Oleh : Hersubeno Arief
Di media sosial, dalam beberapa hari terakhir berkembang spekulasi politik tingkat tinggi.
Presiden Jokowi dan para pembantunya, dituding sedang menyusun plot “kudeta” terhadap Gubernur DKI Anies Baswedan.
Posisi Jakarta sebagai episentrum penyebaran wabah Covid-19, menjadi momentum yang sangat tepat mempercepat kejatuhan Anies. Indikatornya semua kebijakan Anies alih-alih didukung, tapi malah disabot, diaborsi. Buzzer pemerintah secara sistimatis menghajar Anies dari berbagai penjuru. Tak kenal ampun.
Perbincangan di berbagai WAG, beberapa akun anonim maupun real, menyebar info tersebut, tanpa jelas kebenarannya. Hanya menyebutnya dengan embel-embel A-1. Sekedar untuk meyakinkan bahwa info itu valid. Satu hal yang pasti, intelektual NU yang mulai tak muda lagi, Ulil Abshar Abdalla secara guyon menyebut mereka seperti pasangan suami istri, tidak akur. “Jadi mestinya penanganan di daerah ini mesti serius. Pemerintah pusat dan Pemda DKI harus “rukun, mawaddah wa-rahmah”,” kata Ulil. Kosa kata itu sering digunakan untuk menggambarkan rukunnya pasangan suami istri yang dianjurkan oleh agama.
Anies, dalam penilaian politisi Partai Demokrat itu sejak awal sudah serius menangani. Tapi oleh pemerintah pusat malah dituding “mencari panggung.” Sejak merebaknya virus Corona, aroma persaingan antara Istana Merdeka dan Kantor Gubernuran DKI kian terasa. Soal ini sebenarnya tidak terlalu mengagetkan. Sudah berlangsung sejak Anies terpilih menjadi Gubernur DKI (2017). Namun intensitasnya menjadi semakin tinggi, bersamaan dengan masuknya penyakit impor dari China itu. Banyak yang menyebutnya seperti matahari kembar. Yang satu terbit di Jalan Merdeka Utara, dan satunya lagi mulai bersinar terang di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta.
Para buzzer pemerintah secara terbuka menyerang Anies. Cari panggung dan bahkan mencuri panggung. Dia dianggap melampaui kewenangannya. Bertindak seolah seperti seorang presiden. Berbagai langkah Anies mengatasi penyebaran virus dikritisi, dinegasi, bahkan sampai ada yang mau demonstrasi. Bersamaan dengan itu pemerintah pusat mengaborsi.
Berkali-kali dibatalkan
Masih ingat ketika Anies melakukan pembatasan jam operasional transportasi umum MRT dan Bus Trans Jakarta? Langkah itu merupakan tindak lanjut instruksi Presiden. Minggu (15/3) dari Istana Bogor, Jokowi menyerahkan kebijakan penanganan Corona ke pemerintah daerah. Selain meliburkan sekolah dan kampus, merumahkan pegawai negeri, Jokowi juga meminta pembatasan kegiatan yang melibatkan massa dalam jumlah besar.
MRT dan Trans-Jakarta merupakan alat transportasi yang selalu dipadati penumpang. Pada pagi hari dan jam pulang kerja, penumpang berjubel. Mereka berhimpitan seperti ikan pindang. Jika ada yang positif, dijamin langsung menular.
Kecaman muncul dari berbagai penjuru. Sekelompok pendukung pemerintah pusat mengancam menggelar unjukrasa ke Kantor Gubernur DKI. Anies dituding menyebar ketakutan. Menakut-nakuti rakyat. Jokowi segera memerintahkan Anies mengembalikan jam operasional seperti semula. Apa boleh buat, Anies harus membatalkan keputusannya.
Presiden pada hari Senin (30/3) meminta para kepala daerah mengambil langkah tegas membatasi pergerakan orang ke daerah. Langkah tegas itu diperlukan untuk mencegah penyebaran virus Covid-19 ke daerah. Kebijakan yang tepat. Apalagi Jokowi punya data dan catatan lengkap, jumlah kendaraan umum yang keluar Jakarta.
