Oleh: Inayatullah Hasyim (Dosen Universitas Djuanda Bogor)
Di suatu pengajian pagi, seorang ustadz berkata dalam ceramahnya, “Bapak-bapak nih, paling susah sekali memuji istri, termasuk memuji masakannya. Padahal, apa susahnya? Jika suatu hari istri memasak terlalu asin, jangan melotot. Pujilah…sambil diingatkan, kata dokter, aku tak boleh lagi makan terlalu asin sebab beresiko dengan darah tinggiku. Bahkan, saat istri masak sayur paria sekalipun, bilang saja manis sekali paria-nya…” Eh, mana ada paria yang manis yah.
Pak Gunawan, salah satu jamaah di pengajian itu, tersentuh mendengar ceramah ustadz tadi. Dia mengakui, bertahun-tahun berumah tangga, tak pandai memuji istri. Jangankan seperti orang lain yang bisa bilang, “Aku menulis namamu beralasakan angin, aku menggambar wajahmu di permukaan air. Kutahu angin tak dapat bercerita dan air tak berdaya awetkan sketsa. Tak mengapa, sebab bagiku kau selalu ada dalam setiap masa”, dia untuk bilang “kamu cantik” saja susah sekali. Maka, pulang pengajian pagi itu, Pak Gunawan bertekad untuk memuji istrinya, setidaknya memuji masakannya. Hmmm..
Maka, ketika istri menawarkan makan siang, Pak Gunawan bergegas. Dipandangi wajah istrinya dengan penuh takjub, seraya menyantap makan siang dengan lahap. “Enak sekali masakan ini. Pandai sekali yang memasaknya. Pasti cantik yang memasaknya…” Sekali lagi Pak Gunawan melirik istrinya. Matanya dikedipkan menggoda.
Tapi, di luar dugaannya, istrinya mengambil sapu lidi, bertolak pinggang dengan wajah garang, dan berkata, “Dua puluh tahun aku masak tak pernah dipuji, giliran dapat kiriman masakan dari janda sebelah, papa bilang enak, yang masak cantiklah, pandailah…. papa pergi sana”. Hah…
***
Untuk membangun keharmonisan rumah tangga, ada saja hal unik yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ. Di antara yang beliau lakukan adalah: membuat nama kesayangan untuk istri. Dalam beberapa riwayat, beliau ﷺ memanggil Aisyah dengan panggilan sayang: `Āisy (HR. Bukhari, Muslim) dan Humairā` (HR. Baihaqi, Thabrani).
Maka sangat dimaklumi jika kisah-kisah beliau bersama Aisyah penuh dengan romantisme cinta.
Pada suatu kesempatan, beliau ﷺ makan dan minum bareng bersama istrinya. Dalam Hadits yang diriwayakan Muslim, Rasulullah ﷺ dan Aisyah minum dengan gelas dan piring yang sama. Bahkan makan daging pada bekas jilatan Aisyah (HR. Nasai).
Dalam rumah tangga, beliau ﷺ tidak berkomentar atau mengeluh dengan kelakuan istri selama dalam hal yang bersifat mubah. Aisyah berkata, ‘Aku pernah menyisir rambut Rasulullah ﷺ , padahal sedang haidh. ’(HR. Bukhari).
Beliau ﷺ juga tak pernah mencela masakan istri. Kalau beliau ﷺ suka akan dimakan, kalau tidak suka, beliau biarkan tanpa mencacatnya (HR. Bukhari).
Sebagai bentuk kasih sayang, terkadang beliau ﷺ bersandar dan tidur di pangkuan istrinya. Aisyah bercerita: ‘Rasulullah ﷺ bersandar di pangkuanku, pada waktu aku sedang haidh.’ (HR. Muslim).
Di samping itu, terkadang kalau ada waktu luang, beliau juga menemani istri jalan-jalan. Bukhari meriwayatkan: Ketika malam, Nabi ﷺ berjalan bersama Aisyah, sembari berbincang-bincang. Bahkan, ketika ada momen ekspedisi militer, beliau acap kali mengundi istrinya untuk diajak ikut bersama.
