thayyibah.com :: Apabila seseorang sedang berpuasa, kemudian ia berniat membatalkan puasanya tersebut, apakah puasanya sudah batal, walaupun ia belum sempat makan dan minum?
Pertama,
Terkait masalah keinginan hati, ada 2 hal yang perlu dibedakan,
1. Lintasan Batin
Ketika seseorang sedang beribadah, terkadang terlintas berbagai macam keinginan. Misalnya, seseorang yang berpuasa. Ketika melewati makanan, terlintas keinginannya untuk mencicipi makanan itu.
Munculnya lintasan semacam ini, bagian dari was-was setan untuk mengganggu manusia. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan, bahwa Allah Ta’ala tidak akan memperhitungkan lintasan batin semacam ini. Dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ لِأُمَّتِي عَمَّا وَسْوَسَتْ، أَوْ حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا، مَا لَمْ تَعْمَلْ بِهِ أَوْ تَكَلَّمْ
“Sesungguhnya Allah memaafkan was-was batin yang terjadi pada umatku atau lintasan hatinya, selama tidak diamalkan atau diucapkan”. (HR. Bukhari 6664, Ibnu Majah 2040 dan yang lainnya).
Imam An-Nawawi mengatakan,
الخواطر وحديث النفس إذا لم يستقر ويستمر عليه صاحبه فمعفو عنه باتفاق العلماء؛ لأنه لا اختيار له في وقوعه ولا طريق له إلى الانفكاك عنه
“Lintasan dan bisikan hati selama tidak keterusan bersarang pada pemiliknya, statusnya dimaafkan, dengan sepakat ulama. Karena dia tidak memiliki pilihan untuk menghindarinya, dan tidak ada jalan lain untuk terlepas darinya”.
Kemudian Imam An-Nawawi menyebutkan hadits dari Abu Hurairah di atas.
2. Tekad Kuat
Keinginan yang sudah menjadi tekad kuat, termasuk niat. Ketika manusia telah memiliki tekad kuat untuk melakukan sesuatu, maka dia dianggap telah berniat. Oleh sebab itu, dia berhak mendapatkan pahala niat jika isi tekadnya baik atau mendapat dosa niat, jika keinginannya buruk.
Ketika menjelaskan hadits Abu Hurairah di atas, Imam Ibnu Baz mengatakan,
لكن إذا استقر في القلب، وصار عملاً يؤاخذ به الإنسان، إذا استقر في قلبه، من المنكر، ومن الكبر والخيلاء أو نفاق أو غير هذا من أعمال القلوب الخبيثة يؤخذ به الإنسان، أما إذا كان عوارض تخطر في البال ، ولا تستقر ، فالله لا يحاسبه عليها
“Hanya saja, apabila keinginan itu telah menetap dalam hati, dan menjadi amal hati, maka di sinilah manusia berhak mendapat hukuman (jika niatnya buruk, pen.). Apabila dalam hatinya menetap keinginan untuk berbuat kemunkaran, rasa sombong, kemunafikan, atau amalan hati yang buruk lainnya. Manusia akan dihukum dengan adanya niat semacam ini. Akan tetapi, apabila keinginan itu hanya lintasan dalam pikiran, tidak mengendap, Allah tidak menghisabnya”. (Sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/11400).
Kedua,
Para ulama menegaskan, apabila seseorang telah berniat (baca: tekad) untuk memutus puasanya, maka puasanya dianggap batal, meskipun dia belum makan atau minum atau melakukan pembatal puasa apa pun lainnya.
Ibnu Utsaimin dalam fatwanya menjelaskan,
من المعلوم أن الصوم جامع بين النية والترك، فينوي الإنسان بصومه التقرب إلى الله ـ عز وجل ـ بترك المفطرات، وإذا عزم على أنه قطعه فعلاً فإن الصوم يبطل…
“Seperti yang kita tahu bahwa puasa adalah gabungan antara niat dan meninggalkan (pembatal puasa). Seseorang berniat dengan pusanya dalam rangka ibadah kepada Allah, dengan meninggalkan pembatal puasa. Jika dia benar-benar bertekad memutus puasanya, maka puasanya batal”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 17:137).
