Oleh: dr. Toreni Yurista
Rumah sakit Islam di abad pertengahan diakui dunia sebagai rumah sakit terbaik di zamannya. Bangunannya megah dan pelayanannya prima. Bahkan hingga kini pun beberapa aspek pelayanannya masih dianggap lebih baik dibandingkan dengan rumah sakit modern.
Rumah sakit Islam jauh dari kesan suram, kotor, dan menakutkan. Kebanyakan memiliki desain eksterior dan interior yang mirip dengan tempat tinggal raja. Rumah sakit yang berada di Baghdad, Mesir, dan Suriah, memiliki furnitur yang sama persis dengan istana bangsawan, lengkap dengan air mancur dan taman yang luas.
Dari sisi pelayanan, rumah sakit bisa menampung hingga 8000 bed, seperti yang terjadi di RS Al-Manshuri di Kairo. Setiap orang yang sakit bisa ditampung tanpa mempedulikan ras, warna kulit, maupun agama. Tidak ada batas waktu rawat inap; pasien bisa pulang hanya ketika mereka benar-benar sembuh.
Selain pelayanan medis, rumah sakit di masa itu mampu menyediakan berbagai menu makanan yang sehat dan segar, pakaian bersih, asisten yang membantu memandikan dan memakaikan baju, sampai badut untuk menari dan menghibur pasien. Mereka siap menampung pasien baik siang maupun malam.
Tidak Memungut Biaya
Dengan pelayanan prima dan bangunan semegah itu, rumah sakit tidak memungut biaya. Etika medis yang didasarkan pada konsep Islam membuat para pemberi layanan kesehatan tidak mempermasalahkan berapa jumlah uang yang bisa dibayarkan pasien. Mengobati adalah bagian dari tugas sosial (charity) yang mereka pahami sebagai sedekah yang bermanfaat, pahalanya terus mengalir sampai hari kiamat dan tidak terputus meskipun pelaku telah wafat .
Rumah sakit di era Islam memahami fungsinya sebagai institusi sosial. Mereka menggratiskan semua pelayanan, baik bagi orang kaya maupun miskin . Beberapa bahkan memberi pasien pakaian bersih dan uang saku ketika pasien pulang, seperti yang terjadi di RS Al-Nuri dan RS Al-Manshuri . Para pasien sangat terbantu dengan pemberian ini, terutama pada saat mereka belum mampu bekerja secara optimal pasca rawat inap.
Lalu bagaimana dengan nasib para pegawai rumah sakit jika tidak dibayar oleh pasien? Siapa yang mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka?
Para dokter dan penyedia layanan kesehatan tetap memperoleh gaji. Gaji dokter berkisar antara 50-750 US dolar. Seorang residen yang berjaga di rumah sakit dua hari dan dua malam dalam seminggu memperoleh sekitar 300 dirham per bulan**(6). Angka yang sangat besar pada masa itu, terlebih lagi kebutuhan dasar seperti perumahan, pendidikan, dan kesehatan sudah dijamin oleh negara.
Di luar rumah sakit, semisal di tempat praktek pribadinya, dokter dapat memungut bayaran dari pelayanan dan tindakan medisnya, terutama tindakan yang memerlukan keahlian khusus. Hal ini diperbolehkan dalam Islam sebabRasulullah pun memberikan upah bagi tabib yang melaksanakan veniseksi (memotong urat) untuknya. Di masa Abbasiyah, dokter yang melaksanakan operasi katarak menetapkan biaya minimum sebesar 15 US dolar. Wajar, mengingat dokter harus menyediakan peralatan dan obat-obatan sendiri di tempat praktik pribadinya.
Sejumlah dokter mampu memperkaya diri karena hebatnya keahlian yang dimiliki. Jibrail bin Baktishu, yang merupakan direktur RS Baghdad merangkap dokter pribadi Khalifah, memiliki berhektar-hektar tanah pertanian dan bisa membeli berbagai macam emas, perak, dan kobalt. Menurut keterangan sekretarisnya, pendapatan Jibrail berkisar 4.9 juta dirham per tahun.
Beberapa lagi tetap mempertahankan sikap zuhud dan memilih hidup sederhana. Ibnu Gazzar misalnya. Meskipun termasuk salah satu dokter paling brilian di Tunisia, beliau lebih senang membantu rakyat miskin dan jarang meminta bayaran. Beliau tak memiliki kemewahan namun sangat dihormati di dunia kedokteran karena kecerdasannya dan sejumlah buku-buku medis yang ditulisnya.
