Ketika Pendosa Bergelimang Harta

 

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa” (QS Al-An’am [6]: 44).

thayyibah.com :: “Ustadz, mengapa ada orang atau keluarga yang tidak taat beragama; tidak shalat, tidak puasa, tapi rezekinya melimpah, usahanya sukses, kaya dan sekilas kelihatannya bahagia?” tanya seorang jamaah haji kepada saya. Pertanyaan ini tampaknya mewakili masyarakat yang penasaran melihat fenomena orang yang ahli ibadah tapi hidupnya serba kesulitan. Sementara di sisi lain, ada orang atau keluarga yang ahli maksiat, koruptor, dan tidak taat menjalankan agama, tapi hidup dengan bergelimang kekayaan. Rezeki mereka seperti banjir; mudah datangnya dan begitu melimpah.

Dalam konteks global, banyak negara dengan penduduk mayoritas Muslim dengan ribuan masjid tersebar di seantero negeri, sekian juta kali lantunan zikir dan doa, tapi mayoritas penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Sebaliknya, tidak sedikit negara yang kafir, yang penduduknya selalu tenggelam dalam beragam bentuk kemaksiatan dan kemungkaran–zina, khamr, judi, narkoba dan lain-lain–tapi tampaknya maju dalam banyak aspek kehidupan; ekonomi, militer, pendidikan, teknologi, informasi, dan sebagainya. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Ayat di atas menjawab pertanyaan tersebut dengan gamblang.

Ujian kesejahteraan hidup bagi pendosa

Ayat di atas bercerita tentang umat-umat terdahulu yang Allah mengutus kepada mereka para rasul, kemudian Allah siksa mereka dengan kesengsaraan dan kemelaratan supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan merendahkan diri. Namun, ketika siksaan Allah datang, mereka tidak melakukan hal itu. Hati mereka justru semakin keras, lalu atas bisikan setan mereka memandang indah perbuatan itu.

Maka, di tengah kedurhakaan mereka kepada Allah, Allah menguji mereka dengan kemakmuran dan kesejahteraan hidup. “Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka,” demikian penegasan Allah swt tentang berlimpahnya kesenangan yang diterima para pendosa tersebut. Menurut Imam Ibnu Katsir, “Maksudnya, Kami membukakan untuk mereka pintu-pintu rezeki dari segala hal (dalam semua aspek kehidupan) yang mereka pilih. Dan ini adalah istidraj (mengulur-ulur) dan imlaa’ (penangguhan) dari Allah Ta’ala bagi mereka” (Tafsir Ibnu Katsir II/259).

Imam Malik menafsirkannya dengan kemakmuran dunia dan kemudahannya (Lihat Tafsir Ibnu Katsir II/259).

Imam Ahmad dalam kitab Musnad-nya (IV/145) meriwayatkan hadits dari Uqbah bin ‘Aamir ra dari Nabi saw, “Apabila engkau melihat Allah memberi seorang hamba kelimpahan dunia atas maksiat-maksiatnya, apa yang Ia suka, maka ingatlah sesungguhnya hal itu adalah istidraj,” kemudian Rasulullah saw membaca ayat tersebut. Hadits ini oleh Imam As Suyuthi dinilai sebagai hadits hasan (Al Jaami’ Ash Shaghir I/97 no. 629).

Begitulah sunnatullah dalam kehidupan pendosa dan pelaku maksiat. Kadang-kadang Allah swt membukakan beragam pintu rezeki dan pintu kesejahteraan hidup serta kemajuan dalam banyak aspek kehidupan seperti termaktub dalam redaksi ayatnya, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka”; kemajuan di bidang ekonomi, pendidikan, teknologi, militer, kesehatan, kebudayaan, stabilitas keamanan dan lain sebagainya. Dan ini merupakan istidraj dan imlaa’ dari Allah bagi mereka sebagaimana firman Allah, “Maka serahkanlah (Ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al Quran), nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui, dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat tangguh” (QS Al Qalam [68]: 44-45).

Maka, ketika ada seseorang yang tidak shalat, tidak puasa Ramadhan, hobi bermaksiat, tapi hidupnya makmur dan sejahtera, ini adalah istidraj. Ketika ada keluarga yang jauh dari Allah dan mengelola rumah tangganya dengan nilai-nilai yang tidak islami, namun rezekinya melimpah dan hidupnya senang, ini pun termasuk istidraj.

Ketika ada ormas atau jamaah yang menghidupi organisasi dan jamaahnya dengan uang haram, tapi kelihatannya tambah maju, anggota dan pendukungnya banyaknya, dan pengaruhnya luas, ini juga termasuk istidraj. Ketika ada seseorang atau partai yang memenangkan pilkada dengan melanggar syarat-syarat kemenangan hakiki yang digariskan oleh Allah, baik dalam fund raising (pendanaannya) maupun dalam menarik dukungan menggunakan hal-hal yang haram dan menghalalkan segala cara, namun mendapatkan dukungan suara dan kursi yang sangat signifikan, maka ingatlah yang demikian pun adalah istidraj.

