thayyibah.com :: Sebuah pepatah mengatakan setiap perjumpaan pasti ada perpisahan. Setiap sesuatu yang datang pasti akan pergi. Setiap yang lahir pasti akan mati. Tidak ada yang tetap di dunia ini, semuanya akan berubah. Yang Maha Kekal hanyalah Allah SWT. Hal itu sudah ditetapkan oleh Allah SWT:
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ ﴿٢٦﴾ وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ ﴿٢٧﴾
Artinya: “Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan (yang) tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Q.S. Ar-Rahmaan (55):26-27)
Hidup ini memang terkadang tidak bisa memilih. Kita tidak bisa menghindar dari bagian pahit dari kehidupan. Seuatu ketika seseorang harus kehilangan orang-orang yang sangat dicintainya. Karena itu semua adalah bagian dari kehidupan kita. Semuanya harus diterima dengan lapang dada sebagaimana ketika pertama kali menerima orang yang dicintai tersebut. Memang sudah menjadi sunnatullah bahwa sesuatu itu ada dan tiada. Berawal dari tidak ada kemudian jadi ada dan terakhir nantinya akan kembali menjadai tiada. Itu adalah hal yang sudah pasti dan tidak ada yang bisa menawar atau menghindar.
Namun terkadang banyak diantara kita yang tidak bisa melihat dari sisi yang lain dari hilangnya orang tercinta. Kita biasanya hanya melihat dari sisi ‘kita’nya tanpa berusaha melihat dari sisi-sisi lainnya, sehingga ketika ada orang yang dicintai telah pergi, kita langsung mengukur dan menilainya berdasar sudut pandang kita. Maka ketika hal itu tidak sesuai dengan keinginan atau bertentangan dengan apa yang kita harapkan, tentu kita tidak akan begitu saja menerima apa yang telah terjadi itu. Kita sering kali menyalahkan orang lain atau sesuatu faktor lain atas kejadian yang tidak sesuai dengan keinginan kita, bahkan tidak jarang ada orang yang secara tidak tahu diri dan begitu sombongnya sampai-sampai berani menyalahkan Allah SWT atas perginya orang yang dicintainya. Sungguh malang nasib orang seperti itu. Naudzubillah min dzaalik.” Hendaknya orang yang sedang merasakan kesedihan yang cukup mendalam berkaca kepada orang lain yang nasibnya jauh lebih sedih dan sakit dari pada apa yang telah menimpa padanya.
Simaklah sebuah kisah nyata berikut. Di hari terjadinya gempa di Yogya, rekan akhwat ini telah bersiap-siap pergi kajian pagi ke Masjid Mardliyah dekat kampus. Baru selesai mengenakan kaos kaki sebelah kanan, ternyata rumahnya seperti digoncang, belum sempat dia berlari keluar rumah. Akhirnya, jadilah sekeluarganya tertimpa bangunan di dalam rumah. Namun ternyata Allah masih memudahkannya untuk bisa keluar dari reruntuhan itu dan mendengar sang bapak merintih-rintih. Dengan dibantu tetangganya, akhirnya bapaknya dan adik perempuannya bisa ditemukan. Dalam beberapa saat kemudian, ibunya juga ditemukan, tapi sungguh kondisinya sangat menyedihkan. Bagian kepalanya nyaris remuk dan seketika beliau telah diambil oleh Sang Khalik. Adik laki-lakinya saat ditemukan, tertimbun reruntuhan bangunan dan saat akan dibawa ke rumah sakit, adiknya meninggal. Tak bisa dibayangkan, kesedihannya saat itu. Dalam hitungan jam, dia kehilangan orang-orang yang dicintainya.
