Ketika Main Hakim Sendiri (Eigenrichting) Mengalahkan Hukum, Siapakah yang Harus “Mundur”?
Oleh: Pierre Suteki
Amuk massa yang melibatkan dua kesatuan yakni TNI dan Polri di Polsek Ciracas pernah terjadi pada tahun 2018 tepatnya pada hari Selasa 11 Desember 2018 malam hingga Rabu dinihari, 12 Desember 2018. Berdasarkan keterangan pers yang disiarkan Kepolisian Resor Jakarta Timur yang diterima Tempo, massa yang di dalamnya ada beberapa oknum TNI merusak dan membakar kompleks Polsek Ciracas. Tragedi ini mengakibatkan empat polisi menjadi korban, termasuk Kepala Polsek Ciracas Komisaris Agus Widartono. Selain itu, sebanyak 16 mobil rusak dikeroyok massa.
Belum genap dua tahun, kejadian amuk masa pengrusakan Polsek Ciracas yang melibatkan dua kesatuan (TNI dan Polri) kembali terulang.
Sebagaimana diberitakan oleh tirto.id -30/08/ 2020 Perusakan Mapolsek Ciracas dan sejumlah fasilitas umum di wilayah Jakarta Timur, Sabtu (29/8/2020) dini hari, dipicu provokasi oleh anggota TNI berinisial MI kepada rekan seangkatannya. Namun, saat pernyataan anggota dari Satuan Direktorat Hukum Angkatan Darat itu dicocokkan dengan pernyataan sembilan saksi dari warga sipil, ternyata MI telah berbohong.
Sebenarnya yang terjadi adalah MI mengalami kecelakaan tunggal saat mengendarai sepeda motor di sekitar Jalan Kelapa Dua Wetan, Ciracas, Jakarta Timur, tepatnya di dekat pertigaan lampu merah Arundina. Berita hoax itulah yang kemudian memicu emosi dan jiwa corsa yang membakar amarah beberapa prajurit untuk menyerang Markas Polsek Ciracas yang dalam bahasa hukum dikatakan eigenrichting (main hakim sendiri).
Buntut dari tragedi Ciracas, JAKARTA, REQnews – 31/08/2020 memberitakan bahwa ada sebanyak 12 prajurit TNI resmi ditahan di Polisi Militer Kodam Jaya (Pomdam Jaya), Guntur, Jakarta Selatan, Minggu 30 Agustus 2020. Penahanan itu dilakukan usai pemeriksaan terkait perusakan Polsek Ciracas pada Sabtu 29 Agustus 2020. Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa dari 12 prajurit tersebut, ada yang berpangkat Sersan Mayor juga terlibat dalam insiden ini. Demikian dikatakan oleh Jenderal Andika, saat konferensi pers di Mabes TNI AD, di Jakarta Pusat, Minggu 30 Agustus 2020.
Di negara hukum itu pemali menggunakan sarana VANDALISME: hantam dulu, urusan belakangan. Tindak tegas dulu dan berikan sanksi dulu, urusan belakangan. Itu namanya juga bisa disebut eigenrichting. Hal itu akan menjadikan pemerintah sebagai EXTRACTIVE INSTITUTION sebagai lambang NEGARA KEKUASAAN bukan NEGARA HUKUM. Dan hal itu sekaligus menunjukkan bahwa cara berhukum kita (Rule of Law) masih berada di tahap paling tipis (the thinnest rule of law) di mana rezim penguasa hanya menggunakan perangkat hukumnya sebagai sarana untuk legitimasi kekuasaan sehingga kekuasaannya cenderung bersifat represif. Eigenrichting juga dapat terjadi sebaliknya, yakni ketika orang atau kelompok orang mengggunakan caranya sendiri menghakimi orang atau pihak lain tanpa mengindahkan due process of law. Hal itu boleh jadi dilatarbelakangi oleh adanya “untrust” terhadap penegak hukum.
