(Foto : GenPi)

Balada Pedagang Permata

(Foto : GenPi)

Pemuda itu bernama Jamal. Dia anak orang kaya. Ayahnya pedagang permata dan batu mulia. Jamal sangat baik hati dan ramah. Dia selalu peduli pada kawan-kawannya hingga dia sangat dihormati.

Hari berganti. Ayah Jamal meninggal dunia. Perdagangan ayahnya pun mulai menurun sampai akhirnya bangkrut. Jamal dan keluarganya jatuh miskin. Semua barang yang dimiliki habis untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Benar-benar miskin.

Jamal jadi gelandangan. Dia ingat pada salah satu kawannya yang dulu sangat dekat. Konon, kawannya itu sudah menjadi orang yang sangat kaya. Jamal mencoba menemuinya. Benar saja, rumah kawannya itu sangat besar dan dijaga oleh beberapa satpam.

Jamal menemui satpam dan berkata bahwa dia ingin menemui tuan rumah. Jamal ceritakan bahwa dirinya adalah sahabat lama sang tuan rumah. Satpam itu diminta untuk menyampaikan kisah persahabatan itu kepada sang tuan rumah.

Satpam menemui tuan rumahnya. Beberapa saat kemudian, tampak sang tuan rumah mengengok dari jendela, melihat Jamal yang berpakaian gelandangan. Sang tuan rumah ternyata tidak mau menemui Jamal, begitu kata satpamnya.

Jamal kecewa. Sedih mendalam dirasakan oleh Jamal sambil mengingat masa di mana Jamal masih kaya raya dan selalu baik pada kawan-kawannya. Di mana persahabatan? Di mana kepedulian? Di mana balas budi? Jamal berjalan lunglai dengan duka yang mengiris hati.

Di tengah perjalanan, Jamal bertemu dengan tiga orang yang sedang mencari alamat. Tiga orang itu bertanya kepada Jamal tentang seseorang. Ternyata tiga orang itu mencari ayah Jamal.

“Dia ayahku, dan aku anaknya. Ayahku sudah meninggal dunia. Ada apa kalian mencari ayahku?” tanya Jamal kepada mereka.

“Kami dulu pernah dititipkan permata dan batu mulia oleh ayahmu. Sekarang kami ingin mengembalikan permata dan batu mulia ini,” kata mereka. Jamal kaget.

“Lantas apa yang akan kalian lakukan?” tanya Jamal.

Mereka kemudian menyerahkan permata dan batu mulia itu kepada Jamal. Jumlahnya cukup banyak dan harganya sangat mahal. Jamal mengucapkan terimakasih kepada mereka karena telah dengan tulus mengembalikan harta peninggalan ayahnya.

Tapi, Jamal kemudian bingung. Siapa yang mampu membeli barang berharga ini. Hanya orang kaya yang mampu membelinya. Di tengah kebingungan, tiba-tiba Jamal bertemu dengan seorang ibu tua yang tampak sebagai orang kaya.

Ibu tua itu lantas bertanya kepada Jamal, “Di mana saya bisa membeli permata dan batu mulia? Jika ada yang menjual, saya ingin beli. Berapapun harganya akan saya bayar.”

Jamal tertegun, kemudian mengeluarkan permata dan batu mulia miliknya. Ibu tua itu langsung tertarik dan membelinya dengan harga mahal. Jamal terharu, bahagia dan meneteskan air mata. Dan Jamal kembali menjadi orang kaya dengan melanjutkan perdagangan yang pernah dirintis oleh ayahnya.

Jamal kembali ingat pada kawannya yang sudah menjadi kaya. Jamal masih sakit hati atas perlakuan sahabatnya itu. Dia lantas mengirimkan surat kepada kawannya itu:

“Aku berteman dengan orang-orang yang tidak tahu rasa terimakasih. Mereka bersahabat hanya karena kekaayaanku. Mereka memuliakan aku ketika aku kaya. Ketika aku jatuh miskin, mereka pura-pura lupa.”

Surat Jamal sampai ke tangan sang kawan yang kaya itu. Setelah membacanya, sang kawan langsung membuat surat balasan untuk Jamal:

“Tiga orang yang datang kepadamu, memberikan harta ‘titipan ayahmu’, adalah atas perintahku. Perempuan tua yang membeli permata dan batu mulia darimu adalah ibuku. Kamu adalah sahabatku dan tetap sahabatku. Aku menolak bertemu dengan mu bukan karena aku sombong dan pelit. Aku hanya tidak mau membuat kamu malu dan rendah diri. Mulai sekarang, berbaik sangkalah, wahai saudaraku!…”

(Diambil dari akun Qania Syahr yang berasal dari Riyodina Sutikto. Judul artikel oleh redaksi)

About Redaksi Thayyibah

Redaktur