Yang lebih menakjubkan beliau ﷺ dengan suka cita membantu pekerjaan rumah. Dalam riwayat Bukhari disebutkan: Ketika Aisyah ditanya mengenai apa yang dilakukan Rasulallah ﷺ saat di rumah, beliau ﷺ menjawab: ‘Beliau ﷺ membantu pekerjaan istrinya.’
Beliau ﷺ tidak membebankan kewajiban rumah hanya pada istri. Beliau ﷺ sendiri turut membantu. Ketika Aisyah ditanya tentang pekerjaan Rasulullah ﷺ di rumah, beliau menjawab: ‘Sebagaimana layaknya manusia lain, mencuci baju, memerah susu, dan melayani dirinya.’ (HR. Ahmad).
Rasulallah ﷺ juga sangat sabar dan berusaha membahagiakan istri selama dalam hal yang tak terlarang. Suatu hari Abu Bakar datang ke rumah Nabi, waktu itu beliau sedang tertutup dengan baju, karena ada dua perempuan muda yang sedang menabuh gendang di depan Aisyah, lalu Abu Bakar kaget dan mencegahnya. Nabi ﷺ pun melarangnya seraya berkata:
يا أبا بكر دعهما فإن لكل قوم عيد وهذا عيدنا
“Wahai Abu Bakar, biarkan mereka berdua. Sesungguhnya pada setiap kaum ada hari rayanya. Dan Ini adalah hari raya kita”. (HR. Bukhari).
Jika istri marah, beliau ﷺ dengan sabar menenangkan dan meredam kemarahan istrinya. Bahkan, beliau ﷺ mengajarkan doa meredam kemarahan kepada istrinya.
Ummu Salamah pernah diajari Nabi ﷺ doa meredam kemarahan:
اللَّهُمَّ رَبَّ مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي وَأَذْهِبْ غَيْظَ قَلْبِي وَأَجِرْنِي مِنْ مُضِلَّاتِ الْفِتَنِ مَا أَحْيَيْتَنَا
“Ya Allah Tuhan Muhammad, ampunilah dosaku, hilangkan kemarahan hatiku, anugerahkan padaku pahala dari fitnah-fitnah yang menyesatkan, selama Engkau menghidupkan kami.” (HR. Ahmad).
Terkadang, beliau ﷺ juga tak sungkan memuji istrinya. Suatu saat Rasulullah ﷺ memuji Aisyah: “Sesungguhnya keutamaan Aisyah atas semua wanita adalah seperti tsarid (adonan roti paling enak saat itu) atas segala makanan.’ (HR. Muslim). Pujian yang proporsional terhadap istri memang bisa membuat rumah tangga menjadi langgeng. Bukankah wanita memang senang dipuji?
Rasulallah pun tak malu menyatakan cinta serta merasa bahagia dengan istrinya. Rasulullah ﷺ berkata tentang Khadijah: “Sungguh aku dikaruniai cintanya.” (HR. Muslim). Pernah, suatu saat beliau ditanya Amru bin Ash mengenai istri yang paling dicintai.Beliau ﷺ menjawab, ‘Aisyah.’ (HR. Bukhari, Muslim).
Meski beliau sangat baik dalam memperlakukan istri-istrinya, tapi beliau ﷺ juga tegas ketika istrinya berbuat salah. Suatu saat para istri itu meminta sesuatu yang tak dimiliki Rasulullah ﷺ. Rasulallah bahkan menjadi tak nyaman. Maka turunlah firman Allah SWT:
عَسَىٰ رَبُّهُ إِن طَلَّقَكُنَّ أَن يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا مِّنكُنَّ مُسْلِمَاتٍ مُّؤْمِنَاتٍ قَانِتَاتٍ تَائِبَاتٍ عَابِدَاتٍ سَائِحَاتٍ ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا (5)
“Jika Nabi menceraikan kalian, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri yang lebih baik daripada kalian, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.” (QS At-Tahrim: 5)
Dengan ketegasan ini akhirnya mereka sadar bahwa mereka bersalah, dan tak mau mengulanginya lagi.
Itulah sekelumit gambaran keluarga yang memiliki orientasi kebahagian dunia dan akherat.
Wallahua’lam bis showwab.