Oleh: Abdullah Hehamahua, Editor : Ariadi Adi Msi
Tanggal 10-13 Januari 1966, ribuan mahasiswa unjuk rasa di depan Gedung Sekretariat Negara, Jakarta. Mereka mengajukan Tiga Tuntutan Rakyat. Ia dikenal dengan akronim Tritura. Isinya: Bubarkan PKI, Reshuffel kabinet, dan Turunkan Harga. Gerakan mahasiswa ini dipimpin oleh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang pimpinannya terdiri dari perwakilan HMI, PMII, PMKRI, dan GMKI. Reshuffle kabinet yang dilakukan Soekarno tidak memuaskan mahasiswa. Sebab, dalam kabinet masih ada antek-antek PKI. Padahal, partai ini telah membunuh enam jenderal dan 1 perwira tinggi pada tanggal 30 September 1965.
Unjuk rasa besar-besaran berulang pada 24 Februari 1966 yang berakhir dengan bentrok di antara mahasiswa dan Resimen Cakrabiwara (Pasukan Pengawal Presiden). Mahasiswa UI, Arif Rahman Hakim, tewas tertembak peluru pasukan pengawal presiden. Dampaknya, 11 Maret 1966, PKI secara resmi dibubarkan.
Apakah KAMI akan mengulangi hal tersebut tahun depan? Mungkin mahasiswa 2020 mau lebih cepat dari itu. Ya, silahkan saja. !
Peristiwa Januari 1966 di atas merebak ke seluruh Indonesia. Dimulai dari Bandung, lalu Yogyakarta, menyusul Makassar, Banjarmasin, Surabaya, Manado, Palembang, Padang, Medan sampai Jambi.
Di Makassar, April 1966, mahasiswa dan pelajar menyerbu sekretariat GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) karena dianggap membela PKI. Maklum, PNI waktu itu ada dua, salah satunya PNI ASU Ali Surahman yang mendukung PKI. GMNI sebagai onderbow PNI dengan sendirinya terpecah dua pula.
Penyerbuan ke sekrteriat GMNI, Jalan Batu Putih Makassar tersebut disambut peluru tajam dari aparat. Paha salah seorang kawan, Sahabudin, tertembus peluru tentara. Hari ini, beliau dikenal dengan nama Sahabuddin Pelor. Unjuk rasa di Makassar tersebut juga menelan korban, Ridwan Rais anggota PII yang tubuhnya tertembus peluru apparat.
KAMI dan Pelengseran Soekarno
KAMI Sulsel yang dipimpin JK memberangkatkan rombongan mahasiswa untuk berunjuk rasa di Jakarta mengikuti Sidang Umum Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (SUI MPRS). SUI MPRS berlangsung dari tanggal 8–11 Maret 1967.
KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) Sulsel juga bergabung dalam satu kapal laut, menuju Jakarta. Inilah pertama kali saya menyaksikan kota Jakarta yang waktu itu dipimpin oleh Letjen Marinir Ali Sadikin.
Tanggal 10 Maret 1967, Soekarno belum berhasil dilengserkan sekalipun pidato pertanggung-jawabannya yang terkenal dengan nama Nawaksara, dalam Sidang MPRS 1966, ditolak. Tanggal 10 Maret 1967, malam harinya, semua Kontingen KAMI dan KAPI se-Indonesia yang ada di Jakarta, mendapat perintah untuk berkumpul di kampus UI besok pukul 07.00.
Tanggal 11 Maret pagi buta kamimeninggalkan markas di Jatinegara Barat. Ternyata, di luar sudah siap pasukan bersenjata lengkap mengepung markas kami. Saya dan beberapa mahasiswa, termotivasi dengan tausiah subuh yang mengisahkan kembali perang Bad’r, naik ke atas genteng bangunan. Kami merayap sampai ke ujung bangunan (sekitar 100 meter), baru turun ke bawah.
Tiba di kampus UI, Salemba, kami mendapat perintah untuk harus berangkat ke Senayan dengan berjalan kaki. Tidak boleh bergerombol karena menghindari penangkapan oleh Cakrabirawa, pasukan pengawal Presiden.
Semua kenderaan umum dirazia pasukan Cakrabirawa. Begitu tiba di komplek Senayan, saya dan kawan-kawan menghentikan mobil anggota MPRS guna memberikan pamlet yang isinya, desakan melengserkan Soekarno.
Malamnya, TVRI menyiarkan berita, pengambilan sumpah Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Soekarno berjaya dilengserkan. Apakah drama ini akan berulang pada periode Jokowi sekarang.? Tanyalah ke rumput yang bergoyang!
KAMI dan RUU BPIP
Soekarno, untuk kesekian kalinya membuat kesalahan dalam pengelolaan pemerintahan dan kenegaraan. Kesalahan paling fatal adalah mengawinkan agama, nasionalisme, dan komunisme. Agama yang mengakui eksistensi Tuhan, disatukan dengan komunisme yang tidak bertuhan. Masyumi melawan konsep Nasakom. Soekarno makin diktator dengan mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup dan mempraktikkan demokrasi terpimpin. Sentralisasi kekuasaan semakin mengental di istana.