Mungkin kita mengira bahwa begitu sedihnya orang ini. Namun demikian, ternyata setelah beberapa waktu kemudian. Orang ini berjalan menuju tempat yang lebih aman. Ketika dia berjalan bertemu dengan anak kecil yang kira-kira berumur 6 tahun sedang menangis kencang, dia berteriak-teriak memanggil ibu dan bapaknya. Ternyata kedua orang tuanya telah tertinbun rumah yang roboh. Dan ketika ditanya apakah dia punya saudara ternyata dia tidak memiliki saudara. Mendengar itu perempuan langsung terhenyak, ternyata yang tadinya dia mengira bahwa dirinyalah yang paling sedih di dunia ternyata ada orang yang jauh lebih sedih lagi dari pada dirinya.
Dari kisah di atas kita bisa mengambil pelajaran bahwa terkadang kita mengukur kesedihan itu hanya pada diri kita sendiri, dan jarang kita melihat orang yang lebih sedih dan sengsara di bawah kita. Sehingga kita sering putus asa dan terkadang meyalahkan pihak lain. Dalam sesaat saja, jika Allah menginginkan, maka dalam sekejab itu pula, titipan itu diambil-Nya. Oleh sebab itu, seperti rumusnya tukang parkir, yang menjaga amanatnya dengan sebaik-baiknya, dan rela jika diambil oleh sang pemiliknya kembali. Karena titipan adalah titipan, tak bisa selamanya menjadi milik kita.
Tidaklah pantas kita putus harapan jika ditinggal pergi oleh orang yang tercinta. Karena Nabi kita Muhammad SAW telah mengalami hal itu dan keadaan Beliau jauh lebih buruk dan lebih menyedihkan.
Kalau kita baca sejarah hidup Rasulullah SAW, sebelum peristiwa isra’ mi’raj terjadi, Rasulullah SAW mengalami musibah duka cita yang sangat mendalam. Beliau ditinggal mati oleh istrinya tercinta, yang begitu setia menemani dan menghiburnya dikala orang lain masih mencemoohnya. Belum habis kesedihan beliau, lalu ditinggal oleh pamannya, Abu Thalib, yang sangat melindungi aktivitas Nabi SAW. Begitu sedih Rasulullah SAW, dalam waktu yang berdekatan ditinggal pergi selamanya oleh dua orang yang sangat dicintainya. Namun demikian Rasulullah SAW tetap sabar dan tidak putus asa menghadapinya. Beliau yakin bahwa Allah SWT pasti akan menghiburnya. Dan benarlah, beberapa waktu kemudian Allah SWT menghiburnya dengan perjalanan Isra’ mi’raj.
Hikmah yang bisa kita ambil dari kejadian tersebut adalah setiap kesedihan pasti akan diganti oleh Allah SWT dengan imbalan yang lebih baik. Tidak ada perbuatan yang lebih baik dari pada sabar bagi orang yang sedang dirudung kesedihan karena ditinggal pergi selamannya oleh orang-orang dekatnya. Karena sudah banyak bukti yang ditunjukkan Allah SWT kepada kita, bahwa seorang hamba yang ditinggal mati oleh orang dekatnya, kemudian dia bersabar pasti akan diganti dengan yang lebih baik.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, menyebutkan bahwa: “Anak Abu Thalhah menderita suatu penyakit, lalu meninggal dunia. Ketika itu, Abu Thalhah sedang bepergian. Tatkala istrinya mengetahui bahwa anaknya telah meninggal dunia, ia menyiapkan sesuatu dan meletakkannya di samping rumah. Ketika Abu Thalhah datang, dia bertanya?, Bagiamana keadaan anak kita?” Istrinya menjawab, “ jiwanya sudah tenang dan dia telah istirahat. Abu Thalhah menyangka bahwa istrinya jujur. Lalu dia menghabiskan malam itu (berkumpul dengan istrinya), dan ketika tiba waktu pagi, ia pun mandi junub. Ketika hendak bepergian, istrinya memberitahukan kepadanya bahwa anaknya telah meninggal. Setelah itu, ia shalat bersama Nabi SAW dan mengabarkan tentang apa yang terjadi padanya. Maka Rasulullah SAW bersabda: ‘Semoga Allah memberikan berkah untuk kalian berdua (atas apa yang kalian perbuat) pada malam itu. ‘Kemudian Sufyan menuturkan bahwa seorang laki-laki dari Anshar berkata, ‘Aku melihat keduanya memiliki sembilan anak yang seluruhnya hafal al-Qur’an.” (H.R. Bukhari (1301).
