Oleh: HM Joesoef (Wartawan Senior)
Gugatan perdata terhadap Yusuf Mansur di Pengadilan Negeri (PN) Tangerag, Banten, Kamis (16/7) kemarin, sudah memasuki Deplik, dimana pihak tergugat menanggapi Replik yang disampaikan oleh pihak penggugat. Sebagaimana diketahui, dalam kasus peradilan perdata, setelah gugatan dibacakan oleh pihak penggugat, pihak tergugat akan membuat jawaban atas gugatan tersebut. Lalu, pihak penggugat memberi jawaban yang disampaikan tergugat, inilah yang disebut dengan Replik. Jawaban terhadap Replik penggugat ini disebut dengan Duplik.
Adapun sidang perdata yang sedang berjalan di PN Tangerang, dengan tergugat Jam’an Nurchotib Mansur alias Yusuf Mansur, berkaitan dengan kasus Condotel Moya Vidi di Yogyakarta dan Patungan Usaha untuk membangun hotel Siti yang ada di Tangerang. Kasusnya terjadi pada kurun 2013-2014. Karena janji-janji tentang perkembangan dua proyek tersebut tak juga didapat oleh para investor, maka lima orang investor melayangkan gugatan perdata pada Yusuf Mansur.
Rupayanya, setelah gugatan perdata terhadap Yusuf Mansur berjalan di PN Tangerang, para investor yang lainnya juga mulai bersiap-siap melakukan hal yang sama, baik secara perdata maupun secara pidana. Jika sebelumnya para investor memilih diam, tidak lagi saat ini. Mereka mulai sadar akan hak-haknya, dan kaena itu mereka mulai berani bersuara, bahkan menuntut hak-haknya lewat jalur hukum.
Sebagaimana diketahui, Yusuf Mansur dikenal cerdik membuat terobosan-terobsan menghimpun dana umat. Judulnya macam-macam, ada investasi batu bara, ada Patungan Usaha dan Patungan Aset, Ada Condotel Moya Vidi, ada Tabung Tanah, ada VSI yang menjadi cikal bakal PayTren, ada Treni Umroh, dan masih banyak lagi. Semua bisnis tersebut mengalami masalah di tengah jalan. Bisnis macet atau merugi, tetapi investor tidak diberi informasi secara benar. Web sebagai pendukung untuk bisnis-bisnis tersebut juga tak lagi aktif. Mereka menghubungi Yusuf Mansur, nomornya sudah tidak aktif. Mereka mencari keadilan dengan mendatangi kantor Yusuf Mansur, baik yang di Jakarta maupun yang di Bandung, tidak pernah mendapat jawaban yang jelas, apalagi memuaskan. Oleh sebab itu, mereka memilih jalur hukum untuk mencari keadilan.
Selama ini, ternyata Yusuf Mansur tidak hanya membidik para investor di dalam negeri. Tetapi, para tenaga kerja Indonesia di luar negeri, Hong Kong, misalnya, menjadi sasarannya. Pada bulan Maret 2014 misalnya, Yusuf Mansur datang bersama rombongan dengan menawarkan berbagai produk. Seperti VSI, Condotel Moya Vidi, hotel Siti, Tabung Tanah, dan sebagainya. Mereka yang sudah bergabung dengan investasi yang digagas oleh Yusuf Mansur tersebut juga diikat dengan “sedekah paksa”, yakni, bagi investor diminta untuk menjadi donatur tetap buat Daarul Qur’an sebesar Rp 300 ribu per bulan.
Iming-imingnya,mereka yang bersedekan bulanan tersebut akan mendapat kemudahan jika mengirim anak-anak atau keponakannya menjadi santri di Daarul Qur’an. Iming-iming ini membuat para investor bersuka-ria. Tapi apa yang terjadi. Ketika para tenaga kerja Indonesia ini pulang ke tanah air, hendak mendaftarkan anak-anak atau keponakannya ke Daarul Qur’an, mereka tetap dikenakan biaya yang cukup mahal. “Tidak ada yang gratis, semuanya berbayar,dan mahal,” begitu kata salah seorang investor yang pernah bekerja di Hong Kong, kepada penulis.
Atas semua janji-janji yang wanprestasi itulah, mereka, para investor, mulai menarik diri dan meminta kembali investasi yang pernah mereka tanam. Ada sedikit yang berhasil, tetapi mayoritas tidak berasil menarik dananya kembali. Mereka yang tidak berhasil menarik dananya itulah, setelah perjalanan panjang dan melelahkan, akhirnya memberanikan diri untuk membawanya ke jalur hukum. Inilah salah satu episode dimana Yusuf Mansur mulai serius digugat, baik secara perdata maupun secara pidana. Mereka mencari keadilan lewat jalur hukum. Wallahu A’lam.
/