Jenama Mothercare akhirnya tak sanggup bertahan di dunia ritel modern.
oleh Eric Iskandarsjah Z, Intan Pratiwi, Idealisa Masyrafina, Adinda Priyanka
thayyibah.com :: Kehadiran online marketplace telah banyak memberikan dampak bagi peta bisnis dunia. Dalam beberapa tahun belakangan sejumlah jenama besar di dunia ritel tutup karena tak sanggup bertahan.
Salah satu ritel besar yang akan tutup di awal tahun ini adalah penyedia kebutuhan anak dan bayi asal Inggris. Mothercare terpaksa harus tutup setelah hampir 60 tahun jadi salah satu jenama ternama untuk produk keperluan bayi dan balita.
Dilansir dari Independent, persaingan bisnis daring membuat jenama asal inggris itu harus menutup 79 toko. Keputusan itu pun otomatis berdampak pada hilangnya pekerjaan bagi sekitar 2.500 pegawai.
Saat ini, situs resmi Mothercare sudah tak lagi dapat diakses. Sedangkan penutupan untuk 79 toko itu akan resmi dilakukan pada Ahad (19/1) nanti. Namun, disebutkan bahwa beberapa toko itu saat ini sudah tidak beroperasi dan hanya tersisa 37 toko yang masih melayani pelanggan hingga Sabtu (18/1) nanti.
Sebelum tutup, seluruh toko itu pun menawarkan diskon besar-besaran mencapai 70 persen. Diskon ini sendiri sebenarnya sudah mulai diterapkan sejak Desember lalu.
Sebelum mengambil keputusan pelik ini, pada 2018, Mothercare sempat melakukan restrukturisasi pinjaman demi dapat mempertahankan 50 toko dan tetap dapat mempertahankan 800 pegawai.
Tapi, setelah mati-matian berjuang melawan kompetitor yang hadir dengan harga produk lebih murah, akhirnya pada akhir 2019 lalu Mothercare memutuskan untuk menyerah karena penjualan anjlok dan membuatnya tak mampu untuk bertahan.
Republika.co.id mencoba membuka situs resmi dari Mothercare. Saat diakses, situs itu memberikan informasi yang menyatakan tak lagi beroperasi. Selain itu, disebutkan juga jika ada yang ingin berbelanja maka dapat segera mengunjungi toko terdekat untuk mendapat potongan harga spesial.
Kondisi yang menimpa Mothercare ini juga dialami oleh Debenhams. Perusahaan departement store itu mengungkap ada 19 dari 160 toko Debenhams yang akan tutup pada pekan ini.
Hal ini pun terpaksa harus berdampak kepada 660 pegawai Debenhams. Disebutkan bahwa Debenhams sendiri mulai mengalami persoalan keuangan pada April tahun lalu. Hal itu membuat Debenhams harus menutup utang dan melakukan restrukturisasi besar-besaran.
Diperkirakan, Debenhams akan terus melakukan penutupan toko hingga 2021. Totalnya, akan ada sekitar 50 toko Debenhams yang harus berhenti beroperasi.
Sepanjang tahun sejumlah jenama mengumumkan rencananya untuk tutup.
Forever 21 telah menyatakan bangkrut di bulan Oktober. Sebagai imbasnya, Forever 21 akan menutup 350 gerainya yang tersebar di seluruh dunia.
Perusahaan ritel yang sudah berdiri selama 35 tahun ini berencana akan menurutp 350 tokonya dan menarik lini bisnisnya dari 40 negara.
Wakil Presiden Forever 21, Linda Chang mengatakan perusahaan berencana melakukan penutupan gerai tak hanya di Amerika Serikat saja. Penutupan juga dilakukan terhadap gerai mereka yang tersebar di Asia, Eropa dan Kanada.
“Ini adalah langkah penting dan perlu untuk mengamankan masa depan Perusahaan kami, yang akan memungkinkan kami untuk mengatur kembali bisnis kami dan mengubah posisi Forever 21,” kata Linda seperti dilansir dari Washington Post.
