Hutang yang Dipersyaratkan Ada Tambahan
Terdapat hadits yang berbunyi,
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً, فَهُوَ رِبًا
“Setiap utang piutang yang ditarik manfaat di ldalamnya, maka itu adalah riba”. (Diriwayatkan oleh Al Harits bin Abi Usamah. Sanadnya terputus sebagaiaman disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram. Begitu pula hadits ini punya penguat dari Fadholah bin ‘Ubaid dikeluarkan oleh Al Baihaqi).
Walaupun hadits di atas dha’if (lemah) namun kandungannya benar karena dikuatkan oleh kata sepakat para ulama (ijma’).
Ibnul Mundzir rahimahullah berkata,
أجمع العلماء على أن المسلف إذا شرط عشر السلف هدية أو زيادة فأسلفه على ذلك أن أخذه الزيادة ربا
“Para ulama sepakat bahwa jika seseorang yang meminjamkan utang dengan mempersyaratkan sepuluh persen dari utangan sebagai hadiah atau tambahan, lalu ia meminjamkannya dengan mengambil tambahan tersebut, maka itu adalah riba”. (Al Ijma’, hal. 99, dinukil dari Minhatul ‘Allam, 6: 276).
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,
وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ
“Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama”. (Al Mughni, 6: 436).
Bagaimana Dengan Tambahan yang Bukan Persyaratan Awal?
Jika tambahan bukan prasyarat awal, hanya kerelaan dari pihak peminjam saat mengembalikan utang, tidaklah masalah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Raafi’ bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminjam dari seseorang unta yang masih kecil. Lalu ada unta zakat yang diajukan sebagai ganti. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menyuruh Abu Raafi’ untuk mengganti unta muda yang tadi dipinjam. Abu Raafi’ menjawab, “Tidak ada unta sebagai gantian kecuali unta yang terbaik (yang umurnya lebih baik, -pen).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menjawab,
أَعْطُوهُ فَإِنَّ مِنْ خِيَارِ النَّاسِ أَحْسَنَهُمْ قَضَاءً
“Berikan saja unta terbaik tersebut padanya. Ingatlah sebaik-baik orang adalah yang baik dalam melunasi utangnya”. (HR. Bukhari no. 2392 dan Muslim no. 1600).
Dari hadits di atas para ulama mengatakan bahwa sah-sah saja untuk berhutang karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas melakukannya. Namun berutang hendaklah di saat butuh saja karena berbagai dalil menunjukkan akan bahayanya berutang. Sebaiknya memang tidak bermudah-mudahan dalam berutang, apalagi dalam perkara yang sebenarnya ketika kita tidak memilikinya pun, tidak masalah. Akan tetapi demikianlah, ada sebagian orang yang terlalu memaksakan diri untuk memenuhi kebutuhan semacam itu sampai-sampai selalu menempuh jalan dengan berutang.
Dalil di atas juga menunjukkan bahwa boleh menunaikan hutang lalu mengganti dengan sesuatu yang lebih baik. Mengganti di sini bisa jadi dari sisi sifatnya, bisa jadi pula dari sisi jumlah.
Kalau yang disebutkan dalam hadits adalah dari sisi sifat, artinya unta yang diganti adalah dengan unta yang lebih baik. Bisa juga diganti dengan jumlah yang lebih banyak. Misalnya, ada yang meminjam 1 kg beras, kemudian diganti 2 kg. Itu sah-sah saja. Karena yang bisa kita pahami adalah makna umum, yaitu bisa mengganti utang dengan sesuatu yang lebih baik, di situ bisa dipandang dari sisi jumlah ataupun sifat. Kita bukanlah berpatokan pada kisah atau sebab yang disebutkan dalam hadits. Namun makna umumnya yang diambil. Kaedah yang biasa disebutkan oleh para ulama,
أَنَّ العِبْرَةَ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
“Yang jadikan ibrah (pelajaran) adalah umumnya lafazhnya, bukan khususnya sebab”.
Catatan penting yang perlu diperhatikan adalah, dibolehkan memberi tambahan dalam pengembalian utang selama bukan persyaratan di awal sebagaimana diterangkan dalam awal tulisan diatas.
Bolehkah Memberi Kelebihan SebelumPelunasan Hutang?
Mengambil keuntungan sekecil apapun dari transaksi utang piutang, dilarang dalam islam. Termasuk diantaranya adalah hadiah dan pemberian sebelum utang lunas, meskipun bentuknya jasa.
