Oleh: HM Joesoef
thayyibah.com :: Enzo Zenz Allie yang fasih berbahasa Perancis, Inggris, dan Arab itu lolos dalam seleksi Taruna Akmil. Panglima TNI Hadi Tjahjanto sempat mewawancarainya dengan bahasa Perancis. Semua orang bangga atas prestasi Enzo. Tetapi, dalam hitungan hari, suasana berubah, Enzo jadi bulan-bulanan orang-orang yang tidak suka melihatnya menjadi seorang Taruna Akmil. Ia dituduh sebagai kader HTI hanya karena mengagumi bendera tauhid bertuliskan *La ilaha illa Allah, Muhammad Rasulullah*.
Bahkan, seorang anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Mahfud MD, ikut memperkeruh suasana. Mahfud menuding pihak Akmil kecolongan dengan lolosnya Enzo. Menurut Mahfud, Enzo terindikasi sebagai bagian dari jamaah HTI, Ormas yang dibubarkan berdasarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017. Pernyataan Mahfud ini terasa janggal. Karena selama ini, HTI itu kumpulan orang-orang terpelajar, dan beredar di kalangan mahasiswa keatas. Sedangkan Enzo adalah anak yang baru lulus SMA. Bendera tauhid itu milik umat Islam, bukan milik HTI. Jadi, jika seseorang jatuh cinta dengan bendera tauhid itu, tidak secara otomatis ia adalah kader HTI.
*Bendera Tauhid*
Dalam bahasa Arab. bendera dikenal dengan nama liwa’, warna dasarnya putih dengan tulisan warna hitam. Selain liwa’, umat Islam juga mengenal rayah (panji perang), berbentuk segi empat dengan warna dasar hitam dengan tulisan berwarna putih. Baik liwa’ maupun rayah, keduanya bertuliskan kalimah tauhid: *La ilaha illa Allah, Muhammad Rasulullah*.
Dalam sebuah peperangan, baik di jaman Rasulullah maupun di jaman Khalifah-ur Rasyidin, liwa’ dan rayah menjadi penyemangat pasukan. Rayah adalah panji yang dipakai oleh seorang pemimpin atau panglima perang. Sedangkan liwa’ berfungsi sebagai penanda posisi dimana pemimpin atau panglima perang berada di medan tempur. Dimana panglima perang berada, disana ada seorang yang diberi amanah untuk membawa dan mengibarkan liwa’.
Tentang rayah dan Liwa’ ini, ada kisah heroik ketika terjadi perang Mu’tah, sebuah desa di daerah Balqa’, Syam. Perang terjadi di bulan Jumadal Ula tahun 8 Hijriyah (sekitar 629 Masehi). Sebanyak 3000 pasukan Muslim berhadapan dengan 100.000 pasukan Romawi Timur yang kafir.
Pasukan yang dipimpin oleh Zaid bin Haritsah Radhiyallahu anhu itu dilepas oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam seraya berpesan, “Bila Zaid terbunuh, maka Ja’far bin Abi Thâlib yang menggantikan. Dan bila Ja’far terbunuh, Abdullâh bin Rawahah yang menggantikan.”
Zaid bin Haritsah Radhiyallahu anhu dengan membawa rayah di tombaknya, maju ke medan laga, dengan penuh semangat, menerjang barisan musuh. Takdir tak dapat dielak. Zaid syahid di medan tempur.
Rayah diambil-alih oleh Ja’far bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, saudara Ali bin Abi Thalib yang juga sepupu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Ibnu Hisyâm meriwayatkan bahwa Ja’far bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu memegang rayah dengan tangan kanannya. Tetapi tangan kanan itu ditebas musuh dengan pedang. Tangan kanan putus, berganti dengan tangan kiri, juga putus oleh sabetan pedang musuh. Tangan kanan-kiri putus, rayah didekap dengan pangkal lengannya hingga ia gugur.
Posisi Ja’far digantikan oleh Abdullâh bin Rawahah Radhiyallahu anhu dan ia pun menerjang maju yang membuatnya menjemput syahidnya. Dalam keadaan pertempuran yang tidak berimbang secara jumlah, sebagian pasukan sudah mulai kendor, rayah tak boleh tidak harus tetap berkibar. Maka, atas inisiatifnya, rayah diambil Tsabit bin Arqam al-‘Ajlani. Diatas kudanya, dengan memegang rayah, Tsabit berseru, “Wahai kaum Muslimin, tunjuklah seseorang agar memimpin kalian!”
Akhirnya, sebagian besar pasukan bersepakat menunjuk Khalid bin Walid, yang belum lama memeluk Islam, sebagai panglima. Di tangan kepemimpinan Khalid, pasukan Islam bisa diselamatkan, dan pasukan Romawi Timur mundur dari medan laga. Begitulah kisah heroik generasi Sahabat dalam mempertahankan kalimah tauhid. Begitu agungnya kalimah tauhid itu dipertahankan dengan titik darah penghabisan.
*Sikap TNI*
Selama ini Akmil TNI dikenal ketat dalam menseleksi para calon taruna. Seleksinya menyangkut berbagai hal, dari fasiki, psikis, IQ, sampai idiologi negara. Mereka yang lolos adalah putra-putra terbaik bangsa. Karena itu, sikap Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD), Jenderal TNI Andika Perkasa patut diapresiasi.
“Kami AD (Angkatan Darat) memutuskan untuk mempertahankan Enzo Zenz Allie dan semua taruna Akademi Militer yang telah kami terima,” kata Andika dalam jumpa pers di Mabesad, Jakarta Pusat, Selasa (13/8). Menurut Andika, keputusan itu diambil setelah internal Mabes TNI melakukan pengukuran terkait indeks moderasi bernegara Enzo Zenz Allie. Hasilya, Enzo memiliki indeks moderasi bernegara yang cukup baik.
Jadi, temuan dan sikap TNI AD tersebut, merupakan pamungkas atas kontroversi atas Enzo. Mahfud hendaknya bisa menahan diri, mengingat posisinya sebagai anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila yang dibayar oleh negara Rp 100 juta per bulan. Mestinya ia tidak asal ngomong, karena TNI punya sistem dan metode dalam merekrut calon-calon taruna.
Boleh jadi, pernyataan Mahfud adalah manifestasi dari Islamphobia. Rupanya, bukan hanya Barat yang phobia pada Islam, tapi juga ada di dalam tubuh umat Islam sendiri. Padahal Islam itu Rahmatan lil ‘alamin.