Mungkinkah Menjadi Common Enemy?
Oleh: Pierre Suteki
Siapa yang tak kenal Abu Janda alias Permadi Arya? Semula saya agak kurang mengenal juga dengan namanya, Abu Janda. Siapa gerangan dia? Setelah melihat di acara Indonesia Lawyers Club (ILC) TV One saat itu “berhadapan” dengan Ustadz Felix Siaw membahas perihal bendera tauhid barulah saya mulai mengenalnya. Ada yang menyebut sebagai pegiat medsos, influencer mungkin juga ada yang menamainya buzzer. Saya turut mengamati sepak terjangnya yang acapkali dapat dinilai kontroversial bagi sebagian kalangan umat Islam, bahkan patut diduga ucapannya sebagai bentuk penistaan terhadap agama dan atau ada unsur ujaran kebencian. Alkisah, Abu Janda pernah dilaporkan ke polisi sebanyak 6 kali, termasuk yang 2 yang terakhir ini soal rasisme terhadap mantan anggota Komnas HAM Natalius Pigai dan Islam sebagai agama arogan. Berikut keenam laporan polisi tersebut:
1. Penghinaan Bendera Tauhid. Laporan tersebut tercatat dengan nomor LP TBL/6215/XI/2018/PMJ/Dit.Reskrimsus tertanggal 14 November 2018.
2. Dilaporkan Ustad Maaher At Thuwalibi atas dugaan pencemaran nama baik. Laporan tersebut teregister dengan nomor LP/B/1010/XI/2019/BARESKRIM.
3. Menghina Agama Islam. Laporan tertanggal 10 Desember 2019 dengan nomor laporan polisi STTL/572/XII/2019/BARESKRIM.
4. Dilaporkan Sultan Pontianak Karena Menghina Sultan Hamid II. Laporanya teregister dengan nomir STTp/351/VII/2020 tanggal 9 Juli 2020.
5. Ucapan Rasis Pada Kasus Natalius Pigai. Laporan pun telah diterima dengan nomor STTL/30/I/2021/Bareskrim tertanggal 28 Januari 2021.
6. KNPI melaporkan Abu Janda ke Bareskrim Polri pada Jumat (29/1) terkait unggahan status Islam arogan dari Arab. Laporan bernomor LP/B/0056/I/2021/Bareskrim tanggal 29 Januari 2021.
Untuk 2 laporan terakhir ini, Abu Janda diduga melanggar:
(1) Pasal 45 ayat 3 Junto Pasal 27 ayat 3 dan atau Pasal 45 ayat 2 Junto Pasal 28 ayat 2 Undang-undang nomor 19 tahun 2016 tentang ITE, dan Pasal 310 KUHP dan atau Pasal 311 KUHP tentang diskriminasi etnis;
(2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Kebencian atau Permusuhan Individu dan/atau Antar Golongan (SARA), Pasal 28 ayat (2), penistaan agama UU Nomo1 tahun 1946 tentang KUHP Pasal 156 a.
Laporan DPP KNPI ke Bareskrim Polri terhadap Permadi Arya alias Abu Janda dalam kasus rasisme Natalius Pigai mendapat dukungan luas dari berbagai khalayak. Pemberitaan yang masif tampaknya membuat para tokoh turut bicara untuk menyikapi perbuatan Abu Janda yang sangat beraroma rasisme. Kali ini partai-partai di DPR kompak satu suara mendukung pelaporan atas Abu Janda agar ditindak secara tegas berdasarkan hukum yang berlaku, tanpa pandang bulu. Semua partai-partai di DPR (minus PDIP) meminta pihak polisi untuk menindak Permadi Arya alias Abu Janda, dari mulai NASDEM, Gerindra, Golkar, PD, PPP, PKB, PKS dan PAN.
Kekompakan partai ini seolah mengisyaratkan agar Kapolri Jenderal Listyo Sigit yang baru saja dilantik mau membuktikan janjinya ketika menjalani fit and proper test di DPR belum lama ini. Kapolri baru ini berjanji akan menegakan hukum dengan adil, tidak tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Tidak ada lagi hukum pisau dapur.