Sahabat Abdullah bin Sallam pernah mengatakan,
إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ فَأَهْدَى إِلَيْكَ حِمْلَ تِبْنٍ ، أَوْ حِمْلَ شَعِيرٍ أَوْ حِمْلَ قَتٍّ ، فَلاَ تَأْخُذْهُ ، فَإِنَّهُ رِبًا
“Apabila kamu mengutangi orang lain, kemudian orang yang diutangi memberikan fasilitas membawakan jerami, gandum, atau pakan ternak maka janganlah menerimanya, karena itu riba”. (HR. Bukhari 3814).
Memberi hadiah diperbolehkan, meskipun utang belum lunas asalkan sudah menjadi kebiasaan sebelumnya antara keduanya sehingga tidak ada hubungannya dengan utang piutang.
Dari Anas bin Malik,
إِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا فَأَهْدَى لَهُ أَوْ حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ فَلاَ يَرْكَبْهَا وَلاَ يَقْبَلْهُ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ جَرَى بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ
“Apabila kalian mengutangkan sesuatu kepada orang lain, kemudian (orang yang berutang) memberi hadiah kepada yang mengutangi atau memberi layanan berupa naik kendaraannya (dengan gratis), janganlah menaikinya dan jangan menerimanya. Kecuali jika sudah terbiasa mereka saling memberikan hadiah sebelumnya”. (HR. Ibnu Majah 2432).
Untuk lebih jelasnya bisa Anda pahami pada Bolehkah Memberi Hadiah Kepada Pemberi Hutang?
Bagaimana Jika Sudah Menjadi Tradisi Dalam Masyarakat?
Jika memberi kelebihan saat pelunasan hutang menjadi tradisi di masyarakat, statusnya sama dengan dipersyaratkan di depan. Sebagaimana dinyatakan dalam kaidah,
المعروف عرفا كالمشروط شرطا
“Apa yang telah menjadi tradisi, maka dia seperti menjadi syarat”. (al-Wajiz fi Qawaid Fiqh al-Kulliyah, hlm. 306).
Salah satu contoh penerapan kaidah ini, seperti yang terjadi dengan Abu Burdah. Ketika beliau di Iraq, beliau bertemu dengan sahabat Abdullah bin Sallam radhiyallahu ‘anhu. Kemudian Abdullah bin Sallam menggandeng Abu Burdah, dan beliau menasehatkan,
إِنَّكَ فِى أَرْضٍ الرِّبَا فِيهَا فَاشٍ وَإِنَّ مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا أَنَّ أَحَدَكُمْ يَقْرِضُ الْقَرْضَ إِلَى أَجْلٍ فَإِذَا بَلَغَ أَتَاهُ بِهِ وَبِسَلَّةٍ فِيهَا هَدِيَّةٌ فَاتَّقِ تِلْكَ السَّلَّةَ وَمَا فِيهَا
“Kamu berada di negeri yang tradisi riba tersebar di masyarakat. Salah satu pintu riba adalah ketika ada orang yang berutang ke temannya sampai batas waktu tertentu, ketika sudah jatuh tempo, dia datang untuk melunasi utangnya dengan membawa sekeranjang hadiah. Maka hindari keranjang itu, dan berikut isinya”. (HR. Baihaqi dalam al-Kubro, 11245).
Sekalipun pihak yang memberi utang tidak pernah meminta hadiah tambahan ketika pelunasan hutang. Dan sekalipun tidak ada kesepakatan di awal, namun menurut sahabat Abdullah bin Sallam, ini dilarang. Karena keberadaan hadiah saat melunasi utang telah menjadi tradisi di Iraq. Dan apa yang menjadi tradisi, statusnya sama seperti menjadi syarat.
Jadi, pelunasan utang dengan kelebihan diperbolehkan asal memenuhi beberapa syarat,
1. Tidak dipersyaratkan di awal. Jika ada persyaratan di awal, maka termasuk riba.
2. Murni atas inisiatif dan keinginan orang yang berutang. Jika kelebihan ini karena permintaan pemberi utang, maka termasuk riba.
3. Sudah menjadi kebiasaan sebelumnya antara penghutang dan pemberi hutang saling memberi hadiah. Sehingga tidak ada hubungannya dengan utang piutang.
4. Tidak menjadi tradisi di masyarakat. Jika memberi kelebihan saat pelunasan menjadi tradisi di masyarakat, statusnya sama dengan dipersyaratkan di depan.
Semoga kita semakin memahami mengenai riba dan berusaha untuk menjauhinya. Hanya Allah yang memberi taufik dan petunjuk. Semoga bermanfaat.
Wallahu ‘alam.
Artikel: syariahislam.com