thayyibah.com :: Pada masa kini penggunaan kartu kredit semakin populer dan semarak, terutama pada kalangan menengah ke atas di penduduk perkotaan.
Mereka memilih kartu kredit dibanding uang cash karena lebih efisien, aman, dan praktis. Jika mereka berbelanja barang di supermarket jutaan rupiah tanpa repot-repot membawa uang tunai untuk membayar, cukup ditunjukkan kepada kasir kartu kredit yang mereka miliki.
Disamping itu, kartu kredit juga bisa digunakan untuk membayar sewa hotel, rumah, biaya berobat di rumah sakit, listrik, telpon dan lain-lain.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah: bagaimana hukum menggunakan kartu kredit tersebut?
Definisi Kartu Kredit
Sistem kartu kredit adalah suatu jenis penyelesaian transaksi ritel (retail) dan sistem kredit, yang namanya berasal dari kartu plastik yang diterbitkan kepada pengguna sistem tersebut. Sebuah kartu kredit berbeda dengan kartu debit di mana penerbit kartu kredit meminjamkan konsumen uang dan bukan mengambil uang dari rekening. (Wilkipedia, ensiklopedi bebas)
Kartu kredit adalah kartu logam atau kartu plastik magnetik yang tertulis padanya nama pemegangnya, masa berlaku dan berakhir, dan nomor seri yang tidak diketahui kecuali pemegangnya. (Bithoqoh al-I’timan Bakar bin Abdullah Zaid)
Kartu kredit adalah kartu yang diterbitkan oleh pihak bank dan sejenisnya yang dapat digunakan oleh pemegangnya untuk membeli segala keperluan dan barang-barang serta pelayanan tertentu secara hutang. (Maa laa yasi’u at-Taajiru jahluhu, Prof. Dr. Sholih as-Shawi dan Prof.Dr. Abdullah Muslih)
Kartu kredit adalah bukti pembayaran yang diberikan oleh pihak yang menerbitkannya kepada individu atau lembaga – berdasarkan perjanjian kedua belah pihak- yang dapat digunakan untuk membeli barang atau pelayanan tertentu tanpa membayar secara tunai karena pihak yang menerbitkannya menjamin untuk membayarkannya. (Majalah majma’ al-fiqh al-Islami)
Gambaran Global Kartu kredit
Berdasarkan beberapa definisi di atas tentunya kita telah paham apa yang dimaksud kartu kredit. Agar lebih memahami dan mendalami hakikat kartu kredit, alangkah baiknya kami paparkan secara global ketentuan kartu kredit yang berlaku pada umumnya;
- Pihak yang menerbitkan kartu kredit (bank atau lembaga keuangan) mencantumkan nama, nomor, dan masa berlaku kartu pemegangnya, dimana orang yang menggunakan kartu ini untuk membayar barang yang dibelinya atau membayar jasa pelayanan seperti penginapan hotel, tiket pesawat terbang, dan lain-lain.
- Pihak yang menerbitkan kartu ini membayarkan terlebih dahulu sejumlah uang yang digunakan oleh pemegang kartu kepada pedagang atau penjual jasa layanan.
- Selanjutnya pihak yang menerbitkan kartu ini mengirimkan rincian tagihan kepada pemegang kartu.
- Pihak yang menerbitkan kartu kredit meminta kepada pihak pemegang kartu untuk membayar tagihannya dalam jangka waktu tertentu. Jika dalam jangka waktu yang telah ditentukan ternyata pihak pemegang kartu kredit tidak mampu melunasi pembayarannya, maka ia terkena denda finansial atas keterlambatan pembayaran.
Adapula pihak yang menerbitkan kartu menetapkan sistem bunga karena utang dari pemegang kartu kredit plus denda keterlambatan finansial. Ada pula-tapi jarang dan langka-menerapkan sistem tanpa adanya bunga utang dari pemegang kartu dan tanpa denda finansial keterlambatan pembayaran utang. - Jangka waktu kartu kredit biasanya berlansung selama setahun. Bagi pemegang kartu diharuskan membayar iuran keanggotaan tiap tahun untuk memperbaruhi keanggotaannya.
