thayyibah.com :: Pertama kali akan dikaji lebih dahulu, apakah virus corona masuk kategori ath-tha’un (wabah yang mematikan) ataukah tidak? Baru nanti akan dibahas apakah dapat dikatakan mati syahid jika ada yang mati karena corona? Lalu syarat disebut syahid apakah sama dengan syahid di medan perang?
Apakah virus corona termasuk ath-tha’un ataukah al-waba’?
Para ulama berbeda pendapat tentang pengeritan ath-tha’un dan al-waba’. Ada yang menganggap keduanya itu sama dan ada yang membedakan keduanya.
Menurut pakar bahasa arab dan pakar kesehatan, al-waba’ (wabah) adalah penyakit yang menular pada suatu wilayah, bisa penyebarannya cepat dan meluas. Sedangkan ath-tha’un adalah wabah yang menyebar lebih luas dan menimbulkan kematian. Inilah pengertian ath-tha’un menurut pakar bahasa dan ulama fikih.
Para ulama menganggap bahwa virus corona masuk dalam kategori ath-tha’un. Ulama saat ini yang berpendapat demikian adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy-Syaikh (mufti ‘aam kerajaan Saudi Arabia), Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr (ulama besar di kota Madinah), juga Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaily (ulama besar di kota Madinah).
Apalagi kalau kita melihat pandangan WHO bahwa virus corona sudah masuk pandemik, lebih jelas lagi kita menyebutnya sebagai ath-tha’un.
Jika termasuk ath-tha’un, muslim yang mati karena virus corona tergolong syahid.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ الْمَطْعُونُ وَالْمَبْطُونُ وَالْغَرِقُ وَصَاحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“Orang yang mati syahid ada lima, yakni orang yang mati karena ath-tha’un (wabah), orang yang mati karena menderita sakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang mati karena tertimpa reruntuhan dan orang yang mati syahid di jalan Allah.” (HR. Bukhari, no. 2829 dan Muslim, no. 1914)
Dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْقَتِيلُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ شَهِيدٌ وَالْمَطْعُونُ شَهِيدٌ وَالْمَبْطُونُ شَهِيدٌ وَمَنْ مَاتَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ فَهُوَ شَهِيدٌ
“Orang yang terbunuh di jalan Allah (fii sabilillah) adalah syahid; orang yang mati karena ath-tha’un (wabah) adalah syahid; orang yang mati karena penyakit perut adalah syahid; dan wanita yang mati karena melahirkan adalah syahid.” (HR. Ahmad, 2: 522. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan ‘Adil Mursyid menyatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim).
Dari Jabir bin ‘Atik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الشَّهَادَةُ سَبْعٌ سِوَى الْقَتْلِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ الْمَطْعُونُ شَهِيدٌ وَالْغَرِقُ شَهِيدٌ وَصَاحِبُ ذَاتِ الْجَنْبِ شَهِيدٌ وَالْمَبْطُونُ شَهِيدٌ وَصَاحِبُ الْحَرِيقِ شَهِيدٌ وَالَّذِى يَمُوتُ تَحْتَ الْهَدْمِ شَهِيدٌ وَالْمَرْأَةُ تَمُوتُ بِجُمْعٍ شَهِيدٌ
“Orang-orang yang mati syahid yang selain terbunuh di jalan Allah ‘azza wa jalla itu ada tujuh orang, yaitu korban ath-tha’un (wabah) adalah syahid; mati tenggelam (ketika melakukan safar dalam rangka ketaatan) adalah syahid; yang punya luka pada lambung lalu mati, matinya adalah syahid; mati karena penyakit perut adalah syahid; korban kebakaran adalah syahid; yang mati tertimpa reruntuhan adalah syahid; dan seorang wanita yang meninggal karena melahirkan (dalam keadaan nifas atau dalam keadaan bayi masih dalam perutnya, pen.) adalah syahid.” (HR. Abu Daud, no. 3111. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Lihat keterangan ‘Aun Al-Ma’bud, 8: 275)
Di antara maksud syahid sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Ambari,
لِأَنَّ اللَّه تَعَالَى وَمَلَائِكَته عَلَيْهِمْ السَّلَام يَشْهَدُونَ لَهُ بِالْجَنَّةِ . فَمَعْنَى شَهِيد مَشْهُود لَهُ
“Karena Allah Ta’ala dan malaikatnya ‘alaihimus salam menyaksikan orang tersebut dengan surga. Makna syahid di sini adalah disaksikan untuknya.” (Syarh Shahih Muslim, 2:142, juga disebutkan dalam Fath Al-Bari, 6:42).