Payless juga menjadi salah satu ritel yang terpaksa harus menutup toko-tokonya karena bangkrut pada bulan Mei 2019. Berdasarkan angka-angka dari firma riset pemasaran global Coresight Research, pengajuan kebangkrutan dan laporan pendapatan perusahaan, lebih dari 6.500 toko sudah dijadwalkan akan ditutup.
Payless ShoeSource menyumbang jumlah penutupan terbesar dengan 2.590 toko, yang menahan penjualan likuidasi. “Beberapa toko tutup pada akhir Maret, dengan lokasi lain tetap buka hingga akhir Mei,” kata perusahaan dilansir di USA Today.
Kebangkrutan bahkan dialami pula butik papan atas Barneys. Toko serba ada di New York terimbas menurunnnya pembelanja dan kenaikan harga sewa.
Barneys memiliki estimasi utang antara 100 juta hingga 500 juta dolar AS. Barney’s telah berusaha mencegah kebangkrutan dengan cara mencari rekan untuk kerja sama atau pembeli.
George Angelich, dari firma hukum Arent Fox menjelaskan sangat sulit untuk mempertahankan keuntungan ketika harga sewa meningkat dan konsumen lebih suka membeli secara daring daripada di toko.
Di Indonesia, sebanyak tujuh gerai supermarket Giant tutup pada 2019. Yang teraru adalah penutupan Giant di Poins Square Lebak Bulus. Sebelum itu di bulan Juli, Hero menutup enam gerai Giant yakni Giant Express Cinere Mall, Giant Express Mampang, Giant Express Pondok Timur, Giant Extra Jatimakmur, Giant Extra Mitra 10 Cibubur, dan Giant Extra Wisma Asri (Bekasi Utara).
Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, penutupan enam gerai Giant menjadi bukti bahwa terjadinya perlambatan konsumsi rumah tangga. Ini sebagai dampak dari penurunan daya beli masyarakat.
Bhima menjelaskan, masyarakat kelas atas cenderung menahan belanja karena faktor kebijakan pajak pasca tax amnesty dan kegaduhan politik. Sementara itu, kelas menengah menurun kemampuan belanjanya karena alasan lain. “Yakni, pendapatan di sektor komoditas, real estate dan industri menurun,” ujarnya.
Di sisi lain, bisnis daring belum memiliki kontribusi besar terhadap industri ritel. Meski laju pertumbuhannya tinggi, porsi terhadap total ritel masih di bawah dua persen. Jadi, kehadiran mereka tidak dapat dijadikan sebagai faktor penyebab utama gugurnya gerai ritel.
Justru, Bhima menekankan, yang terjadi saat ini adalah perusahaan ritel konvensional memiliki aplikasi marketplace. Barang yang dijual antara daring dan konvensional cenderung berbeda.
Pengamat perilaku konsumen Yusowhady menilai, menurunnya kekuatan ritel yang hanya memanfaatkan toko sebagai tempat berjualan atau dikenal sebagai ritel tradisional sudah terlihat sejak 2017. Saat itu, pusat perbelanjaan, seperti Glodok dan Roxy, mulai sepi. Gerai Matahari dan Ramayana yang biasa dipenuhi konsumen pun tutup secara bertahap.
Redupnya kekuasaan ritel tidak hanya berlaku pada perusahaan lokal. Peritel global yang tutup bahkan jumlahnya terus bertambah.
Menurut Yuswohady, ada dua kekuatan disruptif yang menyapu sektor ritel tradisional. “Disrupsi digital dan pergeseran preferensi konsumen,” ujarnya, beberapa waktu lalu.
Disrupsi digital memicu munculnya niaga daring yang saat ini semakin membumi. Ada tiga nilai yang ditekankan platform ini sehingga mampu mengubah perilaku belanja konsumen dari luring ke daring. Nilai tersebut adalah kenyamanan, biaya lebih murah, dan efisiensi dari segi waktu.
Yuswohady mengatakan, disrupsi ini tidak bisa terhindarkan, terutama ketika Indonesia percaya diri masuk ke era Revolusi Industri 4.0. Era ini menghasilkan perubahan supercepat dan disruptif, termasuk ritel tradisional yang digilas oleh niaga daring.
Sumber: republika.co.id