Ratusan anak menjadi korban predator daring
thayyibah.com :: Jumlah pengguna internet di Tanah Air terus tumbuh. Berdasarkan survei pada 2018, sebanyak 64,8 persen penduduk Indonesia aktif mengakses internet. Tidak hanya orang dewasa, anak-anak juga akrab dengan dunia maya.
Menurut koordinator End Child Prostitution in Asian Tourism (ECPAT) Indonesia Ahmad Sofian, pelaku kejahatan di dunia maya juga menarget anak-anak. Dia mengatakan, anak-anak yang aktif menggunakan internet dianggap sebagai pasar sekaligus sasaran bagi predator seksual.
“Kejahatan seksual secara daring terjadi mulai dari gambar dan video porno yang melibatkan anak, materi kekerasan yang melibatkan anak, hingga memberi anak akses terhadap materi kekerasan seksual,” ujar Ahmad Sofian dalam acara bertajuk “Sosialisasi Internet Aman untuk Anak” di Jakarta, Kamis.
Salah satu modus predator seksual ialah menjebak anak-anak melalui akun-akun palsu di media sosial. Cara ini disebut sebagai grooming online. “Yaitu bujuk rayu di media sosial menggunakan akun seolah-olah menjadi anak-anak, dokter, atau pencari bakat,” kata Sofian.
Proses tersebut dapat berjalan dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga si anak menjadi percaya dengan pelaku. Ketika anak sudah teperdaya, langkah selanjutnya ialah “sexting.” Artinya, percakapan melalui media sosial yang mengarah pada aktivitas seksual.
Pada tahapan ini, lanjut Sofian, anak yang menjadi sasaran juga diminta mengirimkan foto-foto atau rekaman video yang tidak senonoh. “Ketika pelaku mengaku sebagai dokter, dia mengaku bisa mengobati penyakit tertentu dan meminta anak yang menjadi sasaran mengirimkan foto atau video tidak senonoh dengan dalih untuk melihat tubuh korban,” tutur dia.
Begitu mengantongi foto atau video tersebut, pelaku akan melakukan “sextortion”, yakni pemerasan kepada si anak dengan ancaman foto atau videonya akan disebarluaskan. Bila sudah demikian, tak jarang korban sampai-sampai mencuri uang orang tua atau teman.
“Pelaku bisa memeras dengan meminta uang atau aktivitas seksual lainnya. Pada saat itu, anak yang menjadi korban sudah sangat kesulitan karena sulit menolak. Di sisi lain, pelaku bisa saja tetap menyebarkan foto atau video,” ujar dia.
Oleh karena itu, anak-anak dinilai harus paham apa saja perilaku berisiko yang mungkin terjadi di media sosial dan internet. Menurut pemantauan ECPAT Indonesia pada 2018, terdapat 150 kasus eksploitasi seksual anak.
Sebanyak 379 anak diketahui menjadi korban. Sekitar 21 persen di antaranya merupakan korban pornografi anak (82 anak). Adapun 17,7 persen merupakan korban prostitusi online dan offline (67 anak). Sebesar 0,79 persen di antaranya ialah korban grooming online (tiga anak).
Pada dasarnya, tidak ada yang salah dengan kemajuan teknologi komunikasi. Namun, seluruh elemen masyarakat perlu mengantisipasi celah-celah yang dimanfaatkan predator seksual anak. “Karena itu, perlu ada internet yang aman yang bisa melindungi anak-anak,” ucap dia.
Kampanye internet aman sudah dijalankan pihaknya sejak Februari 2018 lalu. Dalam hal ini, ECPAT Indonesia bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Program itu mencakup upaya memberikan pemahaman kepada anak-anak tentang dampak buruk internet.
Peran orang tua dalam melindungi anak begitu sentral. Faktanya, marak dijumpai orang tua yang kurang hati-hati dalam meminjamkan atau bahkan membelikan gawai kepada buah hati.
Sofian mengatakan, ponsel cerdas dan internet sesungguhnya hanya dirancang untuk orang dewasa, bukan anak-anak. Penggunaan gawai pada anak pun perlu dikendalikan. “Apakah harus menghentikan pemberian ponsel cerdas dan internet pada anak? Tidak, tetapi harus dikendalikan dan diatur,” ujar dia.
Orang tua diakui tidak bisa seutuhnya membatasi internet terhadap anak. Umpamanya, ketika di rumah tidak diberikan gawai, si anak dapat pergi ke warung internet (warnet) atau rumah kawannya yang memiliki internet relatif lebih bebas.
Oleh karena itu, negara perlu turun tangan. Sofian menilai, Indonesia dapat meniru Kolombia. Misalnya, pemberlakuan kebijakan yang memaksa produsen supaya membuat gawai khusus anak-anak.
“Karena sudah ada ponsel cerdas untuk anak, penjual ponsel dilarang menjual ponsel dewasa kepada anak. Aplikasi-aplikasi yang ada pada ponsel cerdas khusus anak itu ramah anak. Beberapa negara Asia sudah memulai kebijakan itu,” tutur dia.
Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPPA Nahar mengatakan, pengguna gawai usia enam hingga 19 tahun di Indonesia mencapai 65 persen. Sementara itu, belum ada aturan di negara ini yang bisa menghalangi anak untuk menggunakan gawai.
Lebih lanjut, dia menilai perlu adanya aturan perundang-undangan yang mengatur dan melindungi data pribadi anak. “Sampai saat ini, belum ada UU yang melindungi data pribadi anak. Padahal, itu sangat penting, mengingat semua orang bisa mengakses data pribadi di media digital,” kata Nahar, Kamis.
Nahar mengatakan, anak-anak kini sudah semakin terbiasa dengan internet. Oleh karena itu, anak-anak perlu diajarkan tentang pengendalian diri. Jangan sampai mereka tidak bijak dalam menggunakan internet.
“Akibatnya (bila tidak bijak –Red), mereka kemudian mencoba-coba apa yang mereka lihat di internet, termasuk pornografi, kemudian melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum,” kata dia.
Sumber: Antara/republika