thayyibah.com :: Apakah bohong saat puasa bisa membatalkan puasa?
Berbohong Saat Puasa
Larangan berbohong saat berpuasa telah disebutkan dalam hadits berikut ini,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903)
Zuur yang dimaksud dalam hadits di atas adalah dusta. Berdusta dianggap jelek setiap waktu. Namun semakin teranggap jelek jika dilakukan di bulan Ramadhan. Hadits di atas menunjukkan tercelanya dusta. Seorang muslim tentu saja harus menjauhi hal itu.
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa larangan yang dimaksud dalam hadits di atas adalah larangan haram, namun bukan termasuk pembatal puasa. Pembatal puasa hanyalah makan, minum dan jima’ (hubungan intim). Lihat Fath Al-Bari, 4: 117.
Sebagaimana dikatakan oleh Ibnul ‘Arabi,
مُقْتَضَى هَذَا الْحَدِيثِ أَنَّ مَنْ فَعَلَ مَا ذُكِرَ لَا يُثَابُ عَلَى صِيَامِهِ ، وَمَعْنَاهُ أَنَّ ثَوَاب الصِّيَام لَا يَقُومُ فِي الْمُوَازَنَةِ بِإِثْم الزُّور وَمَا ذُكِرَ مَعَهُ
“Konsekuensi dari hadits tersebut, siapa saja yang melakukan dusta yang telah disebutkan, balasan puasanya tidak diberikan. Pahala puasa tidak ditimbang dalam timbangan karena telah bercampur dengan dusta dan yang disebutkan bersamanya.” (Fath Al-Bari, 4: 117)
Al-Baidhawi menyatakan,
لَيْسَ الْمَقْصُود مِنْ شَرْعِيَّةِ الصَّوْمِ نَفْس الْجُوعِ وَالْعَطَشِ ، بَلْ مَا يَتْبَعُهُ مِنْ كَسْرِ الشَّهَوَات وَتَطْوِيعِ النَّفْسِ الْأَمَّارَةِ لِلنَّفْسِ الْمُطْمَئِنَّةِ ، فَإِذَا لَمْ يَحْصُلْ ذَلِكَ لَا يَنْظُرُ اللَّه إِلَيْهِ نَظَر الْقَبُولِ
“Bukanlah maksud syari’at puasa adalah menahan lapar dan dahaga saja. Dalam puasa haruslah bisa mengendalikan syahwat dan memenej jiwa agar memiliki hati yang tenang. Jika tidak bisa melakukan seperti itu, maka Allah tidaklah menerima puasa tersebut.” (Fath Al-Bari, 4: 117)
Dampak Jelek Berbohong
1- Berbohong memang teramat bahaya yang dapat mengantarkan pada sifat-sifat jelek lainnya.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
“Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur karena sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Muslim no. 2607)
2- Berbohong selalu menggelisahkan jiwa, berbedakan dengan sifat jujur yang selalu menenangkan.
Dari Al-Hasan bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
“Tinggalkanlah yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta akan menggelisahkan jiwa.” (HR. Tirmidzi no. 2518 dan Ahmad 1: 200. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
3- Berbohong merupakan tanda kemunafikan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Ada tiga tanda munafik: jika berkata, ia dusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan jika diberi amanat, ia khianat.” (HR. Bukhari no. 33)
Asy-Sya’bi berkata,
مَنْ كَذَبَ ، فَهُوَ مُنَافِقٌ
“Siapa yang berdusta, maka ia adalah munafik.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 493)
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,
الكَذِبُ جِمَاعُ النِّفَاقُ
“Dusta dapat mengumpulkan sifat kemunafikan.” (Ramadhan Durusun wa ‘Ibarun, hal. 39).
Mengajarkan Anak untuk Berbohong
Ada perkataan dari Az-Zuhri, dari Abu Hurairah –walau sanad riwayat ini munqathi’ (terputus)-, ia berkata, “Siapa yang mengatakan pada seorang bocah, ‘Mari sini, ada kurma untukmu.’ Kemudian ia tidak memberinya sedikit kurma pun, maka ia telah berdusta.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2; 485). Tidak sedikit dari orang tua yang membohongi anaknya seperti yang dinyatakan dari Abu Hurairah di sini.
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhahullah berkata, “Jika orang tua sudah mengingkari janji yang ia katakan pada anaknya, maka hilanglah kepercayaan dari anak pada orang tua. Bagaimana lagi jika orang tua sampai mengajarkan secara langsung untuk mengingkari janji? Tentu nantinya anak tidak lagi percaya pada orang tuanya sendiri.
Begitu pula didikan yang keliru adalah jika ada seseorang yang datang mencari orang tua, lalu ia katakan pada anaknya, ‘Beritahu saja, bapak tidak ada di rumah.’ Ini termasuk dosa dan telah mendidik anak untuk berbohong tanpa orang tua sadari.” (Fiqh Tarbiyah Al-Abna’, hal. 243).
Berbohong Saat Bercanda
Tidak boleh berbohong pula dalam bercanda, bersandiwara atau hanya ingin membuat orang lain tertawa. Dari Bahz bin Hakim, ia berkata bahwa ayahnya, Hakim telah menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَيْلٌ لِلَّذِى يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
“Celakalah bagi yang berbicara lantas berdusta hanya karena ingin membuat suatu kaum tertawa. Celakalah dia, celakalah dia.” (HR. Abu Daud no. 4990 dan Tirmidzi no. 3315. Al-Hafizh Abu Thaohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Di antara faktor yang mendorong seseorang biasa berbohong:
- jauh dari agama,
- tidak takut akan siksa atau hukuman dari Allah di akhirat,
- ingin mendapatkan kebaikan yang cepat diperoleh di dunia,
- sudah jadi kebiasaan,
- hasil didikan yang jelek.
Marilah jadikan bulan Ramadhan sebagai ajang untuk memperbaiki diri menjadi lebih baik.
—
Sore hari @ Pesantren Darush Sholihin GK, 27 Sya’ban 1435 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
Sumber : https://rumaysho.com/11175-bohong-saat-puasa-apakah-membatalkan-puasa.html