Berdasarkan hadits ini, kita bisa mengambil pelajaran bahwa hanya dengan kehilangan satu orang yang paling dicintai, namun dihadapi dengan sabar, pasrah dan berdoa memohon kebaikan kepada Allah SWT, maka diganti dengan lebih banyak dan lebih baik.
Dalam hadits yang lain, Rasulullah SAW memberikan kabar gembira untuk menenangkan hati orang-orang yang ditinggal mati oleh orang-orang yang dicintainya. Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah dua orang muslim yang meninggal diantara keduanya tiga orang anaknya yang belum baligh, melainkan Allah akan mengampuni keduanya karena karunia Allah kepada mereka.” (H.R. Imam Ahmad (3544).
Kita juga patut belajar kepada Urwah bin Zubair, ketika kakinya terpotong, ia berkata, “Segala puji bagi Allah SWT, Dia telah mengambil satu anggota badan dan masih memberikan nikmat lainnya yang lebih banyak. Allah mengetahui bahwa sama sekali aku tidak pernah berjalan untuk tujuan yang haram. “ lalu dikatakan kepadanya, ‘Anakmu telah terjatuh dari atas tembok sehingga lehernya patah lalu meninggal dunia.’ Maka Urwah pun menjawab: ‘Segala puji bagi Allah, jika Engkau telah mengambil satu anakku, Engkau masih menyisakan yang lainnya. Maka bagi-Mu segala pujian atas apa yang telah engkau ambil dan bagi-Mu segala pujian atas apa yang Engkau sisakan.” Demikianlah seharusnya kita bersikap apabila orang yang kita cintai diambil Allah SWT. sebab Allah SWT telah memberikan nikmat yang lebih banyak dan lebih besar selain itu. Mungkin saja kita telah menikmati pemberian Allah SWT selama puluhan tahun, lalu Allah hanya mengambil satu saja yang kita cintai. Maka, tidaklah patut kita berkeluh kesah apalagi putus asa.
Selain itu ada sebuah hadits qudsi yang memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang ikhlas ditinggal mati oleh orang yang dicintainya.
عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يَا مَلَكَ الْمَوْتِ قَبَضْتَ وَلَدَ عَبْدِي قَبَضْتَ قُرَّةَ عَيْنِهِ وَثَمَرَةَ فُؤَادِهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَمَا قَالَ قَالَ حَمِدَكَ وَاسْتَرْجَعَ قَالَ ابْنُوا لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَسَمُّوهُ بَيْتَ الْحَمْدِ
Artinya: “Allah SWT berfirman kepada Malaikat Maut, sudahkah engkau cabut nyawa anak kesangan dan permatahati hamba-Ku?, Malaikat menjawab: ‘sudah’. Allah bertanya: ‘Apa yang diucapkan hamba-Ku’. Malaikat menjawab: ‘hamba-Mu memuji-Mu dan ber-Istirja’ (mengucapkan Innalillahi wainnaa ilaihi raaji’uun). Kemudian Allah SWT berfirman: ‘Bangunkan rumah di surga untuknya dan berilah nama rumah itu dengan baitul hamdi.”(H.R. Imam Ahmad, 18893).
Kebanyakan hadits menyebutkan anak-anak saja yang dianggap orang-orang kesayangan. Karena memang secara umum anak-anak adalah kesayangan dan permati hati setiap orang tua, apabila buahhatinya hilang tentu menimbulkan kesedihan yang amat mendalam. Namun semua orang yang dicintai adalah termasuk dalam golongan ini, baik anak, bapak, ibu, suami, istri dan orang-orang dekat yang dicintainya.
