“Aktivitas keumatan semestinya dihidupkan secara alamiah dan didorong secara positif, sejalan dengan dinamika masyarakat Indonesia yang hidup dalam kegotongroyongan,” kata Haedar, di Yogyakarta, Ahad (1/12). Haedar mengatakan, kegiatan seperti majelis taklim positif untuk menanamkan, memahamkan, dan mengamalkan Islam dengan baik dan benar serta dapat menghidupkan kegiatan keislaman.
Perihal perbedaan paham dan pandangan yang sejak dahulu kerap terjadi, kata dia, langkah yang mesti didahulukan adalah mengembangkan dialog agar tidak menimbulkan konflik keagamaan sesama umat beragama. “Kalau serba diatur pemerintah, nanti aktivitas sosial lainnya, seperti gotong royong dan aktivitas sosial, harus diatur juga. Jangan ada diskriminasi,” kata dia.
Terkait upaya mencegah radikalisme atau ekstremisme, menurut Haedar, cukup dengan ketentuan perundangan yang ada. Dengan begitu, pemerintah tidak perlu terlalu jauh mengatur aktivitas umat beragama. Ia pun berpesan agar pejabat publik tidak mudah mengeluarkan pernyataan yang mengarah stigma atas kasus terbatas untuk digeneralisasi.
“Jangan menggeneralisasi dan menjadikan umat Islam sebagai sasaran deradikalisasi secara sepihak, diskriminasi, dan dengan aturan yang monolitik seolah umat mayoritas ini menjadi sumber radikalisme dan ekstremisme,” ujar Haedar.
PMA Majelis Taklim juga diharapkan tidak menjadi alat mengatur dan melarang majelis taklim yang tidak sepaham dengan aparat atau pejabat Kemenag, dalam hal ini KUA setempat. Jika itu terjadi, kata dia, dapat memunculkan konflik kepentingan dan gesekan paham keagamaan yang melibatkan otoritas negara atau institusi pemerintah.
Haedar pun berpesan kepada majelis taklim agar selalu memegang teguh spirit keislaman.
“Majelis taklim maupun aktivitas-aktivitas keagamaan lain tentu harus tetap dalam spirit keislaman yang mendamaikan, mencerdaskan, memajukan, dan mencerahkan kehidupan, sehingga menjadi wahana dakwah yang rahmatan lil alamin,” ujar Haedar.
PMA Majelis Taklim salah satunya mengamanahkan majelis taklim mendaftar ke Kementerian Agama. PMA ini terdiri atas enam bab dengan 22 pasal, antara lain mengatur tugas dan tujuan majelis taklim, pendaftaran, penyelenggaraan yang mencangkup pengurus, ustaz, jamaah, tempat, dan materi ajar.
Regulasi ini juga mengatur masalah pembinaan dan pendanaan. Pasal 20 mengatur pendanaan penyelenggaraan majelis taklim dapat bersumber dari pemerintah, pemerintah daerah, serta sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis mengaku tidak pernah diundang membahas PMA Majelis Taklim. Dia menilai implementasi PMA ini kurang efektif karena jamaah atau pengurus majelis taklim tidak akrab dengan hal administrasi.
“Semangat pemerintah perlu diakui karena telah hadir di tengah masyarakat untuk mendata kegiatan keagamaan masyarakat. Hanya, saya tidak yakin dapat terlaksana karena keberadaan majelis taklim yang sangat banyak,\” katanya, Ahad (1/12).
Sebelum melakukan pendataan, Kemenag disarankan untuk terlebih dahulu melakukan pembinaan kepada majelis taklim yang ada. Kemenag juga harus terjun langsung melakukan peningkatan kualitas majelis taklim.
Tak campur tangan
Direktur Penerangan Agama Islam Ditjen Bimas Islam Kemenag, Juraidi, membantah tudingan yang menyebut pendataan akan digunakan pemerintah untuk campur tangan dalam kegiatan masyarakat. Dia mengatakan, setelah pendataan dilakukan, majelis taklim tetap bebas melakukan kegiatan seperti biasa. Begitu pula dengan materi kajian yang rutin diajarkan majelis taklim kepada jamaah.
“Kami tidak akan campur tangan dalam kegiatan majelis taklim. Tidak ada niat sedikit pun untuk mereduksi majelis taklim,” kata dia. Kemenag, katanya, tidak memaksa majelis taklim yang tidak ingin didata. Namun, ungkap Juraidi, banyak majelis taklim yang membutuhkan bantuan pemerintah untuk menguatkan pengelolaan.
Sesuai PMA Majelis Taklim, terdapat beberapa rukun majelis taklim, seperti memiliki jamaah, pengurus, ustaz atau ustazah, tempat taklim, dan materi taklim yang sesuai Alquran dan hadit. Namun, banyak yang belum memenuhi rukun majelis taklim tersebut. Dengan adanya pendataan, tambah Juraidi, pengelolaan majelis taklim akan semakin profesional.
Menurut Juraidi, majelis taklim telah membantu negara dengan menjadi lembaga nonformal. Dengan adanya PMA, majelis taklim diharapkan dapat memperoleh bantuan anggaran yang cukup dari APBN maupun APBD.
“Jujur saja, selama ini majelis taklim hanya mendapatkan bantuan dari anggaran yang ada di Dirjen Bimas Islam, tapi itu anggaran sisa saja. Kami juga mendapatkan banyak keluhan karena kurangnya perhatian pemerintah kepada majelis taklim,” kata Juraidi.