“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?” (HR. Bukhari no. 7319)
Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669)
An Nawawi -rahimahullah- ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan, “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dziro’ (hasta) serta lubang dhob (lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashroni. Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam hal kekufuran. Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.”(Syarh Shahih Muslim, 16: 220)
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bukan termasuk golongan kami siapa saja yang menyerupai selain kami” (HR. Tirmidzi no. 2695. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Ibnu Taimiyah dalam kitab lainnya berkata, “Sesungguhnya tasyabbuh (meniru gaya) orang kafir secara lahiriyah mewariskan kecintaan dan kesetiaan dalam batin. Begitu pula kecintaan dalam batin mewariskan tasyabbuh secara lahiriyah. Hal ini sudah terbukti secara inderawi atau eksperimen. Sampai-sampai jika ada dua orang yang dulunya berasal dari kampung yang sama, kemudian bertemu lagi di negeri asing, pasti ada kecintaan, kesetiaan dan saling berkasih sayang. Walau dulu di negerinya sendiri tidak saling kenal atau saling terpisah.” (Iqtidha’ Ash Shirothil Mustaqim, 1: 549).
Apakah masih mau terus tasyabbuh atau meniru-niru gaya orang kafir? Kapan umat Islam punya jati diri? Kapan umat Islam mau menyatakan dirinya berbeda.
Semoga bisa berpikir, hanyalah Allah yang memberi taufik dan hidayah. []
Selesai disusun di Hotel Ilyas Center di kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 6 Rabi’ul Awwal 1436 H
Akhukum fillah: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal
© Tahun Baru, Perayaan Orang Kafir yang Diikuti Umat Islam – BERDAKWAH
Sumber: http://news.berdakwah.net/2017/12/tahun-baru-perayaan-orang-kafir-yang-diikuti-umat-islam.html?m=1