Upaya Penyelundupan Hukum
Oleh: Djudju Purwantoro
Dalam kondisi masyarakat saat ini yang masih menghadapi pandemi virus Covid-19, bertambah keprihatinan mendalam di tengah maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK), sehingga meningkatkan jumlah pengangguran. Justru, pada tanggal 5 Mei 2020, pemerintah menaikkan kembali besaran iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan melalui Perpres Nomor 64/2020.
Pasal 34 Ayat 1 Perpres tersebut mengatur bahwa pada 2020, peserta mandiri Kelas III membayar iuran sebesar Rp25.500, meningkat tahun 2021 menjadi Rp35.000. Pemerintah memberikan bantuan Rp7.000, sehingga total iurannya menjadi Rp42.000.
Ayat 2, mengatur bahwa iuran peserta mandiri Kelas II meningkat dari saat ini sebesar Rp. 51.000 menjadi Rp. 100.000. Lalu, Ayat 3, iuran peserta mandiri Kelas I naik dari Rp. 80.000, menjadi Rp. 150.000,
Padahal masalah kenaikan iuran BPJS tersebut, penuh kontroversi dan dinilai sangat memberatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat saat ini. Sebenarnya, Perpres ini tampak bermasalah dari sisi materiil peraturan perundang-undangan, karena, Perpres ini substansinya tidak berbeda dengan Perpres 75/2019 yang telah dibatalkan Mahkamah Agung (MA) pada akhir Februari 2020 lalu.
MA melalui putusannya , No.7/P/HUM/2020, pada pokoknya sudah melarang pemerintah menaikkan iuran BPJS kesehatan. Vonis MA ‘a quo’ antara lain menyatakan ; ketentuan tersebut yaitu melanggar Pasal 23A, Pasal 28 H, Jo Pasal 34 UUD 1945.
Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 menyatakan ; “bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Kemudian, bertentangan pula dengan UU No. 40 Tahun 2004, tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Juga, UU No.24 Tahun 2011, tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
BPJS sesungguhnya merupakan badan hukum publik nirlaba, sehingga kenaikan iuran tersebut, selayaknya lebih memprioritaskan upaya negara dalam menjamin kesehatan warganya. Fungsi BPJS adalah Badan Hukum Jaminan Sosial, bukan seperti BUMN yang berfungsi mengejar laba perusahaan.
Mengacu Yurisprudensi keputusan MA ‘a quo’ tersebut, yang sudah final dan mengikat (final and binding), seharusnya Presiden mematuhi dan menjalankannya. Bukan lantas merekayasa hukum (penyelundupan hukum), untuk sesuatu yang sudah menjadi keputusan hukum (inkracht).
Padahal Presiden tanpa harus mengeluarkan Perpres, sudah ada UU No.40 Tahun 2014 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang memperbolehkan kenaikan. Pasal 27 ayat (2) UU tersebut menyebutkan; “besaran iuran jaminan kesehatan untuk peserta yang tidak menerima upah ditentukan berdasarkan nominal yang ditinjau secara berkala.”
Ketentuan tersebut juga diperkuat oleh aturan turunannya, yakni Peraturan Presiden (Perpres) No. 82 Tahun 2018, tentang Jaminan Kesehatan. Pasal 38 ayat (2) menyebutkan besaran iuran ditinjau paling lama dua tahun sekali.” Jadi pemerintah berhak saja menaikkan iuran, asalkan sesuai dengan ketentuan perundangan yang ada. Oleh sebab itu, pemerintah harus meninjau kembali rencana kenaikan tarif BPJS tersebut, bukan malah “menyengsarakan” rakyatnya yang tengah terdampak virus Corona-19.
Dalam kondisi ekonomi yang sedang sulit ini, kenaikan iuran BPJS tidak perlu dilakukan. Hal itu justru berpotensi masyarakat kesulitan membayar iuran dan semakin banyaknya masyarakat yang menunggak iuran.
Gembar-gembor pemerintah, dengan slogan “Peduli Rakyat Kecil” sudah gak relevan lagi. Adalah kewajiban negara untuk menjamin kesehatan warga karena kemampuan ekonomi warga negara yang makin sulit imbas pandemi Covid-19.
Menurut Prof. Din Syamsudin, “Bahwa Pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan merupakan kebijakan yang tidak bijak. Keputusan itu merupakan bentuk kedzaliman yang nyata, dan hanya lahir dari pemimpin yang tidak merasakan penderitaan rakyat.”
Amanat Konstitusi
UUD1945, jaminan kesehatan masyarakat menjadi kewajiban negara. Ironinya Iuran BPJS yang dihimpun dari uang rakyat. Patut diduga pengelolaan BPJS yang amburadul dan tidak profesional, sehingga pemerintah sering mengatakan defisit dan rugi. Padahal sangat kontras, dengan gaji komisaris dan direksinya yang mencapai ratusan juta rupiah.
MA menilai, karena adanya kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS, menyebabkan terjadinya defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan, keadaan tersebut tidak serta merta dibebankan kepada masyarakat.
Pasal 31 UU MA menyatakan bahwa, peraturan perundang-undangan yang dibatalkan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Jadi sesuai putusan MA ‘a quo’ pemerintah tidak dapat menggunakan lagi untuk menaikkan iuran BPJS. Pemerintah harus mencabut keputusan yang merugikan warganya, karena kewajiban negara mensejahterakan rakyatnya (social welfare state).
(Penulis adalah sekjen Ikatan Advokat Muslim Indonesia (IKAMI) dan Ketum Ormas Gerbang Amar)