(Catatan Buat Yusuf Mansur)
Oleh: HM Joesoef (Wartawan Senior)
Dalam tradisi pesantren yang usianya sudah ratusan tahun, umumnya berdiri di tempar-tempat yang dekat dengan sumber air (dekat sungai atau sumber air bersih). Bermula dari seorang kiai atau ustadz mengajarkan ilmu agama Islam di rumahnya. Dalam perkembangannya, para santri mulai berdatangan dari tempat-tempat yang jauh. Lalu diperlukanlah pondokan untuk para santri dan guru. Sebelum ada sistem klasikal, aktifitas belajar-mengajar sehari-hari dilaksanakan di mushala atau masjid yang dibangun di lingkungan pondok pesantren.
Seiring dengan semakin banyaknya santri, para kiai atau ustadz yang mengajar pun bertambah. Selain belajar ilmu-ilmu agama Islam, para santri juga diajari untuk mandiri, cuci pakaian sendiri, ikut aktif di dapur umum untuk konsumsi bersama, bertanam, berkebun, beternak, dan sebagainya. Dengan adanya amal-usaha pesantren, maka biaya belajar-mengajar bisa ditekan, tidak sepenuhnya dibebankan kepada para wali santri.
Begitulah tradisi pesantren, mandiri. Jika ada yang membantu untuk pembangunan lokal, misalnya, diterima. Tetapi para kiai pesantren tidak meminta-minta orang untuk membantu pesantrennya atau membuat proposal agar dapat bantuan dari pihak luar. Kemandirian ini turun menurun, terutama di tataran pesantren-pesantren salaf. Mereka lebih menikmati hidup sederhana daripada bermewah-mewah tetapi bukan dari keringatnya sendiri. Dalam perkembangannya, bantuan mulai berdatangan seiring dengan kesuksesan para aluminya berkarya. Inilah pesantren yang tumbuh, dari bawah, dari yang sederhana, sampai menjadi besar dan beranak-pinak.
Pondok Pesantren Moderen Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, yang dirintis oleh Kiai Ageng Hasan Besari (wafat tahun 1760); Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur, yang didirikan oleh Sayyid Sulaiman tahun 1718; Pondok Pesantren Buntet, Cirebon, yang dibangun oleh Kiai Muqayim pada tahun 1758, adalah contoh sukses pondok pesantren yang dibangun dari bawah, mandiri, dan karena itu punya harga diri yang tinggi.
Kini mari kita tengok Pondok Pesantren Daarul Qur’an besutan Yusuf Mansur yang berdiri tahun 2003 di Cipondoh, Tangerang, Banten. Saat ini Daarul Qur’an sudah punya cabang di Cikarang (khusus putri), Semarang, Lampung, Jambi, dan Banyuwangi. Di Cipondoh, sebagai pesantren pusat untuk laki-laki, ada lebih dari 1000 santri. Sementara di cabang-cabang, masing-masing punya santri sekitar 250 anak.
PP Daarul Qur’an yang ada di Cipondoh itu, dikelilingi oleh pondok-pondok pesantren Tahfizh yang dikelola dengan sangat sederhana. Berbeda dengan PP Daarul Qur’an yang berdiri megah di tengah perkampungan yang sederhana, itu.
Yang tidak kalah menariknya, di Daarul Qur’an biaya masuknya cukup mahal untuk ukuran rata-rata penduduk Indonesia. Biaya masuk untuk santri SD misalnya, pendaftaran Rp 850.000, uang masuk Rp 40 juta dan SPP per bulan Rp 4 juta. Sedangkan untuk SMP dan SMA, pendaftaran Rp 850.000, uang masuk Rp 31,5 juta, dan SPP per bulan Rp 2,7 juta.
Lazimnya di dunia pendidikan, uang masuk itu lebih diprioritaskan untuk membangun gedung atau kelas. Dengan uang masuk Rp 40 juta per santri, misalnya, cukup 2 santri bisa membangun satu kelas. Di Daarul Qur’an, ruang-ruang kelas justru dimintakan sedekah dan wakaf dari para jamaah atau donator
Mendidik dan mencetak para hafizh itu mengajari mereka tentang Al-Qur’an. Pertanyaannya, bolehkah meminta bayaran atau upah untuk mengajari Al-Qur’an? Ada pendapat yang membolehkan tetapi sekadarnya, tapi tidak sedikit pula yang mengharamkannya. Adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat 22 Dzulqadah 728 H/26 September 1328 M), dalam Majmu al-Fatawa juz 30, menulis, “Adapun mengajar Al-Qur’an dan ilmu agama tanpa upah adalah pekerjaan yang paling utama dan paling disukai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak seorang pun yang tinggal di negeri Islam yang tak mengetahuinya. Para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan ulama-ulama lainnya yang di kalangan umat terkenal sebagai orang-orang yang memahami Al-Qur’an, hadits, dan fikih, hanya mengajar tanpa upah, dan sama sekali tidak ada di antara mereka yang mengajar dengan upah. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak pernah mewariskan dinar atau dirham, tetapi hanya mewariskan ilmu. Maka, barangsiapa yang mengambil ilmu berarti ia telah mengambil keuntungan yang berlimpah. Dan para nabi mengajarkan ilmu tanpa upah.”
Oleh sebab itu, pesantren-pesantren tahfizh pada umumnya, juga yang ada di sekitaran Daarul Qur’an di Cipondoh, kondisinya bersahaja, biaya yang dikeluarkan oleh wali santri hanya untuk keperluan santri sehari-hari dan itu pun masih terjangkau oleh kebanyakan para wali santri yang hidupnya juga rata-rata sederhana. Bagi mereka yang tidak mampu, digratiskan. Tetapi, justru di pesantren-pesantren yang bersahaja ini telah menelorkan santri-santi yang benar-benar unggul dalam hafalan Al-Qur’annya, dan mandiri.