thayyibah.com :: Ramadhan selama ini identik dengan bulan panen rezeki bagi pedagang makanan. Biasanya, di sepanjang jalan akan banyak penjual takjil yang menawarkan berbagai macam menu berbuka puasa, mulai dari es kelapa muda, es campur, kolak biji salak, hingga gorengan yang menjadi favorit banyak orang.
Tahun ini, apakah cerita penjual takjil itu akan sama dengan Ramadhan tahun-tahun sebelumnya? Sriyanti yang sudah lima tahun menjajakan gorengan di pertigaan jalan Bambu Apus, Pamulang, Tangerang Selatan sudah merasakan dampak pandemi Covid-19 terhadap bisnis kecilnya.
Sehari-hari, di samping gorengan, Sri menjual nasi uduk, nasi kuning, lontong isi, bihun kecap. Dia mulai menjajakan dagangannya di lapaknya sejak pukul 06.30 pagi dan akan tutup pukul 07.30 WIB untuk berjualan di sekolah.
Sejak sekolah tutup menyusul munculnya wabah Covid-19, Sri hanya mengandalkan pendapatan dari berjualan sarapan pagi hari. Saat masuk bulan Ramadhan, Sri biasanya menjadi penjual takjil buka puasa.
Sejak 2016, Sri mendapati menu favorit berupa lontong isi dan gorengan yang kerap ludes sebelum Maghrib. Sri juga tidak mau ikut-ikutan berjualan aneka minuman buka puasa.
“Biarlah, ada penjualnya sendiri untuk minuman itu,” ungkap perempuan berusia 50 tahun itu.
Sri menyadari, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) telah berlaku di Tangerang Selatan, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang sejak 18 April 2020. Itu artinya, tak boleh ada aktivitas yang memancing kerumunan. Namun, ia berharap masih bisa menjajakan takjilnya seperti biasa, menjejerkan risol, pastel, martabak telor, bakwan, tahu isi, tempe, serta lontong isi dan tidak lupa sambal kacang di mejanya.
Sri berharap metode berjualannya tidak ada yang berubah meski PSBB berlangsung. Ia belum terpikir cara lain untuk berdagang takjil.
“Pengennya tetap gelar begini saja, kan cuma sebentar, tidak lama. Paling tiga jam,” ujar Sri ditemui Republika.co.id di warungnya di Bambu Apus, Pamulang, Tangerang Selatan, belum lama ini.
Sejak munculnya wabah Covid-19 dan physical distancing, dagangan Sri menjadi sepi pembeli. Sri yang biasa mendapati dagangannya ludes pada pukul 08.00 WIB, kini pada pukul 09.30 WIB pun ia masih duduk menanti pembeli datang.
“Ya Allah, berubah banget, pembelinya (berkurang), nyari uang susah, gimana ya,” ujarnya Sri.
Tantangan bagi Sri semakin besar akibat naiknya harga bahan-bahan untuk membuat dagangannya. Bawang putih, kubis, dan wortel harganya sudah merangkak naik.
Sri mengaku tidak ingin kehilangan pembeli akibat penurunan kualitas jajanan yang ditawarkannya. Meskipun bahan-bahan itu mahal, namun Sri tetap mempertahankan ukuran gorengannya.
“Gorengannya seperti biasa aja, tidak perlu dikecilin, jangan mahal. Kalau dikecilin, nanti orang tak mau beli. Duit Rp 1.000 kan ada harganya,” ungkap perempuan ini yang berjualan dengan menggunakan masker.
Sri menawarkan gorengan dan lontong isi dengan harga satuan Rp 1.000. Dengan ukuran gorengan yang sama inilah Sri berharap warungnya tetap dikunjungi oleh pembeli.
Sumber: republika.co.id