Dalam sepekan terakhir 876 armada bus meninggalkan kawasan jabodetabek. Jumlah penumpang 14 ribu orang. Ngeri sekali! Kawasan Jabodetabek, khususnya Jakarta adalah episentrum pandemi Covid-19. Bisa saja diantara belasan ribu orang itu ada yang sudah terpapar dan positif.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mencatat sampai saat ini sudah 60 ribu warganya kembali. Beberapa diantaranya sudah dinyatakan positif Corona. Apa artinya? Virus itu akan menyebar bersamaan dengan kedatangan warga ke daerah. Mereka bisa menulari keluarga inti, saudara, dan tetangga terdekat. Mereka yang positif ini menulari lingkaran terdekat, dan seterusnya. Maka terciptalah episentrum baru. Jumlahnya bisa jauh lebih besar dibandingkan Jakarta.
Provinsi seperti Jabar, Jateng, Jatim jumlah penduduknya sangat besar, rentan dan potensial tertular. Banyak warganya yang mencari nafkah di kawasan Jabodetabek. Kalau sampai hal itu terjadi, malapetaka tercipta. Fasilitas kesehatan, daya dukung tenaga medis, jelas tak sebanding dengan Jakarta. Belum lagi akses kesehatan dan transportasi yang sulit terjangkau. Jakarta saja kewalahan, konon pula daerah?
Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Letjen Doni Monardo minta warga di tingkat kelurahan dan desa meminjamkan rumahnya. Digunakan untuk isolasi pendatang dari luar daerah maupun luar negeri. Apa artinya? Pemerintah sudah mengakui mereka tak sanggup menyediakan fasilitas tanpa bantuan masyarakat.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan langsung bergerak cepat. Dia melakukan rapat koordinasi dengan instansi terkait, termasuk Dirjen Perhubungan Darat. Keputusannya terhitung Senin (30/3) pukul 18.00 WIB operasional Bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) distop!
Hanya beberapa jam akan diberlakukan, keputusan itu diaborsi. Tiba-tiba datang keputusan dari Menhub ad interim Luhut Panjaitan. Keputusan Anies dibatalkan dengan alasan masih harus dikaji lagi dampaknya. Coba bayangkan. Instruksi Presiden, ditindaklanjuti dan dilaksanakan Gubernur, tapi dibatalkan oleh Luhut.
Kasus terbaru, permohonan lockdown wilayah di Jakarta ditolak. Presiden malah memilih Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Bersamaan itu pemerintah akan menggunakan pendisplinan hukum. Polisi akan membubarkan kerumunan massa. Sikap pemerintah pusat terhadap Anies, sangat berbeda dengan beberapa kepala daerah lain. Mereka relatif bebas mengambil kebijakan lockdown, tanpa khawatir disemprit, apalagi dibatalkan pemerintah pusat.
Dengan fakta-fakta tersebut, Anies terkesan menjadi target. Dibelenggu. Kewenangannya dibatasi. Sebagai penguasa daerah, dia tidak bisa leluasa bertindak, sementara situasinya sudah darurat tinggi. Nyawa mulai berjatuhan. Anies menyebutkan, sampai saat ini setidaknya sudah 283 orang warga DKI yang meninggal dunia. Mereka dimakamkan dengan protokol Covid-19. Anies tidak secara langsung menyebut mereka wafat karena Covid-19.
Angka yang disebutnya jauh lebih tinggi dibandingkan data resmi pemerintah. “Baru” 122 orang. Anies tampak tercekat ketika menyampaikan data itu. Suaranya bergetar. “283 itu bukan angka statistik. Itu adalah warga kita yang bulan lalu sehat… Yang bulan lalu bisa berkegiatan,“ ujarnya.
Situasi di Jakarta terkait dengan Covid-19, kata Anies, sudah amat mengkhawatirkan. Sampai kapan Anies akan bertahan? Menghadapi tekanan harus menyelamatkan nyawa warganya. Mencegah jatuhnya korban yang lebih besar sampai ke daerah-daerah. Namun kebijakannya tak didukung. Disalahkan. Diaborsi. Dibatalkan. Meminjam analogi yang pernah digunakan oleh ulama besar Buya Hamka, posisi Anies seperti kue bika. Dibakar dari atas dan bawah.
Apa itu bukan “kudeta” secara halus?
(Judul oleh redaksi, Shared Deden Suryadiningrat FB)