Rasa cinta seseorang memang sangat mempengaruhi kehidupannya. Namun janganlah cinta kepada sang buah hati menjadikan lupa diri. Cinta yang berlebihan akan menyebabkan seseorang sangat bergantung kepadanya. Ketergantungan dan kecenderungan tersebut bisa melebihi ketergantungannya kepada Allah SWT. Apabila hal ini yang sudah terjadi maka akan menjadi sebab kesengsaraan, adzab dan kecelakaan. Betapa banyak orang-orang besar binasa karena ulah orang-orang yang dicintainya.
Barangsiapa bergantung kepada Allah SWT, cinta karena-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya, maka Allah SWT akan memuliakan dan mengangkatnya. Kita tidak tahu apakah orang-orang yang sangat kita cintai itu baik dan bermanfaat. Terkadang orang-orang yang kita cintai tersebut justru membuat bencana. Karena ini cinta yang paling utama adalah apabila disandarkan kepada Allah SWT. Ingatlah Nuh yang anak tercintanya mati tenggelam dalam banjir, namun dia tetap sabar dan berharap imbalan lebih baik dari Allah SWT dan dia tidak berputus asa. Demikian pula Nabi Muhammad SAW yang ditinggal oleh pamannya, dia tetap optimis berjuang menghadapi rintangan dan terus memohon pertolongan kepada Allah SWT dan akhirnya sukses membawa sinar keimanan di dunia.
Kematian bukanlah suatu siksaan. Bahkan kematian bagi orang mukmin adalah bagian dari sebuah hadiah. Rasulullah SAW bersabda:
تحفة المؤمن الموت
“Hadiah orang mu’min adalah kematian.” (HR Thabrani dan al-Hakim)
Nabi SAW menegaskan hal ini karena dunia adalah penjara orang mu’min, sebab ia senantiasa berada di dunia dalam keadaan susah mengendalikan dirinya, menempa syahwatnya dan melawan syetannya. Dengan demikian, kematian baginya adalah pembebasan dari siksa ini, dan pembebasan tersebut merupakan hadiah bagi dirinya. Ketika kita sudah mengetahui bahwa kematian orang yang kita cintai, mungkin saja adalah sebuah hadiah dari Allah SWT, lalu tidak ada gunanya bagi orang yang ditinggal mati meratapi dan berkeluh kesah. Karena jika yang meninggal gembira menerima hadiah, tentu tidak pantas kita menangisinya.
Sebagai pelajaran yang sangat berharga bagi orang-orang yang ditinggal mati oleh orang-orang yang dicintainya, maka tidak ada pelajaran yang paling baik kecuali kisah Ummul Mukminin, Ummu Salamah ra.
Dalam sebuah hadits shahih yang bersumber dari Ummu Salamah, ia berkata: ”Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: ”Tidak ada seorang hamba pun yan ditimpa musibah lalu mengucapkan: Innaa lillaahi wainnaa ilaihi raaji’uun. Allahumma jurnii fii mushibatii wakhluflii khairan minhaa. (Sesungguhnya kami milik Allah, kepada-Nya kami kembali. Ya Allah, berikanlah pahala kepadaku lantaran musibah yang menimpaku ini dan berikanlah ganti kepadaku dengan yang lebih baik dari musibah ini). Kecuali Allah akan memberinya pahala lantaran musibahnya dan akan mengganti musibahnya dengan sesuatu yang lebih baik darinya.”
Ummu Salamah berkata: ”Ketika Abu Salamah (suaminya) wafat, aku berdoa sebagaimana perintah Rasulullah padaku, dan ternyata kemudian Allah SWT memberiku ganti yang lebih baik daripada musibah itu, yaitu pribadi Rasulullah SAW yang menggantikan kedudukan suaminya dahulu.
Jadi doa yang paling mustajab bagi orang yang ditinggal pergi kekasihnya adalah:
إنا لله و إنا إليه راجعون, اللهم أَجُرْني في مصيبتي و اخْلُفْ لي خيرًا منها.
Artikel: http://almanar.co.id/takiyatun-nafs/saat-kehilangan-orang-orang-tercinta.html#