Breaking News
Dr. KH. Ahmad Hidayatullah Zarkasyi, MA (Foto : Unida Gontor)

Keras dan Tegas Tidak Selamanya Radikal

Karakter Warok Ponorogo dalam Pendidikan Gontor

 Oleh: Bugel Kesambi

Dr. KH. Ahmad Hidayatullah Zarkasyi, MA (Foto : Unida Gontor)

 

Kebanyakan orang Ponorogo berbicara dengan tegas apa adanya. Tidak suka berbicara lelamisan (manis tapi berdusta). Memiliki sifat ksatria, tidak memiliki sifat membalas dari belakang melainkan diungkapkan secara ‘to the point’ langsung dan gamblang.

 Logat bicaranya berbeda dengan suku Jawa yang ada, orang Ponorogo kalau bicara nadanya keras, istilah gaulnya “nge-gas”, bernada tinggi, tegas dengan logat yang disebut Panaragan. Sepintas, dialog komunikasi yang terdengar antar orang Ponorogo, mirip dialog pertengkaran, karena “tangga nada dan volume suara” yang digunakan mereka dalam berkomunikasi dan pertengkaran agak sulit dibedakan. Namun demikian, penampakan lahiriyah orang Ponorogo yang terlihat tegas dan kasar, berbanding terbalik dengan nuansa hatinya yang dikenal lurus dan tulus.

 Corak karakter dan kultur lokal Ponorogo yangg keras dan tegas inilah, sedikit merembes ke pola pendidikan karakter di Gontor, setidaknya terasa dalam pola pembentukan karakter santri dan penegakan disiplin di pondok. Hal ini diakui sendiri oleh Dr. K.H Hidayatullah Zarkasyi, MA (putra pendiri K.H Imam Zarkasyi), bahwa “ada corak kultur Ponorogo yang merembes ke Pesantren Gontor (lihat di buku “Pesantren Gontor di Pentas Nasional”).

 Di beberapa kesempatan, Kyai Hasan pernah mengungkapkan bahwa beliau lebih senang dianggap Warok ketimbang dianggap Kyai. Tentu ‘warok’ di sini bukan makna sebenarnya, melainkan sebuah penegasan identitas watak dan karakter lokal yang lahir secara alamiah, kodrati, menyatu dalam diri beliau. Maka jangan heran, dalam beberapa kesempatan, Kyai Hasan terlihat keras dan tegas dalam mendidik santri dan merespon keadaan di luar pondok. Ya begitulah integrasi ‘Kyai’ dan ‘Warok’ dalam jiwa dan raga beliau.

Pernah satu ketika ada kawan bukan kalangan santri bertanya, “Bro, Kyaimu kok keras, gak kayak kyai-kyai lainnya” (maksudnya tidak halus sebagaimana kyai-kyai Jawa pada umumnya), dengan spontan saya jawab, “Kalau pengen Kyai-ku halus, ganti saja barongan Reog yang berkepala macan dengan kepala kucing, maka kesan garang itu akan hilang”. Artinya betapa hebatnya pengaruh luar mewarnai diri seseorang, tetap tidak melunturkan identitias kedaerahannya.

 Maka, jangan mudah-mudah menyematkan label “radikal”, pada sikap atau tutur kata yang terkesan keras dan kasar, siapa tahu ada karakter dan watak yang lahir secara natural sebagai penegas identitas kedaerahan.

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur