Catatan buat Yusuf Mansur
Oleh: HM Joesoef
Covid-19 menggugah banyak pihak untuk ikut serta membantu saudara-sadaura kita yang terdampak. Ada yang membantu memberi Alat Pelindung Diri (APD) untuk para medis, memberi hand sanitizer dan sabun untuk cuci tangan, memberi sembako dan nasi kotak gratis untuk mereka yang membutuhkan. Semua ini adalah amalan baik yang bisa memperkuat ikatan sosial antar anak-bangsa.
Berbagai lembaga filantropi seperti Dompet Duafa, Aksi Cepat Tanggap, Yayasan Dana Sosial Al-Falah, Baznas dan sejenisnya selalu hadir dalam berbagai kesempatan, apakah itu bencana alam atau pandemi Covid-19 seperti yang terjadi saat ini. Mereka menghimpun dana lalu disalurkan sesuai dengan peruntukan. Lembaga-lembaga ini bekerja sesuai dengan rambu-rambu perundang-undangan yang berlaku. Lembaga-lembaga ini selalu diaudit dan bisa dipertanggungjawabkan kepada khalayak, termasuk kepada para donaturnya.
Tetapi, tidak sedikit juga yang memanfaatkan situasi pandemi Covid-19 ini untuk berkreasi yang berujung dengan memulung sedekah. Salah satu yang gencar memulung sedekah di era Covid-19 ini adalah Daarul Qur’an milik Yusuf Mansur. Judulnya bisa macam-macam, ada kuliah online, ada sedekah Nasional dan masih banyak lagi judul yang ujung-ujungnya adalah memulung sedekah. Pertanyaan besarnya, apakah sedekah yang dipulung itu sesuai dengan peruntukan? Wallahu A’lam.
***
Dalam berbagai literature tentang filantropi, seorang pengusaha sukses, baik secara pribadi maupun grup, umumnya mempunyai lembaga atau yayasan yang secara khusus menyalurkan sebagian rezeki yang ia dapatkan dalam berbisnis untuk kegiatan-kegiatan amal kemanusiaan. Dana yang didonasikan untuk kemanusiaan itu bisa dari dana pribadi maupun dari sebagian keuntungan dari perusahaannya. Pengusaha-pengusaha besar di tingkat dunia maupun di Indonesia, umumnya punya kepedulian yang sama.
Para pengusaha yang punya lembaga filantropi itu umumnya bertindak atas nama pribadi atau grup perusahaannya, lalu menyalurkannya secara transparan. Bisa juga para dermawan tersebut mengajak masyarakat untuk menyalurkan danasinya lewat lembaga atau yayasan yang mereka dirikan. Para donatur itu punya kepercayaan yang tinggi kepada perorangan atau lembaga tertentu menitipkan donasinya untuk disalurkan lewat lembaga-lembaga tersebut.
Ini soal kepercayaan. Seseorang percaya kepada perorangan atau lembaga tertentu agar bisa menyalurkan dananya untuk tujuan tertentu. Keprcayaan itu dibangun lewat reputasi diri sang pengusaha yang memang sudah dikenal akan kejujurannya dalam mengelola dan menyalurkan bantuan dana dari masyarakat. Mereka tidak mengambil sesenpun dana masyarakat tersebut. Hanya menampung lalu menyalurkannya. Inilah yang terjadi di dunia, juga di Indonesia. Ada pengusaha sukses, buat lembaga filantropi, lalu ia mengajak orang lain untuk berlomba-lomba melakukan amal baik melalui lembaga yang didirikannya.
Islam sendiri selalu mengajak umat manusia untuk berlomba-lomba melakukan kebaikan untuk kemanusiaan. Ada kisah klasik di era Sahabat tentang melaksanakan perbuatan baik tersebut. Salah satu kisahnya berkaitan dengan Sahabat Abu Bakar As-Shiddiq. Suatu hari Abu Bakar As-Shiddiq, bersama para sahabat lain, duduk di samping Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Lalu beliau bertanya kepada mereka:
“Siapakah diantara kalian yang puasa pada hari ini?”
Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu menjawab, “Saya.”
Nabi bertanya, “Siapakah diantara kalian yang mengiringi atau mengantarkan (pemakaman) jenazah pada hari ini?”
Abu Bakar menjawab, “Saya.”
Nabi bertanya lagi, “Adakah diantara kalian yang memberikan makan kepada orang miskin hari ini?” Abu Bakar menjawb, “Saya.”
Nabi bertanya lagi, “Adakah diantara kalian yang menjenguk orang sakit pada hari ini?”
Abu Bakar berkata, “Saya.”
Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,”Tidaklah kebaikan-kebaikan ini berkumpul pada seseorang kecuali dia akan masuk surga.” (HR Imam Muslim)
Inilah sebuah kisah berlomba dalam kebaikan, sebagaimana tersurat dalam Qur’an surah Al-Baqarah ayat 148:
الْخَيْرَاتِ فَاسْتَبِقُوا
“Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan.”
Berlomba-lomba dalam kebaikan itu artinya memberi, bukan meminta. Dan begitulah seyogyanya para pengusaha sukses dalam melakukan amal kebaikan.
Yusuf Mansur, dalam berbagai kesempatan, selalu mengatakan bahwa dirinya jika berceramah tidak minta bayaran. Hal itu karena dia mengaku sebagai pengusaha. Jadi tidak perlu bayar dia jika mengundangnya berceramah. Tetapi, di akhir ceramah ia selalu meminta sedekah untuk ini dan itu yang nota bene untuk membiayai berbagai aktifitas lembaga yang dimilikinya.
Jika Yusuf Mansur merasa sebagai pengusaha sukses, mestinya dia tidak lagi memulung sedekah umat. Tetapi, ia, baik secara pribadi maupun lembaganya, memelopori memberi sedekah kepada mereka yang membutuhkan! Wallahu A’lam!