Oleh: Chepy Trisna (Pemerhati Politik dan Hukum)
Hampir setiap fase waktu, pada bangsa ini terjadi negative big case, peristiwa besar yang menunjukan prilaku buruk dari para penduduknya.
Setelah heboh dengann Mega Korupsi yang melibatkan Pejabat Tinggi dan Penegak Hukum, kini bangsa gaduh dengan dugaan dibunuhnya 6 anak muda simpatisan ormas FPI.
Bangsa yang penduduknya katanya berfalsafah Pancasila, dimana Ketuhanan Yang Maha Esa seharusnya sebagai basis dalam bersikap, dimana Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, seharusnya sebagai landasan dalam bertindak, ternyata hnya seperti mitos, faktanya hanya proyek moral yang selalu gagal dalam implementasi.
Negara yabg katanya berbentuk rechtsstaat, dimana negara dikelola atas dasar rule of law, pada kasus 6 simpatisan ormas FPI ini, malah seperti negeri “barbar”, dimana banyak peristiwa penegakan hukum yang berkesan tidak lagi berdasarkan due process of law, tapi diduga kuat terdapat tindakan exstrajudicial execution (ada tindakan diluar hukum), dimana seseorang dimatikan hak hidupnya, tanpa melalui proses pengadilan.
Dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) keadaan ini disebut dengan extrajudicial killing, tapi dalam perspektif hukum pidana disebut dengan unlawfull killing, pembunuhan diluar pengadilan.
Kedua diksi tersebut memiliki makna yang sama secara esensi, yaitu adanya pelanggaran atas hak hidup dari korban.
Jika dugaan ini benar, terjadi kepada 6 orang simpatisan FPI, maka Presiden sebagai bagian dari penduduk negeri, yang memegang amanah penegak Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, harus segera melakukan tindakan nyata, melalui pembentukan Team Pencari Kebenaran secara independen, agar masalah sebenarnya dapat terungkap.
Beberapa keterangan Polri yang tidak logika menurut Indonesian Police Watch (IPW), beberapa info yang meyakinkan dari FPI, harus divalidasi berdasarkan fakta yang sebenarnya, oleh karenanya, jika Presiden tidak bersikap, dan menjadi pendiam, maka DPR, Komnas Ham, Partai, dan Lembaga indepnden lainnya, harus berinisiatif membentuk team, untuk membuat terang benderang masalah ini.
Diluar dari upaya itu semua, hal yang tidak boleh dilupakan oleh bangsa ini, adalah adanya hypotesis degradasi moral dan ahlak, baik secara teologis atas nilai “agama yang dianutnya, maupun dari aspek ideologis, atas nilai” falsafah bangsa yang telah disepakati.
Efak samping dari hypotesis ini maka menjadi konsekwensi logis, jika bangsa ini tidak lagi memiliki tokoh pemersatu bangsa, hilangnya rasa kemanusiaan, keadilan, adab, moral etik dan ahlak, pada sebagian besar penduduk bangsa ini.
Penduduk yang telah mendapat amanah menjadi pemimpin, presiden, mentri, TNI dan Polri, penduduk yang telah mendapat amanah menjadi tokoh agama, tokoh bangsa, tokoh ormas, hingga penduduk yang tetap jadi rakyat, tidak lagi mampu memberi solusi, namun sebaliknya terlibat dlm masalah politik praktis dukung mendukung.
Akibat lain secara nasional, kini menjadi sulit, siapa perwakilan penduduk negeri ini, yang dapat menjadi pemersatu bangsa, ketika terjadi konflik ditengah masyarakat, siapa orang yang dapat menjadi penengah, siapa pihak yang dapat ditunjuk sebagai Dewan Kerukunan Bangsa?
Nothing!
Sadarilah, hadirnya clasic criminal crime, kejahatan klasik seperti exsta ordinary corrupting dan exstrajudicial killing, hanyalah akibat dari sebab, karena rusaknya ahlak dan moral bangsa dengan berbagai sandiwara.
Secara teoritis, kerusakan dan carut marut bangsa ini tidak akan mudah berakhir, bahkan akan terus berlanjut, hingga hadirnya kesadaran dari para penduduk negeri, bahwa saatnya kembali kepada jalan yang benar, bahwa saatnya menyadari ternyata dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau, “innamal-hayaatud-dun-yaa la’ibuw wa lahw”, hanya pada tingkat kesadaran itulah, maka negeri ini akan kembali berjaya.
“Walau anna ahlal-qurooo aamanuu wattaqou lafatahnaa ‘alaihim barokaatim minas-samaaa`i wal-ardhi.” (Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS. 7: 96)
Kapan ini terjadi? Entah kapan! Mungkin kapan-kapan! Mungkin setelah kain kafan. Waulohu’alam.