Pejabat “Tercela” Mundur: imperatif kategoris
Terkait dengan aspek moralitas dalam berhukum khususnya dalam penyelenggaraan negara, ada pernyataan yang menarik disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara, Mahfud Md dalam acara Talkshow Spesial HUT tvOne “Memelihara Persatuan di Tahun Politik” pada Februari 2018. “Kalau sudah mendapat cemoohan masyarakat, ini kata tap MPR No 6 Tahun 2000 (ada salah penyebutan tahun, yang benar Tahun 2001), seorang pemimpin kalau sudah tidak dipercaya oleh masyarakat, kebijakannya dicurigai, menimbulkan kontroversi karena tingkah lakunya…mundur, kata Tap MPR ini, mundur,” kata Mahfud MD saat itu (Liputan6.com, 30 September 2018). Secara lengkap bunyi ketentuan yang mengatur pejabat publik untuk mundur adalah sebagai berikut:
“Etika Politik dan Pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan Politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.”
Secara moral, pada kasus eigenrichting yang terjadi di Markas Polsek Ciracas, siapakah yang seharusnya diberikan sanksi dan jika perlu siapa yang secara moral mesti mundur? Haruskah para prajurit itu saja yang dipecat ataukah juga pimpinan kesatuan bahkan kalau perlu Pangdam bahkan Panglima TNI perlu mengundurkan diri? Menghukum prajurit TNI dengan memecatnya bukan solusi karena sepanjang sejarah kejadian eigenrichting terus berulang terjadi, baik dalam skala kecil ataupun besar. Dalam hal ini, pimpinan kesatuan mesti bertanggung jawab karena sebenarnya dengan kejadian ini menunjukkan kegagalan pemimpin kesatuan dalam membina anak asuhnya. Nah, dalam hal ini pertimbangan moral perlu diutamakan, bukan hanya pertimbangan hukum. Pertimbangan moral itu sekaligus sebagai solusi antara yang akan berakhir dengan pertimbangan agama (religi).
Itulah pertimbangan moral yang seharusnya berlaku jika para penyelenggara negara (rezim) itu berhukum dalam tata negara dengan moralitas Pancasila. Namun, sangat disadari hal itu bagaikan pepatah: jauh panggang dari api? Ada apa dengan para pejabat negeri ini? Sulit sekali menemukan pejabat yang mundur karena moralitas padahal fakta menunjukkan dugaan kegagalan sebagai pemimpin itu terlihat jelas. Kesalahan yang dilakukan anak buah bukan 100 % kesalahannya, melainkan tetap ada andil pimpinan atau atasan sehingga seorang atasan pun secara moral harus ikut bertanggung jawab.
Pertanyaannya, mengapa dalam berhukum Pancasila kini justru yang terjadi demoralisasi? Atau perlu ditanyakan lebih lanjut, mengapa terjadi demoralisasi anak bangsa ini misalnya dengan melakukan eigenrichting? Hal ini karena, bangsa ini telah terjerembab dalam kubangan kehidupan profan, sekuler, bahkan ateis. Intinya warga bangsa ini sudah makin menjauh dari ajaran agama. Maka tepat mutiara kata Prof. Oemar Seno Adjie yang berbunyi: NO LAW WITHOUT MORAL, NO MORAL WITHOUT RELIGION. Agama itu kunci dan solusi.
Bagaimana, mau tetap menghukum “anak-anak” yang sedikit nakal itu dengan memecatnya, atau membinanya bukan membinasakannya ataukah memberikan kesempatan kepada pimpinan kesatuan untuk mundur sebagai bentuk pertanggungjawaban-nya karena secara moral dan hukum menunjukkan bahwa pimpinan kesatuan setempat tidak mampu mendidik anak asuhnya untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan prinsip due process of law agar bagaimana pun hukum yang adil tidak boleh dikalahkan. Ini negara hukum, bukan negara vandalisme, preman.
Tabik…!!!