Oleh : Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H (Direktur HRS Center)
Perppu Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, telah diterbitkan Presiden Joko Widodo. Selanjutnya, menunggu keputusan DPR apakah akan menolak atau justru menetapkannya menjadi undang-undang.
Dilihat dari judul Perppu, sebenarnya diarahkan untuk kepentingan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan yang terancam bahaya. Dapat dikatakan, kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan ‘mendompleng’ pandemi virus corona. Adanya kata “dan/atau” yang mendahului frasa “dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan”, menunjukkan bahwa Perppu berlaku juga terhadap adanya ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Perppu tidak menyebutkan ancaman yang membahayakan dimaksud, selain pandemi virus Corona. Oleh karenanya, Perppu tetap berlangsung, walaupun pandemi virus Corona sudah tidak ada lagi di Indonesia.
Di sisi lain, Perppu tidak menentukan parameter waktu keberlakuannya, ini terkait dengan dengan berakhirnya masa pandemi virus Corona guna kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan yang akan diambil.
Perppu menyatakan batasan defisit anggaran melampui 30 % (tiga puluh persen) dari PDB selama masa penanganan Covid-19 dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022. Sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari PDB. Namun demikian, meskipun defisit disyaratkan kembali 3 persen pada 2023 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 2, ketentuan tersebut tidak dapat menjadi dalil sebagai ukuran bahwa kebijakan dimaksud berakhir pada tahun yang bersangkutan.
Lebih lanjut, pemerintah saat ini juga sedang merumuskan Perppu terkait dengan penundaan Pilkada serentak –semula dijadwalkan pada 23 September 2020– sebagai respon Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dengan mewabahnya virus Corona. Dampak wabah virus corona juga dikhawatirkan merambah pada kemampuan ketersediaan pangan. Tiga lembaga dunia di bawah PBB, WTO, FAO dan WHO telah memperingatkan bahwa virus corona bisa memicu potensi kekurangan (baca: krisis) pangan di seluruh dunia.
Terhadap berbagai permasalahan yang muncul akibat pandemi virus Corona, menimbulkan pertanyaan serius, apakah Presiden benar-benar akan menyatakan kedaruratan negara (darurat sipil) berdasarkan kekuatan Undang-Undang Keadaan Bahaya?.
Terlepas dari pro dan kontra, secara obyektif harus dicermati keadaan yang bagaimana yang akan dilindungi oleh pemerintah, apakah kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan kapital termasuk gepolitik RRT atau malah sebaliknya. Kepentingan gepolitik dimaksud menunjuk pada investasi dan berbagai kerjasama strategis.