Oleh: Irawan Santoso Shiddiq
Di Paris tahun 1655. Kerajaan Perancis dipimpin seorang raja muda, Louis XIV. Usianya masih belia, 17 tahun bertahta. Suatu pagi dia memasuki altar rapat parlemen. Bermimik marah. Beliau memakai sepatu bot dan memegang cambuk. Begitu masuk, dia berkata, “L’etat c’est moi!” (Akulah Negara). Dia minta rapat dihentikan. Karena dia-lah raja. Dialah sang hukum.Voltaire, seorang filosof yang iri dengan Montesquei, mengkisahkannya dalam ‘Siecle de Louis XIV’.
‘L’etat c’est moi’ menggaung kemana-mana. Ini seperti simbol keangkuhan raja. Seolah dijadikan alasan betapa monarkhi penuh ketidakadilan. Di kerajaan Inggris Raya, kisah serupa pernah membahana. Sang penerus Charlemagne, terkenal dengan ucapannya, “The King can do no wrong”. Raja tak pernah salah.
Belantara Eropa yang monarkhi dengan titah raja, patuh dengan azas “the law is king.” Epos inilah yang monarkhi seolah anti demokrasi. Nomokrasi seolah tak berkeadilan sama sekali.
15 Juni 1215, di pedesaan Runnymede, dekat kota Windsor, Inggris Raya, kejadian besar berlangsung. King John of England, menandatangani perjanjian. Sejumlah baron memberontak. Mereka ingin memisahkan diri dari kerajaan Inggris. Tapi di sisi sama, kerjaan Perancis tengah menyerbu. King John butuh dukungan kaum Inggris. Alhasil kesepakatan damai disepakati. Dia memberikan toleransi hukum buat kaum Baron. Mereka tak akan dipenjara semena-mena. Upeti dikurangi. Para baron juga mendapat perlindungan hak-hak Gereja.
Piagam itulah Magna Charta
25 baron itu dianggap sukses meluluhlantakkan hukum sang raja. Mereka berhasil membuat kesetaraan, raja dan rakyat, statusnya sama. Sejak itulah equality before of the law membahana. Para baron itu bukan tak punya modul. Mereka mengambil kisah Romawi. Kala abad 450 SM, Romawi begitu digdaya. Raja adalah hukum, tak bisa disanggah. Sebuah kisah pertentangan kaum proletar datang. Mereka menuntut kesetaraan hak. Tersebutlah Lembaran Dua Belas. Ini kesepakatan damai antara Kaisar dan rakyat. Kaum proletar dibolehkan punya wakil di tribun, semacam majelis perwakilan di republik Romawi. Proletar mendapat hak-hak plebeian, terbebas dari penafsiran hukum yang sewenang-wenang.
Kaum ini mengacu pada Cicero, sang legenda. Praetor ternama itu penganut paham Stois. Cicero tak setuju kekuasaan kerajaan berada di satu tangan.
16 Desember 1792, Raja Louis XVI ketiban sial. Dia dikudeta paksa. Revolusi berdarah terjadi di Paris. Sang monarkhi disingkirkan. Sponsor utama pemberontakan, adalah kaum baron. Borjuis Perancis yang berada dibelakangnya. Mereka sengaja membebaskan para budak, untuk menjadi tentara revolusi, melawan kerajaan. Tapi revolusi diatur dan dijalankan dari Inggris. Jeremy Bentham, William Petty, sang Earl of Shelbourne, punya peran penting di drama itu. Sembilan orang tak dikenal, berada dibalik layar. Revolusi ini, sama seperti revolusi Bolshevik, benci terhadap Hukum Gereja. Proletar seolah bebas.
Liberte, Egalite, Fraternite berkumandang nyaring, Tak ada lagi “L’etat C’est moi”. Karena hukum disusun bersama. Dibuat bersama-sama, tanpa perlu lagi tunduk pada aturan Gereja. Itulah konstitusi.
Rechtstaat membahana. Negara hukum seolah jalan keluarnya. Rule of the law dibuat sebagai cita-cita. Rechtstaat berarti hukum yang berdiri pada aturan kesepakatan. Semua hukum dibuat bersama. Walau dengan perwakilan. Tak ada lagi hukum yang turun dari langit, karena dianggap tak ada kesepakatan sebelumnya. Du Contract Social jadi idola. Tuhan tak lagi bisa memerintah. Kitab suci bukan hukum, karena disusun bukan berdasarkan kesepakatan.
