Oleh: Abdillah Thoha
Banyak orang ingin dianggap mulia. Mendapat kehormatan dan pengakuan dari orang lain dianggap penting. Juga ingin dikagumi. Apakah karena ilmunya, kedudukannya, hartanya, keturunannya, atau prestasinya. Ilmuwan senang mempublikasikan gelar kesarjanaannya. Orang kaya mempamerkan hartanya. Pejabat menunjukkan kekuasaannya. Kaum ningrat menggelar nasabnya. Wanita cantik memamerkan tubuhnya. Dan seterusnya.
Semua itu adalah kemuliaan di mata manusia. Hasil yang diperoleh adalah status sosial, kepercayaan, dan sanjungan. Sedang di sisi Allah ukuran kemuliaan sangat berbeda. Kemuliaan diukur dari derajat ketakwaan. Inna akramakum ‘indallahi atqakum. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa diantara kalian. (QS Al-Hujurat:13) Kita tidak akan membahas makna takwa disini. Cukuplah untuk sementara mengatakan bahwa takwa adalah semua perbuatan baik yang berlandasakan kepatuhan kepada perintah dan larangan Allah.
Sebahagian orang beriman merasa bahwa Tuhanlah yang telah memuliakan dirinya dengan harta, kedudukan dan sebagainya, padahal sebenarnya yang diterimanya adalah sebuah ujian dari Allah. Sebaliknya ketika diuji dalam keterbatasan rezeki dia merasa telah direndahkan oleh Allah. (QS Al-Fajr:15-16)
Di kalangan agamawan ada juga yang mencari kemuliaan dengan memamerkan jumlah pengikutnya, betapa hebat ibadahnya dan kedermawanannya, dan betapa tinggi ilmunya. Kesemuanya itu dilakukan demi mengokohkan statusnya sebagai ulama atau ustaz yang berhormat. Lebih gawat lagi ketika agamawan mencampur dakwahnya dengan upaya mencari kedudukan dan kekuasaan.
Ada juga gelar-gelar kiai, haji, ustaz, habib, ajengan, imam, syekh, profesor, jenderal, doktor,dan lain-lain yang melekat ke namanya untuk memastikan bahwa masyarakat dan umat mengerti statusnya dan karenanya memperlakukan mereka dengan terhormat.
Bagi orang-orang yang mencari kehormatan, substansi tidak penting. Yang penting adalah bagaimana lingkungan masyarakatnya bisa terpesona oleh gelarnya, terbiuskan oleh kharismanya, dan dapat menerima mereka sebagai pujaannya. Permainan kata-kata, polesan, pakaian, dan penampilan jauh lebih penting dari isi pesan yang disampaikan.
Sebagai akibat dari semua itu, dunia penuh dengan para pemimpin polesan dan umat manusia dikendalikan oleh para pencari status sosial yang tidak pernah sungguh-sungguh bermaksud memperbaiki keadaan. Kemuliaan semu dan kehormatan duniawi begitu berharga sehingga harus dipertahankan bila perlu dengan bermain keras dan menyakiti siapa saja yang mencoba menggesernya.
Sesungguhnya orang mulia sejati itu sangat langka karena mereka tidak suka menonjolkan diri dan seringkali menyembunyikan amal baiknya. Begitu rendah hati sampai kadang-kadang kita tidak bisa membedakan orang-orang ini dengan manusia biasa. Mereka biasanya muncul ke permukaan ketika ada krisis kamanusiaan atau bencana alam sebagai pahlawan atau pemimpin yang membimbing dan memberi solusi.
Ada pula orang yang meraih kemuliaan sejati dari prestasi hasil kerja cerdasnya tetapi tidak mengklaim bahwa semua yang dicapainya semata dari hasil kerjanya sendiri tapi berkat sumbangan dan dukungan banyak pihak dan kehendak serta bantuan Allah. Kerendahan hati adalah tanda dari kemuliaan sejati dan kunci dari kesuksesan berikutnya.
Buku suci Al-Quran juga disebut sebagai Kitab Mulia (Al-Quran al Karim) karena berisi kata-kata yang datang dari Yang Maha Mulia (Al Karim), yang tidak lain adalah salah satu asma baik Tuhan. Yaitu Allah yang tidak berhenti mencipta, yang menebar kebenaran, membagi kebaikan, dan menciptakan keindahan. Semuanya itu dilakukan dengan penuh kasih sayang kepada hambanya. Karenanya, manusia yang diminta meneladani akhlak Tuhan akan meraih kemuliaan sejati bila tidak berhenti mencipta dan kreatif, berusaha keras menggunakan akalnya untuk mendekati kebenaran, dan mampu mempersembahkan setiap hasil kerjanya dengan memelihara dan mewujudkan keindahan yang dilandasi kasih sayang.
Syarat itu berlaku pula bagi umat Islam bila ingin meningkatkan derajatnya menjadi umat yang dimuliakan manusia dan Allah. Melihat ke depan dan membangun peradaban dengan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mewujudkan keadaban dengan mengedepankan keadilan dan akhlak dalam setiap langkahnya. Semua ini hanya bisa tercapai bila penguasa dan pemimpin muslim melandasi semua tindakannya atas iman dan takwa dalam arti sebenarnya dan membuka diri bagi segala hikmah yang mungkin diraih, dari manapun datangnya.
Islam adalah agama yang mulia, akan tetapi kemuliaannya seringkali tertutup oleh tingkah-laku penganutnya. Kemuliaan Islam bisa terwujud dari prestasi nyata umatnya. Abad ke 21 adalah abad ilmu pengetahuan dan teknologi. Abad dengan perubahan cepat yang hanya bisa terkejar dengan lompatan ke depan. Bukan dengan terus menerus melihat ke belakang dan bertikai tentang penafsiran masa lalu. Bukan pula berbangga tentang keislamannya dengan mengibarkan bendera dan menriakkan takbir.
Kemuliaan itu sebuah anugerah. Bukan diminta atau dikejar. Wallah a’lam
(Dari buku: “Buat Apa Beragama?”)