Di sisi lain juga diperoleh berita (Kompas.com 30/1/2021) bahwa Satuan Koordinasi Nasional (Satkornas) Barisan Ansor Serbaguna (Banser) memberikan pernyataan sikap terkait pelaporan Permadi Arya atau Abu Janda ke kepolisian dalam kasus dugaan ujaran kebencian bernuansa suku, agama, ras dan antar golongan ( SARA). Wakil Kepala Satkornas Banser Hasan Basri Sagala meminta semua pihak harus menghormati dan menjunjung tinggi asas kesamaan hak di hadapan hukum atau equality before the law. Banser akan mendukung kepolisian agar bisa bertindak seadil-adilnya dalam melakukan proses hukum terkait kasus yang melibatkan Abu Janda.
Kekompakan partai-partai di DPR (minus PDIP) dan dukungan masyarakat luas, ormas, tokoh-tokoh masyarakat dan agama, akademisi dan lain-lain juga dapat dimaknai bahwa Abu Janda alias Permadi Arya telah dianggap sebagai musuh bersama (common enemy) karena dianggap berpotensi memecah belah bangsa yang sangat menghormati kebhinekaan dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Tindakan Permadi Arya juga berpotensi merusak persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Penempatan Abu Janda menjadi common enemy saya kira juga tidak berlebihan. Hal ini dikarenakan kekesalan masyarakat terhadap Abu Janda yang lebih sering melecehkan Islam dan umat muslim lewat konten-kontennya di media sosial. Setelah tindakan rasisnya terhadap Natalius Pigai dilaporkan, kini Abu Janda membuat ulah baru yang menyerang kehormatan umat Islam dengan menyebutkan kalau Islam merupakan agama pendatang yang arogan. “Islam memang agama pendatang dari Arab, agama asli Indonesia itu sunda wiwitan, kaharingan dan lain-lain. dan memang arogan, mengharamkan tradisi asli, ritual orang dibubarkan, pake kebaya murtad, wayang kulit diharamkan. kalau tidak mau disebut arogan, jangan injak-injak kearifan lokal,” cuitnya lewat akun @permadiaktivis1.
Common enemy menjadi sangat penting dalam memerangi rasialisme dan penistaan agama, karena keduanya merupakan perbuatan yang sengaja ditujukan untuk merendahkan martabat manusia dan komunitas agama yang memiliki derajat tinggi. Selanjutnya, common enemy akan mendorong terciptanya common sense of crisis (rasa keprihatinan bersama) dan akhirnya akan membentuk common action (tindakan bersama untuk melawan).
Apalagi yang ditunggu oleh Aparat Penegak Hukum (APH) ketika kita bersama telah dihadapkan pada fakta adanya common enemy, salah satunya adalah Abu Janda alias Permadi Arya ini. Prinsip Equality before the law dan presumption of innocence, memang perlu diperhatikan, namun jangan sampai melemahkan tindakan aparat penegak hukum memproses hukum Abu Janda. Jika perlu, mengingat sudah 5 hingga 6 kali Abu Janda dilaporkan karena dituduh melakukan berbagai tindak pidana, maka untuk kasus 2 terakhir ini lebih baik setelah melalui pemeriksaan dalam rangka penyelidikan dan penyidikan serta terang bahwa Abu Janda terdapat alat bukti bahwa ia melakukan tindak pidana rasisme dan penistaan agama, Abu Janda dapat ditahan mengingat ancaman pidana delik rasisme hingga 5 tahun. Hal ini sesuai dengan Pasal 16 UU No. 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Pada Pasal 16 disebutkan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Demikian pula terkait dengan tindak pidana penistaan terhadap agama. Delik penodaan agama yang kerap disebut penistaan agama yang diatur dalam ketentuan Pasal 156 huruf a KUHP ini sesungguhnya bersumber dari Pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama (UU No. 1/PNPS/1965) yang berbunyi: ”Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.”
Apakah kita akan serius menangani common enemy terkait dengan Abu Janda yang diduga telah melakukan perbuatan rasisme dan penistaan agama ini? Semua bergantung pada para pihak khususnya APH dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) mulai dari keseriusan pihak Kepolisian, kemudian kejaksaan dan pengadilan. Kita tagih janji atau komitmen Kapolri Baru untuk menegakkan hukum dan menghadirkan keadilan di tengah masyarakat sehingga slogan PRESISI (Prediktif Responsibiltas Transparansi Berkeadilan) benar-benar dapat diwujudkan, bukan macan kertas belaka. Semua pihak hendaknya maju terus pantang mundur untuk melawan dan menghentikan langkah para rasialis dan penista agama. Mereka adalah common enemy masyarakat, bangsa dan negara yang harus segera ditindak “tegas dan terukur”.