Tapi proletar terperangah. Mereka tak lagi jadi budak, tapi malah berubah menjadi kuli. Memang tak digari, dicambuk, diikat bersama-sama, tapi dijerat dengan riba. Kaum borjuis pegang kendali. Mereka menguasai sektor ekonomi.
Centeng-centeng diciptakan, demi mengamankan mesin produksi. Equality before of the law hanya bualan. Karena hanya mulut manis di undang-undang. Tapi kaum baron sejatinya menjalankan sistem hukum poenali sanctie. Hukum yang diciptakan demi kepentingan perusahaan. Inilah fakta selama berabad, selepas “L’etat c’est moi” menghilang.
Karena Memang Barat Penuh Kegelapan
Mereka tak rela belajar pada Islam. “L’etat c’est moi” memang kegagalan monarkhi. Rechstaat juga sebuah penyimpangan atas nama konstitusi. Keduanya bernegara, tapi tak pakai hukum dari Allah Subhanahuwata’ala.
Lihatlah kala era Sultaniyya. Lihatlah bagaimana hukumnya. Keadilannya teruji. Tak ada Khalifah yang kebal hukum. Kala Islam baru terletak, abad 7 lalu, sebuah keadilan hukum pun tertonggak.
Di sebuah sudut kota Madinah, Umar Bin Khattab telah jadi Khalifah. Dia akrab juga dipanggil Amirul Mukminin. Suatu ketika dia membeli seekor kuda kepada seorang kampung. Transaksi terjadi. Kuda itu dibeli. Berjalan beberapa ratus meter, kuda itu pincang. Umar kembali, kuda itu ingin ditukar. Si proletar, orang dusun itu tak terima. Umar bilang kuda itu cacat. “Tadi waktu saya jual kondisinya baik”, kata orang dusun itu menolak. Dia berani melawan Khalifah, walau tak salah. Bayangkan jika itu terjadi kepada Louis XIV atau Charlemagne. Umar terdiam. Dia tak memerintah memenggal kepala orang dusun itu. Umar justru minta masalah ini ditangani seorang qadi. Si dusun itu setuju. Dan dia merekomendasikan qadi Syuraih al Haritz untuk menangani kasus ini. Mereka pun mendatangi. Keduanya bercerita di depan qadi Syuraih.
Setelah itu, dia memutuskan. “Ambillah kuda yang telah engkau beli, wahai Khalifah. Atau kembalikan saat seperti engkau membelinya,” begitu vonis sang qadi. Umar terdiam. Khalifah kalah.
Suatu kala, seorang pencuri tertangkap di Madinah. Dia dihadapkan kepada Umar, sang Khalifah untuk disidang. “Mengapa engkau mencuri?” tanya Umar. “Karena takdir Allah,” jawab si pencuri. Umar pun langsung mencambuknya dan memotong tangannya. “Dia dipotong tangannya karena mencuri. Dicambuk karena berdusta kepada Allah,” jawab Umar.
Berabad-abad berselang, di Istanbul, tahun 1454. Islam masih berjaya. Sultan Muhammad Al Fatih begitu membahana. Dialah pemimpin penaklukkan ibukota Romawi. Sultan ingin membangun masjid jami’ di Istanbul. Epsalanti, arsitek Romawi ditunjuk. Transaksi terjadi. Tiang-tiang harus dibangun tinggi. Tapi ditengah jalan, Epsalanti ternyata memotong tiang-tiang itu. Sultan Al Fatih marah. Mengurangi tiang, berarti mencuri. Sultan Al Fatih memotong tangan Epsalanti.
Si Romawi tak terima. Dia mengadukan Al Fatih kepada qadi Shaykh Shari Qidr Jalabi. Keduanya pun dipanggil menghadap qadi. Al Fatih percaya diri. Epsalanti menceritakan. Al Fatih tak membantah. Wadi memutuskan, “Sebagai bentuk syariat, tangan anda harus dipotong sebagai bentuk qishash, wahai Sultan!”. Al Fatih terdiam. Epsalanti belingsatan. Dia tak menyangka vonisnya begitu. Dia berharap hukumannya Sultan didenda. Bukan potong tangan. Karena tak ada untung buatnya. Alhasil Sultan diperintah membayar 10 Dinar setiap hari, selama seumur hidupnya, kepada Epsalanti. Sultan setuju. Romawi itu sumringah. Begitulah Sultaniyya mengadili. Tak ada “L’etat c’est moi”. Juga bukan rechtstaat.
Syariat itu yogya kautaruh
Dalam syari’at hakekat tiada jauh
Lain daripada syariat akan tali sauh
Si sauh ma’rifat sukar berlabuh.