Breaking News
(Foto : Merdeka)

Mimpi Nadiem, Bukan Mimpi Indonesia

Oleh: Azka Al Ghifari

 

(Foto : Merdeka)

 

Sekilas, apa yang diwacanakannya bagus. Guru tak perlu ribet lagi dengan urusan administrasi. Guru harus banyak lakukan diskusi, lebih pada pemahaman bukan pada hapalan. Murid jangan diberikan PR, murid lebih banyak belajar tentang penggalian atas suatu bahan. Bukan harus banyak menghapal tanpa mengetahui apa sebab muasal. Jumlah tahun pendidikan dipangkas, agar saat S3 diambil dan selesai, usia 18 tahun sebagai tolak ukur dia tau semuanya.

Semua yang diwacanakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim itu hebat ketika diterapkan pada sekolah-sekolah sekelas kota Jakarta dan 5 kota besar lainnya. Sekolah-sekolah dimana muridnya sudah mudah mendapatkan akses informasi dengan jari.

Saat guru memberikan tugas analisa secara kelompok, murid tinggal memainkan jarinya untuk referensi sebagai bahan diskusi. Bisa ke pustaka yang lengkap bukunya, atau memainkan gadget dengan kualitas internet gratis yang mudah diakses.

Cara Nadiem diapresiasi karena mengikuti konsep negara Eropa yang sudah maju pendidikannya. Mencontoh itu pada negara yang berhasil menerapkan metoda sejenis, jangan mencontoh pada kebanyakan namun gagal menerapkan.

Sampai sini boleh diacungi jempol. Cuma sampe sini aja. Ketika Indonesia hanya ada wilayah Jawa dengan nama Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogja, dan Sumatera yang diwakili Medan. Wilayah Timur hanya ada Bali. Sulewesi diwakili Makasar. Selebihnya, musnahkan saja.

Wacana Nadiem tak akan bisa dilakukan pada daerah pada Kecamatan Manis Mata. Apakah Nadiem tau Kecamatan Manis Mata? Daerah yang akses menuju kesana harus bertarung dengan alam. Jangan tanya akses informasi anak-anak sekolahnya ketika listrik pun enggan datang. Mau tau bagaimana jumlah gurunya dan bagaimana mereka bertahan dengan keadaan seadanya? Bakalan panjang buat diceritakan dengan meminta kepedulian. Masih banyak daerah-daerah yang kekurangan sarana dan prasarana sebagai media pendukung murid dalam belajar.

Nadiem indah bicara akan wacana seolah negara ini sudah sejahtera bak Swedia dan Korea. Nadiem menggebu bahwa semuanya bisa berhasil seolah negara ini sudah bertanggung jawab atas kewajibannya.

Melihat Nadiem bicara, ibarat anak yang selalu update status keindahan yang didapatnya, membuat instastory dengan tersenyum senang, berselfie memerkan kemampuan tapi dia tidak sadar bahwa ayah dan ibunya hanya pengemis di pinggir jalan.

Anak sekolah diminta jangan hafalan, tapi dunia kerja selalu meminta nilai khusus sebagai syarat lamaran. Murid diminta perbanyak diskusi akan banyak hal, namun dunia kerja selalu meminta latar belakang pendidikan yang sesuai dengan jabatan yang lowong.

Mengembangkan bakat dan harus mampu menciptakan usaha sendiri, Nadiem lupa bahwa cara seperti itu hanya mampu dipraktekkan oleh orang-orang seperti dirinya dan putri tanjung dimana ada orang tua pengusaha yang selalu ada dana untuk kreasi anaknya.

Bagaimana dengan anak tukang sapu jalanan yang hanya bisa menatap gedung tinggi dan bermimpi bahwa esok ia akan bekerja disana? Untuk mimpi, semua orang boleh bermimpi seindah mungkin. Namun untuk menggapainya, tidak semua orang akan mampu mendapatkannya. Termasuk mimpi Nadiem tentang dunia pendidikan Indonesia.

Jangan terlalu muluk dengan gagasan seperti Eropa kala infrastruktur kita masih memperlihatkan anak sekolah meniti tali baja diatas sungai menuju sekolahnya. Jangan bangga akan gagasan saat banyak sekolah roboh karena kelalaian bangunan.

Yang Nadiem perlukan hanya berkunjung ke daerah-daerah pedalaman dan bermalamlah disana hingga 2-3 hari, agar ia tau apa yang pertama harus dilakukan demi meraih mimpinya. Yang Nadiem perlukan hanya meniti tali baja bersama murid di daerah, agar ia paham bagaimana adrenalin dan kencangnya aliran darah saat menggebu ingin sekolah. Yang Nadiem perlukan hanya memakai helm lebih banyak di dalam ruangannya untuk merasakan bagaimana perlindungan murid dan guru yang sedang belajar agar terhindar dari kematian karena gedungnya roboh.

Nadiem jangan dulu bicara reformasi industri 4.0 jika di berbagai daerah belum mengetahui wujud reformasi industri 1.0 itu. Belum menyasar pada 2.0, 3.0 hingga ke 4.0. Jika seorang menteri tidak pernah hidup susah, akan payah mengharapkan dirinya untuk mengetahui apa persoalan bangsa ini yang utama. Ia akan mengukur pencapaian dirinya untuk membuat semua orang agar mencontohnya. Ia akan membawa ukuran dirinya sebagai titik dasar keberhasilan.

“Jika saya berhasil, pastinya kalian juga akan berhasil..” Bullshit..!!!

About Redaksi Thayyibah

Redaktur