Hukum Kartu KreditPermasalahan kartu kredit pada hakikatnya sama dengan utang-piutang. Pihak yang menerbitkan kartu kredit meminjamkan uang kepada pemegang kartu kredit. Hal ini yang dijadikan titik point para ulama dalam menentukan hukum kartu kredit.Secara umum kartu kredit ada tiga bentuk;
1. Kartu kredit yang menetapkan bunga bagi pemegang kartu kredit pada saat pemberian utang.
Pihak yang menerbitkan kartu kredit ketika memberikan hutang kepada pemegang kartu kredit, maka langsung menetapkan bunganya. Misalnya, Anton membeli seperangkat alat-alat dapur di toko elektronik melalui pembayaran kartu kredit pada lembaga keuangan A sebesar Rp. 2.000.000,-. Maka pada saat Anton membayar utang kepada lembaga keuangan A jumlahnya adalah Rp.2000.000,- ditambah bunga.
Tentunya kita yakin sekali bentuk kartu kredit semacam ini dilarang karena mengandung riba.
Alloh ‘Azza Wa Jalla berfirman:
“… padahal Alloh telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. al-Baqarah [2] :275)
Alloh ‘Azza Wa Jalla berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. .” (QS. Al-Baqoroh [2] : 278)2. Kartu kredit yang meniadakan bunga pada saat pemberian utang kepada pemegang kartu kredit atau ketika ia terlambat membayar utang.
Kartu kredit seperti ini sesuai dengan syari’at Islam. Karena asas utang piutang dalam hukum Islam adalah tolong menolong dan berbuat kebajikan atau lebih tepatnya adalah mencari pahala bukan untuk provit.
Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa meringankan sebuah kesusahan (kesedihan) seorang mukmin di dunia, Alloh akan meringankan kesusahannya pada hari kiamat. Barangsiapa memudahkan urusan seseorang yang dalam keadaan sulit, Alloh akan memberinya kemudahan di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutup ‘aib seseorang, Alloh pun akan menutupi ‘aibnya di dunia dan akhirat. Alloh akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut menolong saudaranya.” (HR. Muslim)
Dalam Tuhfatul Ahwadzi dijelaskan maksud hadits ini yaitu: “Memberi kemudahan pada orang miskin –baik mukmin maupun kafir- yang memiliki utang, dengan menangguhkan pelunasan utang atau membebaskan sebagian utang atau membebaskan seluruh utangnya.”
Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti orang yang bersedekah satu kali.” (HR. Ibnu Majah)3. Kartu kredit yang menetapkan denda finansial atas keterlambatan pembayaran.
Pada jenis kartu kredit ini, pihak yang mengeluarkan kartu kredit menetapkan syarat yang harus dipenuhi oleh pihak pemegang kartu kredit, yaitu jika pemegang kartu kredit tidak mampu melunasi hutangnya saat jatuh tempo pembayaran, maka ia dikenakan denda finansial keterlambatan. Sebaliknya, jika ia mampu melunasi sebelum jatuh tempo, maka tidak terkena denda finansial keterlambatan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa syarat ini mengandung riba sebagaimana riba orang-orang jahiliyyah. Namun, bagaimana hukumnya terhadap kartu kredit jenis ini?
Para ulama berbeda pendapat terhadap jenis kartu kredit ini berdasarkan perbedaan pendapat mereka tentang pengaruh syarat riba terhadap sah atau tidaknya suatu transaksi.
Sebagaian ulama mengatakan bahwa kartu kredit jenis ini diperbolehkan namun syarat yang berbau riba dibatalkan atau tidak ditunaikan dengan cara berusaha semaksimal mungkin agar tidak terperangkap dalam syarat tersebut. Yaitu membayar utang pada waktu yang tepat sehingga ia tidak terkena denda finansial.
Salah satu dasar hukum mereka adalah sabda Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wasallam kepada ‘Aisyah Rodhiyallohu’anha ketika Aisyah hendak membeli Barirah namun majikannya tidak mau melepaskannya.
“Belilah budak itu, dan tetapkanlah wala’ bagi mereka, karena perwalian hanya diberikan kepada yang memerdekaan .” (HR. Muslim)
Sebagaian ulama tidak membolehkan kartu kredit jenis ini karena adanya syarat berbau riba. Mereka menganggap transaksi seperti ini batal. Merekapun membantah ulama yang membolehkan dengan berbagai argumentasi yang kuat. Diantara kedua pendapat tersebut, yang rajih (kuat) menurut kami adalah pendapat yang kedua yaitu tidak bolehnya. Hal ini adalah yang lebih selamat bagi agama dan terhindar dari syarat-syarat riba. Wallohua’lam.
sumber: http://fajrifm.com/