Oleh: HM Joesoef (Wartawan Senior)
Bukan Yusuf Mansur namanya jika tidak tampil dengan ide-ide baru. Di dunia sepak bola misalnya, Yusuf Mansur mengaku punya gagasan untuk membeli dua klub raksasa Eropa, yakni Real Madrid dan Manchester United. Hal itu diungkapkannya pada Februari 2018. Sampai saat ini cita-cita tersebut tidak terwujud.
Awal Desember 2018, Yusuf Mansur mengumumkan bahwa pihaknya, dalam hal ini PayTren (PT Veritra Sentosa Internasional) akan membeli saham klub sepak bola asal Polandia Lechia Gdansk sebesar 10 persen, dengan nilai 2,5 juta euro yang setara dengan Rp 41,2 miliar. Menurutnya, uang sebesar itu akan mulai dibayar pada Juni 2019 secara mencicil. “Kami bayar mulai Juni dengan masa angsuran selama 7 bulan,” katanya.
Waktu itu, posisi Lechia Gdansk ada di urutan teratas Liga Polandia. Kini, dari 15 klub yang ada, Lechia Gdansk berada di urutan ke-10. Dan, koar-koar kebanggaan Yusuf Mansur terhadap klub ini tak lagi bunyi. Bisa jadi, setelah melihat posisi Lechia melorot itu, Yusuf pun mengurungkan niatnya untuk membeli sahamnya. Dan berita pun lenyap seakan ditelan bumi.
Rupanya, kegagalan mengelola 3 klub sepak bola dalam negeri hendak dibayar oleh Yusuf dengan cara membeli klub dari luar negeri. Tak kesampaian mewujudkan mimpinya membeli saham Real Madrid dan Manchester United, Lechia pun jadi. Padahal, posisi Liga Polandia masih jauh di bawah Liga Eropa lainnya.
***
Sebelumnya, di awal 2018, Yusuf mengumumkan bahwa pihaknya akan mengelola tiga klub sekaligus: Persika Karawang, Persikota Tangerang, dan Malang United. Pengambilalihan klub-klub itu dilakukan dalam kurun waktu tiga bulan, sejak Desember 2017.
Media-media menyantapnya sebagai berita yang segar. Apalagi Yusuf tampil dengan ide-ide barunya. Apa itu? Rata-rata klub-klub sepak bola punya keterbatasan dana. Yusuf hadir dengan ide baru. Yakni, ia akan mengajak kalangan pengusaha dan mereka yang berpunya untuk sama-sama membiayai klub-klub daerah.
Waktu itu Yusuf mengatakan, “Yang saya tawarkan itu strategi, yang saya tawarkan keyakinan, bahwa kalau saya pegang industri akan percaya. Contoh ada satu klub sepakbola hidup di kota di mana ada industri gede banget, menjadi konglomerat di Indonesia, tapi klubnya tidak ada duit. Dugaan saya sederhana saja, karena kepercayaan.”
Kesimpulan Yusuf, bisa jadi benar. Tetapi persoalannya, ini berkait tentang kepercayaan. Siapa mengajak untuk apa? Dan rupanya, Yusuf sangat percaya diri akan hal itu. Bahwa dirinya adalah orang yang tepat untuk mengajak para pengusaha dan yang berpunya untuk sama-sama membesarkan klub bola daerah.
Sampai di situ, tidak ada yang salah. Tetapi, ketika yang tampil adalah Yusuf Mansur, persoalan jadi lain. Tahun 2017 sampai sekarang Yusuf adalah orang yang paling dicari-cari oleh, antara lain, para peserta patungan usaha dan patungan aset, yang merasa ditipu oleh dirinya. Hal ini tentu saja tidak menguntungkan jika Yusuf tampil sebagai orang yang mengajak untuk membiayai klub-klub sepak bola. Dan inilah yang tidak pernah dihitung oleh Yusuf yang selalu tampil dengan percaya diri itu.
Yusuf tidak mampu menjual klbu-klub daerah tersebut. Selain itu, kehadiran Yusuf dengan segudang idenya itu, tak juga mampu mendongkrak klub-klub tersebut. Tiga klub daerah yang ia kelola itu tak juga kunjung membaik. Alih-alih naik tingkat ke Liga I, ketiga klub itu terpuruk di Liga III. Persika Karawang, Persikota Tangerang, dan Malang United. Persika Karawang menempati urutan ke-12, Persikota Tangerang di urutan ke-11, dan Malang United di urutan ke-16.
Persika Karawang, misalnya, problem pemain yang bayarannya selalu terlambat dan bahkan tak terbayar, juga tak terselesaikan. Yusuf yang awalnya menggebu-nggebu dan ternyata tidak berhasil mengumpulkan dana, ikut-ikutan surut. Ketika dikejar soal itu, Yusuf, sebagaimana biasanya, mengaku salah dan meminta maaf.
Itulah lagu Yusuf ketika setiap kali proyeknya gagal: mengaku salah dan meminta maaf. Selesai. Lalu, ia hadir dengan ide-ide lainnya. Anehnya, hampir tidak ada media yang kritis pada Yusuf Mansur. Ketika proyek-proyeknya baru diumumkan, media massa memberitakan secara gegap-gempita. Begitu proyek=proyek tersebut gagal, media massa diam. Ada apa dengan media? Bukankah peran media sebagai sarana untuk melakukan amar ma’ruf nahyi munkar?