Lahirlah tuntutan otonomisasi daerah yang diperjuangkan beberapa tokoh di daerah dalam bentuk PRRI dan Permesta. Soekarno naik pitam lalu memaksa Masyumi membubarkan diri karena menganggap beberapa tokohnya terlibat dalam tuntutan otonomisasi daerah. Masyumi bubar, tetapi otonomisasi daerah yang diperjuangkannya diberlakukan 39 tahun kemudian berdasarkan Tap MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
NASAKOM merupakan peluang emas bagi PKI mendominasi kepemimpinan Soekarno. Apalagi sebelumnya, Soekarno sudah memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila yang bermakna Gotong Royong.
Maknanya, sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan kausa prima terhadap keempat sila lainnya, hilang. PKI pun mendapat peluang emas untuk menguasai negara, tetapi mereka hancur sendiri dengan kudeta mereka dalam bentuk G30S/PKI. Pada peristiwa tragis tersebut, enam jenderal dan satu perwira menengah Angkatan Darat dikubur di dalam Lubang Buaya, Jakarta Timur. Suasana tahun 1962–1965 terasa seperti muncul kembali pada periode 2014 sampai sekarang.
Soeharto, setelah menerima Supersemar dan ditetapkan sebagai presiden oleh MPRS tahun 1968, mulai menyusun kekuatan kelompoknya. Gerakan protes mahasiswa 1974 dan 1978 tidak membuat beliau goyah, bahkan semakin kuat. Tahun 1984, merasa dirinya sudah sangat berkuasa, Soeharto meniru pola Soekarno dengan memeras Pancasila menjadi “hanacaraka.” Soeharto menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal, baik dalam kehidupan ketata-negaraan maupun kehidupan pribadi. Islam sebagai ajaran yang meliputi urusan dunia dan akhirat dilarang menjadi asas partai dan ormas. Umat Islam bereaksi di mana-mana.
Operator Soeharto, dalam hal ini, Beny Murdhani, Tri Sutrisno, dan Hendropiryono membantai umat Islam dalam peristiwa Tanjung Priok (1984) dan Talangsari, Lampung (1989). Akhir cerita, Soeharto pun mengalami nasib yang sama dengan Soekarno, dilengserkan gerakan mahasiswa ketika beliau mengutak atik Pancasila.
Presiden Jokowi ingin meneladani Soekarno dengan memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila. Langkah pertama yang dilakukan, diterbitkan Keppres Nomor 24 Tahun 2016 yang menetapkan 1 Juni 1945 sebagai hari lahir Pancasila. Padahal hari lahir Pancasila yang sah itu tanggal 18 Agustus 1945.
Langkah kedua, Jokowi membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) kemudian berubah menjadi BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila). Jokowi mengulangi NASAKOM Soekarno dan BP7-nya Soeharto. Presiden Soeharto memaksakan doktrin P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dengan institusinya bernama BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Jokowi melalui koalisinya di DPR mengajukan RUU BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila).
Seperti Nasakom dan P4, RUU BPIP mendapat penolakan maha dahsyat. Tidak tanggung-tanggung, MUI Pusat didukung MUI daerah seluruh Indonesia, NU, Muhammadiyah, dan seluruh ormas Islam lainnya menolak RUU BPIP.
Jokowi pun mengeluarkan jurus silat Chinanya, mengajukan RUU BPIP. Apa yang terjadi di penghujung sandiwara Jokowi dan partai pendukungnya? Apakah drama pelengseran Soekarno dan Soeharto berulang atas diri Jokowi? Tanyakan rumput yang bergoyang!
KAMI dan Tritura
Tanggal 2 Agustus malam, setelah KAMI mendeklarasikan eksistensinya, 50-an ulama Jawa barat, tokoh, aktivis dan beberapa purnawirawan jenderal silatul ukhuwah di salah satu pedepokan di daerah Parung, Bogor. Mereka mendiskusikan situasi terakhir, khususnya mengenai pengelolaan pemerintahan Jokowi yang dianggap semakin jauh dari UUD 45.
Mereka menyinggung UU Minerba, UU KPK, UU virus China, RUU HIP, RUU BPIP, dan RUU Omnibus Law. Simpulan mereka, lahir pernyataan Tritura, mengikuti Tritura KAMI tahun 1966 dan Tritura mahasiswa 1998.
Tritura KAMI 1966 berisi tiga tuntutan: Bubarkan PKI, Turunkan Harga, dan Rombak Kabinet. Tritura 1998: Gantung Soeharto; Kembalikan ABRI ke barak; dan Bubarkan Golkar. Tritura Ulama Jawa Barat 2020: Bubarkan partai yang mengganti hari lahir Pancasila dari 18 Agustus menjadi 1 Juni 1945; Cabut RUU HIP/RUU BPIP; dan Usut Tuntas Inisiator RUU HIP/RUU BPIP.
Apakah KAMI 2020 akan menyuarakan hal yang sama dengan Tritura Ulama Jawa Barat, Tritura 1998, Tritura 1966, atau lebih hebat lagi dari itu. Tunggu tanggal 18 Agustus 2020. Semoga!