Oleh : Taryono Asa (Wartawan Senior)
Allahuyarham Buya Hamka sudah berpulang ke rahmatullah puluhan tahun lalu. Namun kisah keteladanan dari ulama besar tersebut, selalu saja layak untuk digali dan diteladani. Bagi sebagian orang, Buya Hamka dikenal sebagai ulama garis lurus. Tapi sesungguhnya Buya bukan hanya sekadar ulama kebanyakan, tetapi beliau juga seorang ahli tafsir dengan Tafsir Al Azharnya, seorang politisi dari Masyumi, dan seorang sastrawan.
Namun sejarah mencatat, Buya Hamka sosok ulama yang memiliki hati seluas samudera. Beliau orang yang sangat mudah memberi maaf pada orang yang telah mendzaliminya. Sebutlah Bung Karno, selama Bung Karno berkuasa, Buya mendapat perlakuan yang sangat kejam. Dipenjara dua tahun lebih dengan tuduhan yang tidak masuk akal. Buya dituduh melakukan persekongkolan untuk membunuh Presiden Soekarno. Di dalam penjara mendapat siksaan fisik yang sangat keras. Namun Buya justru berterima kasih, lantaran dengan dipenjara itu Buya dapat menyelesaikan Tafsir Al Azhar yang fenomenal.
Bukan itu saja, saat Soekarno meninggal dan diminta untuk menjadi imam shalat jenazah, dengan keikhlasan penuh, Buya jalani. Buya memang tidak pernah mendendam dengan lawan politiknya.
Seorang aktivis senior Amir Hamzah punya kisah saat beliau memohon pada Buya untuk mengimami shalat Jenazah Almarhum Prof Iwa Kusuma Soemantri. Bukan rahasia umum, antara Buya dan Iwa tidak akur. Dalam berbagai pemberitaan di surat kabar, antara Iwa dan Buya sering terjadi pertentangan yang runcing dalam menyikapi satu masalah. Latar belakang partainya pun berbeda. Buya dari Masyumi dan Prof Iwa dari Partai Murba. Amir Hamzah yang saat itu menjadi Ketua Bidang Sosial Politik Organisai Gabungan. Karyawan Demokrasi Pancasila diminta oleh almarhum Menteri Luar Negeri Adam Malik untuk mempersiapkan segala Sesuatunya terkait dengan kondisi Iwa yang tengah kritis. Karena itulah saat Iwa Kusuma Sumantri meninggal dunia, tanggal 27 November 1971 sore bada Ashar menjelang Maghrib, Amir Hamzah standby di rumah duka, Jalan Serang No. 24 Menteng, Jakarta Pusat.
Kebetulan anak-anak Prof. Iwa perempuan dan laki-laki tengah dalam suasana berduka, ditambah Amir Hamzah memiliki latar belakang pengetahuan agama dan hubungan yang baik dengan berbagai pihak, Pak Adam Malik menugaskan Amir Hamzah untuk mengurus segala sesuatu yang terkait pemakaman jenazah Prof. Iwa. Sehubungan Prof. Iwa punya Bintang Gerilya maka harus kita informasikan ke Presiden Suharto, melalui ajudan seniornya Try Sutrisno. Amir pun segera melaporkan soal wafatnya Prof Iwa.
Oleh Presiden Suharto diperintahkan bahwa pemakaman dilakukan dengan upacara militer dan dimakamkan di TMP Kalibata. Amir Hamzah segera melaporkan ke Ibu Iwa (istri Iwa). Ternyata Prof. Iwa Koesoema Soemantri ini sebelum meninggal sudah pesan 2 kapling tanah kubur di TPU Karet yakni untuk beliau dan untuk istri. Amir pun lapor lagi ke Presiden. Akhirnya dicari jalan tengah. Tetap dengan upacara militer tapi pemakamannya di TPU Karet. “Ok, kata Pak Try nanti tinggal tunggu dari pihak Skogar untuk urusan upacaranya, ” kenang Amir. Sampai situ selesai.
Saat sekitar waktu Isya, Amir dipanggil Bu Iwa. “Nak Amir, Ibu pinginnya tuh besok pagi shalat jenazahnya ini kalo bisa imamnya Buya Hamka. Tolong kamu telpon Buya.”
Deg. Amir merasa ini tugas yang sangat mustahil. Amir tahu, selama ini sering baca buku, koran, denger radio saya ini karna baca buku sejarah, baca koran, antara Buya dan Prof. Iwa semenjak muda dulu. mereka ini musuh bebuyutan. Mereka beda idiologi. Prof. Iwa Murba dan Buya masyumi.
Amir menolak, permintaa itu. “Saya tidak berani, Bu,” kata Amir sambil menyebutkan alasan-alasannya. Kira-kira satu jam kemudian untuk kedua kalinya, Amir dipanggil. Amir tetap kukuh menolak, karena tidak berani.
Sudah malam sekitar jam 11 Amir tidur-tiduran. Tengah malam Amir Hamzah dibangunkan lagi dan Ibu Iwa untuk ketiga kalinya mohon untuk menelpon Buya. Dan apa keputusan Buya ditunggu. “Ayolah Mir, telpon Buya. Siapa tahu ada pelajaran baru yang bisa kamu ambil dari Buya”
Amir tercekat. Kata terakhir dari istri Prof. Iwa, siapa tahu ada ilmu yang bisa diambil, melecutnya untuk bangkit dan segera menelpon Buya. Akhirnya dengan memberanikan diri, Amir telpon. Dan yang mengangkat adalah Rusydi Hamka. Setengah jam kemudian Amir telpon lagi. Yang mengangkat masih Rusydi. Lalu disambungkan ke Buya.
“Assalamualaikum Buya mohon maaf malam-malam saya telfon Buya”.
“Ada apa, Mir, ” kata Buya.
“Pertama, saya ingin menyampaikan berita duka Prof. Iwa Kusuma Sumantri meninggal dunia tadi sore antara antara Ashar dan Magrib,” kata Amir.
“Innaillahi wainnaillahi rajiun, ” jawab Buya yang dilanjutkan, “kamu tau gak? ” Deg. Amir berpikir jangan-jangan mau diomelin. Sesaat Amir terdian. “Kamu tau gak?” ulang Buya. “Saya tidak tau Buya,” jawab Amir. Buya langsung menjelaskan, “Kamu tau gak, Prof. Iwa itu sahabat karib saya”. Lega rasanya mendengar jawaban Buya..
Akhirnya Amir menceritakan kronologisnya sampai akhirnya berani menelpon Buya di tengah malam. Setelah itu Amir menyampaikan permintaan keluarga untuk menjadi Imam shalat janazah. Saat itu Buya langsung menyanggupi dan bersedia jadi imam shalat janazah Prof Iwa.
Sebelumnya Buya menjelaskan, perbedaan pandangan dalam menyikapi sesuatu itu merupakan sebuah hal yang wajar. Karena itu tuntutan sistem politik dalam sistem demokrasi di negara kita. Tapi yang perlu dicatat oleh anak-anak muda. Jangan sampai ikatan tauhid, dan ikatan ukhuwwah terputus oleh perbedaan politik dan cara pandang sesuatu.
Buya Hamka memang layak diteladani.