Oleh: HM Joesoef (Wartawan Senior)
Ada yang menarik dari sebuah acara launching “PWI Peduli” di Gedung Dewan Pers, Jakarta Jumat (24/5/2019). PWI, kependekan dari Persatuan Wartawan Indonesia, punya hajatan dengan tema PWI Peduli. Yang dihadirkan sebagai penceramah adalah Yusuf Mansur. Ia membahas tentang matematika Allah itu sangat ajaib.
“Sedekah itu itu bukan hanya membawa kebahagian di akhirat, tapi juga di dunia,” ujar Yusuf Mansur. “Apabila membutuhkan rezeki yang besar, maka bersedekahlah,” ujarnya.
Adapun uang yang kita amalkan, menurut Yusuf Mansur, akan kembali berlipat ganda. “Sudah banyak contoh-contoh yang dialami jamaah saya,” tegasnya. Ia lalu memberi contoh, seseorang yang menginginkan mobil, justru malah menjual motornya dan membagikan hasil penjualannya kepada orang-orang yang membutuhkan. “Eh, beberapa waktu kemudian dia mendapatkan proyek, sehingga mampu membeli mobil untuk keluarganya.”
Masih seabrek contoh yang ia paparkan. Tentang kebenarannya ceritera Yusuf, hanya dia dan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tahu.
Di akhir testimoninya, Yusuf secara spontan memberikan sumbangan sebesar Rp 25 juta kepada PWI Peduli. “Saya yakin, rezeki saya tidak akan berkurang karena itu. Malah mungkin bertambah,” tuturnya.
Yang menarik, portal Warta Ekonomi, salah satu media yang membuat laporan dalam acara tersebut, menutup ceritera tentang Yusuf Mansur dengan sebuah alenia yang cukup menggelitik. “Mau bersedekah? Kalau mau mencari amal di mata Allah SWT, silahkan. Kalau mau mendapatkan rezeki berlimpah-limpah, risiko tidak ditanggung Redaksi Warta Ekonomi.”
Sebuah satire yang cerdas dan menggelitik.
***
Selama ini, Yusuf Mansur dikenal dengan penceramah sedekah. Tentang makna dan manfaat sedekah, sudah banyak ayat-ayat Al-Quran membahasnya; bertabur hadits memotivasinya. Tetapi, ketika Yusuf Mansur yang membawakannya, bumbu-bumbunya terasa berlebihan.
Dalam bersedekah, melakukan secara terang-terangan, diperbolehkan. Tetapi, bersedekah secara sembunyi-sembunyi, amat dimuliakan. Mengapa? Karena jika kita melakukan suatu amalan dengan cara riya (menampakkan) dan sum’ah (memperdengarkan) kepada orang lain, maka disitulah potensi amalan dilakukan tidak hanya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala akan terjadi. Riya’ dan sum’ah akan mendekatkan pelakunya kepada perbuatan syrik, sebuah perilaku yang dosanya tak terampuni.
Adapun cara-cara Yusuf Mansur memotivasi seseorang untuk bersedekah, cenderung riya’ dan sum’ah. Dalam perjalanan ke Surabaya pekan lalu, penulis mendapat ceritera dari seorang ibu, bahwa dirinya tertarik dengan Yusuf Mansur karena melihat wajahnya yang polos, bak manusia tanpa beban dan dosa, testimoninya menggugah. Tetapi, ketika dalam sebuah acara pengumpulan dana di Surabaya (beberapa tahun lalu), Yusuf Mansur menyuruh jamaah melucuti semua perhiasan yang ada dalam tubuhnya, ibu itu mulai berfikir. “Benar tidak, sih?” katanya dalam hati.
Akhirnya, yang ia lepas adalah arloji, sementara cincin dan gelang emas, ia lepas dan disimpan di dalam tas. Dua benda itu tidak ia berikan ke Yusuf Mansur untuk disedekahkan. Mengapa? “Kalau saya berikan semua, ludes,” kata si Ibu yang mulai merasa ragu terhadap Yusuf Mansur. Si ibu tidak sendirian, ratusan jamaah lainnya punya perasaan yang sama. Dan melakuka hal yang sama dengan si ibu tadi.
Keraguan si ibu terjawab. Ketika pada 2013 si ibu ikut investasi “Patungan Usaha” yang per sahamnya dijual Rp 10 juta rupiah. Ada juga yang nilainya Rp 12 juta per saham. Awalnya, janji-janji manis amat menggoda. Begitu berjalan, laporan keuangan, dan bagi hasil yang dijanjikan, mulai tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ketika mencoba mengontak Yusuf Mansur, nomornya sudah berubah. Menghubungi karyawannya, tidak mendapat jawaban yang memuaskan. Menghubungi webnya, sudah tidak aktif. Si ibu ini adalah satu dari 400 orang investor yang nasibnya tidak menentu, sampai hari ini.
***
Sedekah, sejatinya tidak boleh di dekati dengan pendekatan bisnis ala manusia. Misalnya, sebagaimana dipaparkan oleh Yusuf Mansur tentang orang yang menginginkan mobil, justru malah menjual motornya dan membagikan hasil penjualannyadak kepada orang-orang yang membutuhkan. Lalu Allah memberinya rezeki, dengan mendapatkan proyek, dan hasilnya bisa beli mobil untuk keluarganya. Begitu juga jika seseorang bersedekah Rp 1 juta akan mendapat gantinya Rp 70 juta, bahkan Rp 700 juta dan seterusnya. Matematika Allah tidak seperti itu.
Dalam bersedekah, seseorang dimotivasi untuk mendapatkan kebahagiaan kelak di akhirat. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah mengajarkan umatnya mematematikan sedekah untuk kehidupan di dunia. Para Sahabat dan salafussholih juga tidak pernah memberi contoh-contoh sedekah ala Yusuf Mansur.
Jadi, mau mencontoh Sang Rasul, para sahabat dan salafussholeh, atau mencontoh Yusuf Mansur yang di dunia saja, masih banyak urusan yang belum ia selesaikan?