Oleh: Eva Deswenti
Angin dingin menerpa tubuh pada subuh dinihari. Di antara seliweran kain setelah bubar jamaah shalat subuh. Wow…Ju m’at! Sesaat ingatanku singgah pada kesibukan emak-emak di komplek kami untuk memperiapkan makanan bagi jamaah shalat Jum’at nanti siang. Hari Jumat adalah hari istimewa, saatnya menjamu tamu Allah di mesjid-mesjid.
Terbersit rasa malu, kami seringkali lebih terfokus sedekah Jum’at dengan istilah Jumbar (Jum’at Barokah) maka banyak mesjid menyediakan makanan santap siang. Di tanah haram, sedekah hampir setiap waktu. Setiap selesai waktu shalat terlihat antrian sedekah di setiap restauran. Tadinya ku pikir itu sedekah dari restoran tersebut buat tamu-tamu Allah, ternyata mereka menyediakan makanan dari setiap orang yang mau sedekah ke orang lain.
Masih terngiang catatan Jumbarku pada mesjid Al Bilad beberapa waktu lalu, sebuah nasehat dari Imam Al Ghazali, “Aku tidak mempunyai barang dagangan kecuali umur. Apabila ia habis, maka habislah modalku sehingga putuslah harapan untuk berniaga dan mencari keuntungan lagi. Allah telah memberiku tempo pada hari yang baru ini, memperpanjang usiaku dan memberi nikmat.” Sungguh setiap sedekah kita adalah perniagaan dengan Allah.
“Sepuluh real saja!” ujar pelayan resto itu menunjukkan lembar menu berisi gambar paket nasi briyani plus sepotong ayam. Paket yang berisi kebab dan minum kotak seharga 7 real. Sementara roti cane + minum kotak dihargai 3 real. “Ayo…ayo…sedekah!” teriak pelayan itu menarik perhatian khalayak yang ramai melintas. Kami yang memang niat sedekah 10 bungkus nasi, memberikan uang 100 real dan dengan cekatan dia membuat 10 box nasi briyani. Begitu siap seorang pelayan langsung mengantarkan ke antrian yang masih mengular di depan resto. Kemudian datang lagi puluhan bungkus roti kebab, langsung ludes dalam sekejap. Antrianpun masih panjang.
Aku mengajak suami untuk duduk sejenak di tepian sambil menyeruput teh susu. Dingin udara subuh, terasa lebih hangat bersama minuman panas tersebut. Mataku masih bersirobok dengan antrian itu. Begitu ada yang memberi uang sedekah, juru masak dan pelayan langsung menyiapkan makanan dan membagikan. Maka antrian akan bergerak. Namun bila belum ada lagi, antrian diam dan menunggu. Begitulah ritmenya. Ada nyeri bila melihat antrian terhenti, melihat tubuh yang menggigil diterpa angin dingin.
Aku dan suami sibuk merogoh kantong dan dompet, berharap menemukan lembar seratusan real buat di sedekahkan kembali. Sampai uang recehpun di kumpulkan untuk menambah kembali. Cukup lama kami berhenti di sana, hingga barisan itu bubar karena resto sudah tidak membagikan makanan. Mereka yang beranjak pergi tanpa berhasil mendapat makanan, bubar dengan tertib. Tak terlihat keluh kesah. Tapi perasaanku sama dengan ketika Jumbar di mesjid kami tidak mencukupi untuk jamaah yang ramai.
Inilah hari Jum’at di tanah Haram. Merasakan Jumbar versi yang berbeda di komplekku yang biasa rutin menyediakan nasi bungkus untuk jamaah mesjid. Aku kangen emak-emak relawan Jumbar di mesjid Al Bilad, kangen para donatur yang setia berbagi. Dari sini doaku terlantun buat kalian semua. Semoga senantiasa Allah anugerah kan rezeki yang barokah.