Keterangan yang sama juga disampaikan Dr. Abdullah Al-Jibrin. Dalam Syarh Umdatul Ahkam, beliau menjelaskan,
ذكر العلماء أن من عزم على الإفطار ولو لم يأكل بطل صومه ، فلو سافر إنسان وعزم على أنه يفطر، ولكن ما وجد ماء ولا وجد أكلاً، ولما لم يجده أكمل صيامه نقول: بطل صومه بهذا العزم
“Para ulama menyebutkan, bahwa orang yang bertekad untuk membatalkan puasanya, meskipun dia belum makan, puasanya batal. Ketika seseorang melakukan safar, dan berniat untuk tidak puasa, akan tetapi dia tidak menjumpai air atau makanan, dan dia tetap melanjutkan pusanya, maka kita katakan, puasanya batal dengan niat ini”. (Syarh Umdatul Ahkam, 38:27. Diambil dari Fatwa Islam, 194641).
Ketiga,
Ulama berbeda pendapat untuk kasus orang yang mengalami taraddud (keinginan yang belum pasti), antara melanjutkan puasa ataukah membatalkannya. Apakah puasanya batal ataukah tidak?
Al-Mardawi – ulama Hambali – wafat tahun 885 H., mengatakan,
وعلى المذهب؛ لو تردد في الفطر ، أو نوى أنه سيفطر ساعة أخرى ، أو قال: إن وجدت طعاماً أكلت وإلا أتممت؛ فكالخلاف في الصلاة .قيل يبطل؛ لأنه لم يجزم النية ، نقل الأثرم لا يجزئه عن الواجب ، حتى يكون عازماً على الصوم يومه كله .قلت: وهذا الصواب. وقيل : لا يبطل ; لأنه لم يجزم نية الفطر ، والنية لا يصح تعليقها
“Berdasarkan madzhab Hambali, apabila seseorang mengalami taraddud (keraguan) antara berbuka (ataukah melanjutkan puasa) atau dia berniat untuk membatalkan puasa pada saat tertentu, atau dia mengatakan, ‘Jika menemukan makanan nanti saya makan, jika tidak, saya lanjut puasa,’ perbedaan semacam ini, seperti perbedaan dalam masalah keraguan niat dalam shalat.
Ada yang mengatakan, puasanya batal, karena niatnya belum pasti. Al-Atsram menukil keterangan bahwa tidak sah untuk puasa wajib, hingga dia kuatkan tekadnya (jaga niat) untuk terus puasa sehari penuh. Menurutku, inilah pendapat yang benar.
Ada juga yang mengatakan, puasa tidak batal. Karena dia belum berniat (bertekad) untuk membatalkan puasa. Dan niat tidak sah jika digantungkan”. (Al-Inshaf fi Ma’rifati Ar-Rajih min Al-Khilaf, 3:297).
Kemudian Hanafiyah dan Syafiiyah menegaskan bahwa puasanya tidak batal dengan semata keraguan. (Badai’ Ash-Shana’i, 2:92)
Imam An-Nawawi mengatakan,
ولو تردد الصائم في قطع نية الصوم والخروج منه أو علقه على دخول شخص ونحوه فطريقان أحدهما على الوجهين فيمن جزم بالخروج منه والثاني وهو المذهب وبه قطع الأكثرون لا تبطل وجها واحدا
“Jika ada orang yang mengalami keraguan untuk membatalkan puasanya, atau dia berniat batal jika ada seseorang yang masuk atau dikaitkan dengan syarat lainnya, maka di sana ada dua pendapat. Pertama, ada yang menegaskan puasanya batal, menurut pendapat sebagian ulama mazhab. Kedua, inilah yang menjadi pendapat Syafi’iyah, dan yang ditegaskan oleh mayoritas ulama mazhab, bahwa puasanya tidak batal”. (Al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab, 3:285).
Imam Ibnu Utsaimin menguatkan pendapat mayoritas ulama, bahwa puasanya tidak batal. Beliau pernah ditanya masalah serupa, dan jawaban beliau,
وأما إذا لم يعزم ولكن تردد فموضع خلاف بين العلماء: منهم من قال: إن صومه يبطل؛ لأن التردد ينافي العزم. ومنهم من قال: إنه لا يبطل؛ لأن الأصل بقاء النية حتى يعزم على قطعها وإزالتها ، وهذا هو الراجح عندي لقوته ، والله أعلم
“Apabila dia tidak bertekad, dan masih ragu, kasus ini masih diperselisihkan ulama. Sebagian mengatakan, puasanya batal. Karena munculnya keraguan, menghilangkan tekad. Sebagian berpendapat, puasanya tidak batal. Karena pada asalnya, niat tetap ada, hingga dia memastikan untuk membatalkan niatnya. Inilah pendapat yang lebih kuat menurutku. Allahu a’lam”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 17:137).
Demikian, pembahasan tentang Hukum Berniat Membatalkan Puasa, Apakah Puasanya Batal? Wallahu a’lam.
[Disalin dari: Muslimah.Or.Id/5844, Ustadz Ammi Nur Baits].