Sufi dan Pajak
Oleh: Tabrani Syabirin
Dalam berbisnis masalah pajak dan zakat merupakan persolan yang terus dihadapi oleh kaum entrepreneur muslim; apakah harus membayar pajak yang merupakan kewajiban kepada negara sekaligus juga harus membayar zakat sebagai kewajiban sesuai perintah agama?
Dalam kajian fiqih dengan sistem negara yang berbentuk pemerintahan Islam, selain zakat, tidak ada lagi kewajiban warga negara seperti pajak. Yang turunannya bisa berbentuk cukai. Bahkan setiap komoditi ada pajak dan cukainya. Bahkan negara juga memberlakukan pajak atas hak cipta dari individu atau lembaga.
Di negara-negara Islam atau yang banyak menyerap hukum Islam seperti Arab Saudi, United Arab Emirat (UAE), Qatar, Oman dan Bahrain boleh dibilang bebas pajak. Kalau belakangan ini mulai ada jumlahnya sangat kecil. Di negara-negara tersebut subsidi pemerintah sangat besar. Pendapatan negara dari perusahaan negara (BUMN) yang menguntungkan. Karena itu harga makanan pokok, barang electronic, otomotif juga sangat murah. Dari sisi ini masyarakat jelas sangat diuntungkan. Harga makanan dan barang elektronik di Arab Saudi jauh lebih murah dibandingkan di Jakarta.
Bahkan di negara kita juga memberlakukan pajak profesi, pajak hak cipta dan pajak progresif terhadap barang tertentu, seperti pajak kendaraan bermotor dan pajak atas tanah, bumi dan bangunan. Kalau kita lihat pandangan tokoh dan ulama soal pajak ini sangatlah beragam sesuai sudut pandang sendiri.
Yusuf Qardhawi seorang ahli hukum Islam tamat dari Universitas Al-Azhar, Mesir, sengaja menulis kitab Fiqih Zakat فقه الزكاة. Dalam pandangan Qardhawi, selain zakat pengusaha muslim juga perlu membantu negara dengan membayar pajak. Pandangan Qardhawi ini ditekankan nya untuk negara dimana penguasanya sangat peduli dengan kepentingan umat Islam.
Ada juga pandangan dari kaum sekuler yang menginginkan ajaran Islam masuk di bawah institusi negara. Sebut saja Masdar Farid Mas’udi salah satu ketua di PB NU. Menurut Masdar, seperti dituangkan dalam bukunya ‘Pajak itu Zakat’, kalau sudah membayar pajak tidak usah bayar zakat. Pandangan Masdar ini tidak diterima oleh kalangan muslim. Karena zakat merupakan kewajiban yang datang dari Allah SWT atas harta dan atau perniagaan yang sudah sampai nisabnya (waktunya). Selain itu pajak merupakan kewajiban warga negara yang diterapkan oleh pemerintah tanpa melihat agamanya.
Dalam pandangan hukum Islam sebetulnya sangat terbuka peluang untuk memilih antara membayar atau tidak. Dalam pandangan ulama zaman lampau pajak itu sesuatu yang haram atas kaum muslimin. Alasan yang mereka gunakan adalah Firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِل.
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….” (An-Nisa : 29)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّا س زَمَانٌ لاَيُبَاليَّ الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَ منْ حَلاَل أَم منْ حَرَام
“Sungguh akan datang kepada manusia suatu zaman saat manusia tidak peduli dari mana mereka mendapatkan harta, dari yang halalkah atau yang haram” [HR Bukhari kitab Al-Buyu : 7.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِنَّ صَاحِبَ الْمَكسِ فِيْ النَّارِ
“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka”. [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7
Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bersepakat bahwa pajak merupakan suatu bentuk kezaliman. Bahwa para pengawas (penjaga) yang ditugaskan untuk mengambil uang denda (yang wajib dibayar) di atas jalan-jalan, pada pintu-pintu (gerbang) kota, dan apa-apa yang (biasa) dipungut dari pasar-pasar dalam bentuk pajak atas barang-barang yang dibawa oleh orang-orang yang sedang melewatinya maupun (barang-barang yang dibawa) oleh para pedagang (semua itu) termasuk perbuatan zhalim yang teramat besar, (hukumnya) haram dan fasik.
Kecuali apa yang mereka pungut dari kaum muslimin atas nama zakat barang yang mereka perjualbelikan (zakat perdagangan) setiap tahunnya, dan (kecuali) yang mereka pungut dari para ahli harbi (kafir yang memerangi agama Islam) atau ahli dzimmi (kafir yang harus membayar jizyah sebagai jaminan keamanan di negeri muslim), (yaitu) dari barang yang mereka perjualbelikan sebesar sepersepuluh atau setengahnya.
Maka sesungguhnya (para ulama) telah beselisih tentang hal tesebut, (sebagian) berpendapat mewajibkan negara untuk mengambil dari setiap itu semua, sebagian lain menolak untuk mengambil sedikitpun dari itu semua, kecuali apa yang telah disepakati dalam perjanjian damai dengan dengan ahli dzimmah yang telah disebut dan disyaratkan saja.
Jadi pajak merupakan suatu bentuk kedzaliman. Karenanya mau menjadi Sufi dalam berbisnis anda perlu berpikir untuk melepaskan beban pajak.