Darimana Rumah Sakit Mendapatkan Dana?
Pemimpin negara di masa Islam berlomba-lomba membangun rumah sakit selain sebagai wujud rasa peduli terhadap umatnya juga merupakan bentuk ketaatannya terhadap hukum syara. Negara melalui Baitul Mal bertanggung jawab memberikan suntikan dana, termasuk urusan pemeliharaan kesehatan kaum miskin dan papa.
Baitul Mal secara literal berarti gudang harta. Pada masa Rasulullah, bentuknya memang berupa suatu ruangan tempat menyimpan harta negara, baik berupa emas-perak maupun hasil bumi. Dalam perkembangannya, Baitul Mal tidak hanya sekedar tempat menyimpan harta namun juga memiliki struktur administasi yang mengatur pendapatan dan belanja negara. Oleh karena itu, para ulama menyebut Baitul Mal sebagai institusi khusus yang menangani harta yang diterima negara dan mengalokasikannya bagi kaum muslimin yang berhak menerimanya. Baitul Mal dikelola oleh negara dan bertanggungjawab kepada khalifah.
Urusan kesehatan berada di bawah Departemen Mashalih ad-Daulah. Departemen ini mendapat pemasukan dari Baitul Mal; khususnya dari penerimaan bukan pajak yakni pos fai, kharaj, dan al-milkiyah amm. Fai adalah seluruh harta yang didapatkan dari orang non-muslim tanpa melalui peperangan, misalnya harta yang disumbangkan oleh kaum Yahudi Bani Fadak agar kaum muslim memberikan perlindungan bagi mereka. Kharaj adalah upeti atas tanah yang ditinggali kaum non-muslim (mengingat mereka tidak punya kewajiban membayar zakat). Sedangkan al-milkiyah amm adalah harta yang didapatkan dari hasil pengembangan sumber daya alam oleh negara; misalnya hasil dari penambangan dan penjualan minyak bumi, batu bara, mineral-logam, dan lainnya.
Negara mengalokasikan dana sangat besar untuk pembiayaan rumah sakit. Sebagai gambaran, RS Al-Muqtadir menerima uang sebesar 200 dinar sebulan. RS Al-Arghun, yang merupakan rujukan penyakit jiwa, seluruh kebutuhannya ditanggung oleh negara; termasuk biaya obat-obatan, instrumen, dan penelitian.
Rumah sakit juga mendapat dana kesehatan dari donasi masyarakat. Pada masa Dinasti Abbasiyah, ada sebuah sistem pengumpulan donasi yang dikelola oleh pemerintah dan terkenal dengan sebutan Al-Waqf. Setiap orang dapat menyumbang sebagian harta yang dimilikinya untuk membantu pembangunan dan pemeliharaan rumah sakit melalui Al-Waqf Khida’ al-Maridh (waqaf mengubah persepsi pasien).
Donasi yang berupa harta zakat tidak digunakan untuk pembangunan dan pemeliharaan rumah sakit. Hal ini karena Islam membatasi zakat hanya boleh diberikan kepada delapan golongan yang disebutkan dalam Al-Quran (mustahiq). Namun demikian, harta zakat dapat disalurkan secara langsung kepada pasien yang termasuk mustahiq. Mereka bisa memakainya untuk kebutuhan hidup keluarga yang ditinggalkan selama dirawat di rumah sakit dan selama mereka belum mampu bekerja kembali.
Kaum bangsawan dan para pejabat menjadi penyumbang dana yang sangat besar. RS Al-Manshuri Al-Kabir mampu menutup pengeluarannya selama setahun hanya dari waqaf satu orang. Wazir Ali bin Isa Al Jarrah pendapatannya 700.000 dinar per bulan. Dari jumlah sebesar itu, beliau menginfakkan 680.000 dinar untuk kemaslahatan umat.
Demikianlah, nyawa manusia di mata Islam amat berharga. Kesehatan tidak dianggap sebagai komoditas yang bisa diperjual-belikan. Sebaliknya, kesehatan adalah tanggung jawab negara dan bagian dari amal jariyah. Negara bersama para pejabat, kaum bangsawan, bahkan rakyat jelata bahu membahu menyediakan dana demi terwujudnya kesehatan untuk semua.