Para pelopor berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI) : Presiden Soeharto, Prof. Dr. Buya Hamka, KH. Syukri Ghazali, Prof. KH. Ibrahim Hosen, KH. Hasan Basri dan Prof. KH. Ali Yafie.
Presiden Soeharto.Lahir tahun 1921. Wafat tahun 2008. Presiden Republik Indonesia
Prof. Dr. Buya Hamka. Lahir tahun 1908. Wafat tahun 1981.Ketua Umum MUI (pertama) selama enam tahun.
KH. Syukri Ghozali. Lahir tahun 1906. Wafat tahun 1984. Ketua Umum MUI (kedua) selama tiga tahun. Dekan Fakultas Syariah IAIN (UIN) Jakarta.
Prof. KH. Ibrahim Hosen. Lahir tahun 1917. Wafat tahun 2001. Ketua Komisi Fatwa MUI selama 20 tahun. Rektor pertama IAIN (UIN) Palembang. Rektor pertama PTIQ Jakarta. Rektor pertama IIQ Jakarta.
KH. Hasan Basri. Lahir tahun 1920. Wafat tahun 1998. -Ketua Umum MUI (ketiga) selama enam tahun.
Prof. KH. Ali Yafie. Lahir tahun 1926. Ketua Umum MUI (keempat) selama 10 tahun. Rektor IAIN (UIN) Makasar. Rektor IIQ Jakarta. Rais Aam PBNU.
Embrio gagasan pendirian MUI muncul dari Prof. KH. Ibrahim Hosen, seorang ulama fikih kenamaan pada masa itu, ketika dirinya mempresentasikan makalah dalam konferensi alim-ulama di Jakarta.
Konferensi alim ulama tersebut berlangsung tepatnya pada tanggal 30 September sampai 4 Oktober tahun 1970 di Jakarta (saat itu usia Ibrahim Hosen sekitar 53 tahun). Dengan mengutip keputusan Majma’ Buhuts Al Islamiyah Kairo tahun 1964, Ibrahim Hosen mengemukakan pentingnya lembaga fatwa Sebagai wadah ulama untuk melakukan ijtihad secara kolektif.
Namun gagasan tersebut pada awalnya belum mendapatkan dukungan penuh dari peserta konferensi.
Prof. DR. Buya Hamka, yang juga menjadi penyaji makalah saat itu pada awalnya menolak gagasan tersebut. (Usia Buya Hamka saat itu sekitar 62 tahun. 9 tahun lebih tua daripada Ibrahim Hosen).
Sebagai gantinya, Prof. Dr. Buya Hamka merekomendasikan kepada Presiden Soeharto agar mengangkat Mufti Negara yang dapat memberikan nasihat kepada pemerintah dan ummat Islam Indonesia.(Meskipun pada akhirnya Buya Hamka ternyata menyetujui gagasan Ibrahim Hosen tersebut dan justru kemudian setelah MUI berdiri, Buya Hamka menjadi tokoh ulama yang dipercaya sebagai Ketua Umum MUI yang pertama)
Gagasan tersebut akhirnya menguat dalam Lokakarya Muballigh se-Indonesia, yang diadakan oleh Pusat Dakwah Islam Indonesia pada tanggal 26-29 November 1974.
Saat itu lahir sebuah konsensus akan perlunya Majelis Ulama sebagai wahana untuk menjalankan mekanisme yang efektif dan efesien dalam upaya memelihara dan membina kontinuitas partisipasi umat Islam Indonesia terhadap pembangunan.
Konsensus untuk membentuk Majelis Ulama tersebut didukung penuh oleh Presiden Soeharto dan bahkan Presiden Soeharto pun memberikan saran agar pembentukan wadah ulama semacam itu diprakarsai mulai dari tingkat daerah. Saran itupun disetujui oleh seluruh peserta Lokakarya kala itu.
Hal itu pun lebih diperkuat lagi dengan amanat Presiden Soeharto ketika menerima Pengurus Dewan Masjid Indonesia tanggal 24 Mei 1975 yang mengharapkan agar Majelis Ulama Indonesia segera dibentuk.
Melalui Menteri Dalam Negeri ketika itu yaitu Amir Machmud, Presiden Soeharto menyarankan kepada para Gubernur untuk membentuk Majelis Ulama tingkat daerah.
Hasilnya, pada bulan Mei 1975 Majelis Ulama tingkat daerah telah terbentuk dihampir seluruh daerah tingkat I (Provinsi) dan seluruh daerah tingkat II Kabupaten Kota (meliputi 26 Provinsi).
Lahirnya MUI diawali dengan lahirnya PIAGAM BERDIRINYA MUI dalam musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama dari berbagai penjuru tanah air. Musyawarah tersebut dalam sejarahnya kemudian dicatat sebagai Musyawarah Nasional (Munas) MUI yang pertama.
Ketika itu hadir sejumlah tamu undangan sebanyak 26 ulama yang mewakili 26 provinsi di Indonesia, 10 ulama perwakilan Ormas Ormas Islam tingkat pusat, 4 ulama dari Dinas Rohani Islam Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan juga POLRI. Serta 13 orang tokoh / cendekiawan yang hadir secara pribadi sebagai undangan khusus.
Setelah kepemimpinan MUI generasi awal, estafet kepemimpinan MUI berlanjut dengan kepemimpinan generasi berikutnya seperti KH. Sahal Mahfud, Prof. Dr. Din Syamsuddin dan KH. Ma’ruf Amin.
(Artikel dari WAG tanpa menyebut nama dan sumber artikel)