Ibnu Hajar menyebutkan pendapat lain, yang dimaksud dengan syahid adalah malaikat menyaksikan bahwa mereka mati dalam keadaan husnul khatimah (akhir hidup yang baik). (Lihat Fath Al-Bari, 6:43)
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa syahid itu ada tiga macam:
- Syahid yang mati ketika berperang melawan kafir harbi (yang berhak untuk diperangi). Orang ini dihukumi syahid di dunia dan mendapat pahala di akhirat. Syahid seperti ini tidak dimandikan dan tidak dishalatkan.
- Syahid dalam hal pahala namun tidak disikapi dengan hukum syahid di dunia. Contoh syahid jenis ini ialah mati karena melahirkan, mati karena wabah penyakit, mati karena reruntuhan, dan mati karena membela hartanya dari rampasan, begitu pula penyebutan syahid lainnya yang disebutkan dalam hadits shahih. Mereka tetap dimandikan, dishalatkan, namun di akhirat mendapatkan pahala syahid. Namun pahalanya tidak harus seperti syahid jenis pertama.
- Orang yang khianat dalam harta ghanimah (harta rampasan perang), dalam dalil pun menafikan syahid pada dirinya ketika berperang melawan orang kafir. Namun hukumnya di dunia tetap dihukumi sebagai syahid, yaitu tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. Sedangkan di akhirat, ia tidak mendapatkan pahala syahid yang sempurna. Wallahu a’lam. (Syarh Shahih Muslim, 2: 142-143).
Dari pembagian Imam Nawawi rahimahullah di atas, jika ada yang mati karena virus corona, makai a masuk dalam golongan syahid yang kedua.
Syarat syahid adalah bersabar dan berharap pahala dari Allah
Dari Yahya bin Ya’mar, Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan kepadanya bahwa ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ath-tha’un (wabah yang menyebar dan mematikan), maka beliau menjawab,
كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ ، فَجَعَلَهُ اللَّهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ ، مَا مِنْ عَبْدٍ يَكُونُ فِى بَلَدٍ يَكُونُ فِيهِ ، وَيَمْكُثُ فِيهِ ، لاَ يَخْرُجُ مِنَ الْبَلَدِ ، صَابِرًا مُحْتَسِبًا ، يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ يُصِيبُهُ إِلاَّ مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ ، إِلاَّ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ شَهِيدٍ
“Itu adalah adzab yang Allah turunkan pada siapa saja yang Allah kehendaki. Namun Allah menjadikannya sebagai rahmat kepada orang beriman. Tidaklah seorang hamba ada di suatu negeri yang terjangkit wabah di dalamnya, lantas ia tetap di dalamnya, ia tidak keluar dari negeri tersebut lalu bersabar dan mengharapkan pahala dari Allah, ia tahu bahwa tidaklah wabah itu terkena melainkan dengan takdir Allah, maka ia akan mendapatkan pahala syahid.” (HR. Bukhari, no. 6619)
Ibnu Hajar menerangkan bahwa yang dimaksud sebagai adzab adalah untuk orang kafir dan ahli maksiat. Sedangkan wabah itu jadi rahmat untuk orang beriman. Lihat Fath Al-Bari, 10:192.
Dikembangkan dari:
Al-Ahkam Asy-Syar’iyyah Al-Muta’alliqah bi Al-Waba’ wa Ath-Tha’uun (Ma’a Dirosah Fiqhiyyah li Al-Ahkam Al-Muta’alliqah bi Virus Corona). Abu ‘Abdil ‘Aziz Haitam bin Qasim Al-Hamri. Terbitan 1441 H, 2020.
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumasyho.Com