulan penjara.
Natu sekeluarga dan Penasehat Hukum tidak menerima Putusan tersebut dan mengajukan upaya Banding.
Oleh karena itu, Lembaga Batuan Hukum (LBH) Makassar meminta kepada Hakim Pengadilan Tinggi Makassar yang menangani perkara ini untuk mempertimbangkan putusan pengadilan sebelumnya (tahun 2018) dan membatalkan putusan Hakim yang memvonis Natu sekeluarga selama 3 bulan. Bebaskan Kakek Natu, Ario Permadi dan Sabang dari semua tuntutan. Karena pemidanaan terhadap petani kecil bukanlah solusi dari kerusakan hutan, tapi justru akan semakin mendekatkan para petani dengan kemiskinan.
Kalau pemidanaan seperti ini terus berlanjut, bakal ada 25 ribu lebih kampung/desa di Indonesia dalam catatan BPS atau 1.028 desa/kelurahan. Ini akan menjadi bom waktu masifnya kriminalisasi rakyat dan pengusiran petani-petani, masyarakat adat dari sumber-sumber agraria, penghidupan dan tanah-tanah leluhurnya.