thayyibah.com :: Di dalam Al-Quran ada satu surat bercerita tentang heroisme pemuda dalam membela dan memegang keyakinan. Itulah surat Al-Kahfi.
Surat yang memuat 110 ayat tersebut, menyajikan kepada kita lima kisah penuh hikmah dalam setiap bidangnya. Pertama tentang Ashabu Al-Kahfi, Kisah tujuh orang pemuda yang berprinsip dan cerdas dalam menyusun strategi penyelamatan keyakinan.
Kedua kisah tentang pemilik kebun yang hendak mengajarkan kita bagaimana cara pandang seorang hamba Allah terhadap harta benda. Ketiga kisah tentang Adam dan musuh bebuyutan manusia, Iblis. Keempat, kisah tentang Nabi Musa dan ‘Abdun Shalih, yang mengajarkan kita bagaimana cara berpikir yang benar, dan bagaimana cara memandang ilmu pengetahuan secara hakiki. Dan yang kelima adalah kisah Raja Agung, Dzulkarnain, yang seharusnya menjadi contoh pagi para pengampuh kekuasaan bagaimana memerintah dan memakmurkan negerinya.
Kisah-kisah tersebut memiliki ibrah dan makna pada masing-masing konteksnya. Pada masing-masing pembahasan dan judulnya. Sekarang marilah kita mencoba untuk merangkai kata merajut makna tentang kisah pemuda Ashabul Kahfi tersebut.
Kita awali dari pujian Allah swt. kepada mereka, “Innahum fityatun amanu bi rabbihim wa zidnahum huda.” Begitulah Allah memuji mereka pada ayat ketiga belas, “Sesungguhnya mereka adalah para pemuda yang beriman dengan Tuhan mereka, maka Kami tambahkan untuk mereka petunjuk.”
Pantaslah kita bertanya, kenapa Allah memuji mereka. Apa yang patut dibanggakan kepada mereka. Sejarah dan perubahan sosial apa yang telah mereka torehkan?
Menarik sekali, Allah membuka kisah dengan pujian. Bukan kisah terlebih dahulu kemudian pujian datang setelahnya. Tapi pujian dulu baru kisah yang disajikan.
Inilah salah satu unsur “tasywiq” dalam Al-Quran. Unsur supaya pembacanya bertanya-tanya dan lantas bersemangat tinggi untuk mengetahui alur cerita selanjutnya.
Baiklah, siapa mereka? Jawabnya ada di ayat yang kedua puluh dua. Menurut bangsa Yahudi, mereka adalah tiga pemuda dan satu ekor anjing. Menurut bangsa Nasrani, mereka adalah lima pemuda dengan satu ekor anjing. Namun sayang, angka tiga dan lima hanya perhitungan berdasarkan takhayul perbintangan. Sebab jumlah mereka sebenarnya adalah tujuh pemuda dengan satu ekor anjing. Inilah mereka.
Pada saat itu, hidup seorang raja musyrik yang memerintahkan kesyirikan. Melihat undang-undang yang demikian, mereka menolak. Hati mereka memberontak. Lantas mereka pun membuat sendiri tempat ibadah, hanya kepada Allah swt.
Inisiatif mereka pun tercium istana. Maka dipanggillah mereka menghadap raja. Di dalam istana mereka diperintahkan untuk murtad dan melakukan kesyirikan. Namun mereka menolak dan melarikan diri.
Mereka dikejar, namun tak putus asa. Di belakang mereka tentara gagah berkuda berpedang hendak menangkap, namun mereka tetap atas keyakinan yang kuat. Hingga Allah pun memberi mereka tempat, Gua. Mereka pun selamat.
Kisah singkatnya demikian. Terpenting sekarang adalah, bagaimana kita menghidupkan kembali kisah tersebut pada hari ini, hari di saat-saat fitnah bermunculan menyerang umat Islam.
Kita lihat hari ini, aqidah kita semakin hari semakin didangkalkan. Fikrah kita terhadap Islam paripurna semakin dibengkokkan. Ajaran kita dihina. Ulama kita dinista. Bahkan kalimat “la ila ha illa Allah” pun dijadikan subjek atau objek penodaan lambang negara. Adakah fitnah yang lebih kejam dari pada ini semua?
Tak salah bagi kita di saat demikian untuk mengkaji lagi kisah Ashabul Kahfi ini. Sebab salah satu muatan surat ini, menurut Ustadz Sayyid Qutb dalam tafsirnya, adalah “tashihul aqidah” (Penshahihan aqidah). Lewat apa? Lewat perenungan kembali kisah para pemuda tersebut.
Lihatlah, ketika terjadi fitnah, para pemudalah yang tergetar hatinya. Para pemudalah yang mula-mula sadar bahwa agamanya terancam. Maka patutlah pada hari ini, pemuda Islam bersuara. Lantang menentang kezhaliman. Ini bukan kezhaliman biasa, sebab jika kezhaliman tersebut ditujukan pada individu muslim, itu tak seberapa. Namun jika kezhaliman tersebut ditujukan pada Agama, adakah kezhaliman yang lebih besar dari ini?
Pemuda harus bangkit melawan. Mencontoh Ashabul Kahfi. Mereka dipanggil ke istana. Namun mereka tetap pada pendirian mereka, bahwa aqidah adalah segala-galanya.
Jangan seperti beberapa pemuda hari ini. Yang awalnya berteriak menentang kesewenang-wenangan penguasa, lantas diam karena duduk semeja makan dengan penguasa. Tidak.
Tapi ambillah suri tauladan dari para pemuda Ashabul Kahfi. Mereka rela nyawa menjadi taruhan, asal Aqidah terselamatkan. Inilah Iman. Inilah Iman. Inilah Iman. Kuat terpatri. Kokoh berdiri. Tidak ada satu kekuatan apa pun yang dapat merobohkannya.
Wahai para pemuda, siapkah kalian menghadapi fitnah ini semua? Sunggu jika kalian tidak siap, Allah akan mengganti kalian dengan kaum selain kalian yang rela berjuang tanpa takut celaan dan siksaan. Maka hari ini, jadilah kalian PEMUDA ASHABUL KAHFI.
(dakwatuna.com/hdn)