thayyibah.com :: Awali pagi, sengaja ku tulis topik ini. Mengapa harus di pagi hari? Sebab pagi, pikiran masih menyatu dengan hati. Belum ada spekulasi. Kedua, saya adalah manusia bertipe yang sangat “tabu” mendiskusikan topik seperti ini. Karena bagi saya, setiap kita adalah tiap-tiap. Ada sebuah prinsip yang harus menjadi fondasi sekaligus kompas kehidupan.
Namun, alam sadar telah menggelayuti. Hanyut. Dan mengharuskan saya menulis topik sesuai judul di atas. Sebelum jauh membaca setiap untaian kata demi kata, pendapat yang saya susun dengan ide sederhana ini bukanlah “menggeneralisasi” semua orang. Melainkan silogisme terhadap euphoria dan mudahnya mengartikulasikan teks “dalil” secara luwes padahal parsial.
Yupz, soal nikah. Siapa manusia di dunia ini yang tidak mau me-nikah? Lalu memiliki buah hati jelita dan mati samawa. Manusia yang berijazah PAUD pun akan jujur dan mengatakan “mau”. Pertanyaannya, bagaimanakah cara me-nikah baik dan benar sesuai dengan kaidah syariat? Pertama, “I Love You Full” pa…ma. Saya telah yakin dan sudah mantap ingin me-nikahinya. Kedua, pa..ma. Saya ingin menikah. Tolong carikan saya jodoh. Begitukah?
Nikah diartikan sebagai “terkumpul dan menyatu”. Hukum nikah sangat kondisional. Bisa Jaiz, Sunat, Wajib, Makruh, dan jugaHaram. Nikah merupakan anjuran Rasulullah SAW: “Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka, bukan golonganku !”(HR. Ibnu Majah, dari Aisyah r.a.) Karena, nikah merupakan salah satu dari empat macam di antara sunnah-sunnah para Rasul yaitu : berkasih sayang, memakai wewangian, bersiwak dan menikah (HR. Tirmidzi). Nikah bertujuan untuk mensucikan nasab.
Nikah bukan soal mahar emas setinggi gunung Everest, cinta seluas pasifik, life styleasal orang senang. Nikah bukan seperti nada yang dirindukan: “Bila keyakinanku datang. Kasih bukan sekedar cinta. Pengorbanan cinta yang agung. Ku pertaruhkan” (Rossa) Namun, nikah adalah keteguhan prinsip yang ditanamkan sejak awal: “Saling menikahlah kamu, saling membuat keturunanlah kamu, dan perbanyaklah (keturunan). Sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya jumlahmu di tengah umat yang lain” (HR. Abdurrazak dan Baihaqi). Seperti Khadijah berkekasih Muhammad. Seperti kesadaran cinta Ibrahim kepada Hajar. Seperti pusara cinta Fahri dan Sabina dalam Ayat-ayat Cinta 2 Kang Ebik. Laksana pertemuan tali hati Adam dan Hawa di monumen cinta, Jabal Ramah. Nan kesederhanaan istikhrah cinta Mirza dan Nuriye. Bahwa nikah adalah fakta penyatuan perbedaan. Kekuatan energi, yang pada akhirnya doa-doa keikhlasan tamu undangan sewaktu kondangan: “Baarakallaahu laka, wa baaraka ‘alaika, wa jama’a baynakumaa fii khair; “Semoga Allah memberikan berkah kepadamu, semoga Allah mencurahkan keberkahan kepadamu. Dan semoga Allah mempersatukan kalian berdua dalam kebaikan.”, tidak ditunda-tunda oleh Allah Ta’ala.
Menikah terjadi atas kehadiran cinta. Menghadirkan cinta kepada pasangan bukan soal cepat atau lambat dalam pernikahan. Mencintai adalah soal proses: “Kita berdua saja duduk, Aku memesan ilalang panjang dan bunga rumput, Kau entah memesan apa, Aku memesan batu ditengah sungai terjal yang deras, Kau entah memesan apa, Tapi kita berdua saja duduk.” (Sapardi Djoko Damono). Kehadiran pasangan dalam kehidupan harus dimaknai bahwa: “ aku memilihmu untuk berjuang bersama, bukan sekadar membahagiakanmu”. Mencintai pasangan adalah komitmen adverbiasekaligus verb+ing yang harus menjadi saluran mata air perbedaan menuju muara; True Love. Nah, prosesi cinta dalam Mitsaqan Ghaliza, cincin yang terpasang di jari manis, kecupan bibir yang telah ditandakan ketika menjadi halal, bukan sekedar: “habis manis, sepah dibuang.” Segalak-galaknya perempuan tetap saja baik hati. Perempuan yang telah kau pilih, rahimnya telah kau retas dengan mani adalah tanggung jawab sosial. Maka, “Peganglah istrimu itu di dalam pemeliharaanmu”. Lelaki yang kau percaya sebagai imam dalam jamaah kecilmu, nahkoda dalam bahteramu adalah nafas nadimu. Maka, cukuplah kisah Julaibib ra menjadi nasehat. “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”
Begitulah fenomena Adam dan Hawa zaman kontemporer disatukan. Maka pastikan pasangan yang kau pilih, tak kau gembar-gemborkan di panggung gosip dan fitnah. Me-nikah bukan soal perut, kemaluan dan citra. Bukan soal diterima status sosialnya di dunia dengan keberkahan dollar melimpah ruah di brankas. Melainkan menanam benih untuk “ kerumahtanggaan” kekal di akhirat nanti. “A`ūdzu billāhi minas-syaitānir-rajīmi“. “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits)
Akhirnya perayaan cinta atas nama pernikahan akan bermakna bila:
“Aku Ingin”
aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya debu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”
Sebab MencintaiMu harus menjadi aku”
Mencintai angin harus menjadi siut…
Mencintai air harus menjadi ricik…
Mencintai gunung harus menjadi terjal…
Mencintai api harus menjadi jilat…
Mencintai cakrawala harus menebas jarak…
(Sapardi Djoko Damono)
(dakwatuna.com/hdn)