Hal ini juga berlaku bagi bangsa dan negara. Jika ada negara yang kufur, menghalalkan yang diharamkan oleh Allah, melegalkan beragam kemaksiatan, memerangi orang-orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, membatasi atau melarang berbagai aktivitas dakwah dan hal-hal positif lainnya, namun secara fisik tampak maju, maka hal ini termasuk istidraj.

Mengapa? Tidak setiap orang, keluarga, komunitas, ormas, partai, bangsa atau negara yang dianugerahi rezeki, kesejahteraan hidup, kemajuan dan kemenangan, berarti Allah mencintainya dan mendukungnya. Tidak, karena Allah memberi rezeki orang yang mukmin dan kafir, yang baik dan jahat, bahkan bisa jadi Allah mengabulkan doa dan permintaaan mereka lalu memberi mereka apa yang mereka di dunia, namun di akhirat mereka tidak mendapatkan bagian (pahala) apa pun, bahkan nerakalah tempat mereka.

Mari renungkan firman Allah berikut, “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: “Dan kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, Kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan Itulah seburuk-buruk tempat kembali” (QS Al Baqarah [2]: 126).

Juga firman-Nya, “Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa pemberian tangguh kami kepada mereka [Yakni: dengan memperpanjang umur mereka dan membiarkan mereka berbuat dosa sesuka hatinya] adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan” (QS Ali Imran [3]: 178).

Jadi, menurut Sayyid Quthb, sesungguhnya kemakmuran dan kesejahteraan hidup merupakan ujian lain sebagaimana ujian kesulitan dan kesengsaraan hidup. Bahkan, posisi ujian kesejahteraan lebih tinggi daripada ujian kesengsaraan. Dan Allah menguji hamba-Nya dengan kesejahteraan dan kesengsaraan, dengan kemudahan dan kesulitan. Dia swt menguji hamba-hamba-Nya yang taat dan maksiat (Fii Zhilal Al Qur’an II/1090). Bedanya, orang Mukmin tidak terpukau terhadap nikmat, namun justru menyikapinya dengan syukur dan sabar sehingga semua urusannya menjadi baik dan bernilai pahala. Rasulullah saw bersabda, “Ajaib atau unik urusan orang mukmin itu. Sebab, semua urusannya itu baik, dan itu tidak dimiliki kecuali oleh orang mukmin. Jika ia mendapatkan kebahagiaan (kemudahan) lalu bersyukur, maka hal itu menjadi kebaikan baginya. Dan jika ia ditimpa kesulitan, namun bersabar, maka hal itu pun menjadi kebaikan baginya” (HR Muslim no. 5318).

Datangnya kebinasaan di puncak kesenangan

Setelah Allah mengulur-ulur (istidraj) dan memberi tangguh (imlaa‘) dengan membukakan pintu-pintu kesejahteraan, kemakmuran, dan kemenangan “Sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.”

Inilah yang harus selalu kita waspadai. Ternyata, kemakmuran dan kesejahteraan hidup di tengah tumpukan maksiat kepada Allah bukanlah nikmat yang hakiki, melainkan istidraj dan mukaddimah kepada siksa. Ternyata, kemajuan dalam banyak aspek dan kemenangan yang diraih dengan menghalalkan segala cara adalah kemajuan dan kemenangan semu, karena bisa jadi merupakan istidraj dan justru pengantar bagi kehancuran, kemunduran, dan kekalahan. Maka, waspadalah untuk berkomentar, “Saya tidak shalat  tapi banyak rezeki.” Atau “Pakai uang haram sedikit-sedikit kan tidak apa-apa untuk kemenangan dakwah yang lebih besar,” dan lain-lain.

Kini, masihkah ada di antara kita yang bangga dan terhipnotis oleh kemilau kemajuan negeri adidaya Amerika dan negara Barat lainnya? Masihkah, kita asyik masyuk dengan beragam kemaksiatan dan kemungkaran, toh masih merasa banyak kemudahan rezeki? Dan masihkah kita terus membiayai aktivitas rumah tangga, organisasi, atau partai kita dengan uang-uang haram, toh tetap saja keluarga atau simpatisan dan anggota kita tidak berkurang?

Ingat, kehancuran dan kebinasaan serta kekalahan itu datang secara tiba-tiba, bahkan bisa jadi datang pada puncak kebahagiaan, kemajuan, dan kemenangan.

Sumber: Ummi

About A Halia