Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H. (Ketua LBH Pelita Umat)
“Jadi harap maklum bahwa jangan sampai ada pengertian organisasinya dilarang tetapi individualnya masih menyebarkan paham-paham khilafah dan anti-Pancasila. Nggak bisa. Karena tidak hanya HTI. Organisasi lainnya, ormas lainnya, pun, kalau menyebarkan ajaran anti-Pancasila dan anti-NKRI, juga ada undang-undang yang akan memasukkan dia di ranah hukum. Saya kira itu semua paham. Jadi itu supaya jelas,” [Wiranto, 19/7]
Kembali, menkopolhukam Wiranto mengeluarkan statement yang Abuse of Law. Pernyataan yang secara substansi justru melampaui hukum, yang publik dapat memahami pernyataan dimaksud lebih kental nuansa politiknya ketimbang muatan hukum.
Statement ini, melengkapi statement Wiranto sebelumnya yang tak paham hukum, yang berulangkali membuat framing bahwa bendera bertuliskan Lafadz :
لا إله إلا الله محمد رسول الله Sebagai bendera Ormas Islam HTI. Padahal, bendera bertuliskan Lafadz Tauhid dengan kain dasar putih dan hitam itu adalah bendera al Liwa dan Ar Roya, atau lebih dikenal umum sebagai Bendera Tauhid. Karenanya, ketika Menkopolhukam memaksakan terma ‘bendera ormas’ terhadap bendera tauhid, berusaha memberi pembenaran terhadap Banser yang membakar bendera Tauhid di Garut dengan dalih bendera HTI, umat Islam membela bendera tauhid dengan melakukan aksi unjuk rasa damai didepan kantor Kemenkopolhukam.
Tak hanya di Kemenkopolhukam, umat kembali meneguhkan pembelaan pada bendera tauhid dalam aksi Reuni 212 jilid II, dengan membawa jutaan bendera tauhid. Fakta ini, seharusnya menjadi pelajaran penting bagi Wiranto untuk tak asal dalam mengeluarkan statement.
Nyatanya, tidak demikian. Pada Jumat (19/7), Wiranto kembali membuat pernyataan yang melampaui hukum, pernyataan yang mengkonfirmasi ketidakpahaman atas subtansi hukum yang seharusnya dijunjung tinggi. Wiranto, mengeluarkan 3 (tiga) pernyataan yang tak berdasar :
Pertama, Wiranto kembali mengulang-ulang ujaran bahwa HTI adalah ormas Terlarang.
Kedua, Wiranto memframing ajaran Islam khilafah sebagai ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45.
Ketiga, Wiranto tak hanya melarang HTI mendakwahkan khilafah, tetapi juga melarang ormas atau individu lainnya untuk tidak mengajarkan ajaran Islam khilafah, yang merupakan sistem pemerintahan Islam yang Agung.
Berdalih Perppu dan Putusan PTUN Jakarta
Dalam statementnya, implisit Wiranto merujuk putusan Pengadilan PTUN Jakarta yang menolak Gugatan Sengketa TUN yang diajukan oleh ormas Islam HTI. Narasi Ormas Terlarang dan khilafah ajaran yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, selalu diulang-ulang berdalih telah ada putusan hukum PTUN Jakarta, yang saat ini putusannya telah final seiring dengan keluarnya putusan kasasi dari MA.
Mengenai hal ini, perlu penulis tegaskan ulang beberapa poin jawaban atas berbagai tudingan Wiranto terhadap HTI dan khilafah.
Pertama, dalam putusan MA yang menolak kasasi HTI hanya menguatkan putusan tingkat banding dan tingkat pertama di PTUN Jakarta. Padahal, amar putusan pada putusan PTUN Jakarta, hanya menolak gugatan HTI.
Artinya, putusan PTUN Jakarta, PTTUN DKI Jakarta dan putusan kasasi MA hanya mengesahkan dan menguatkan terbitnya KTUN Objek Sengketa berupa Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 Tahun 2017 tentang Pencabutan Status Badan Hukum HTI tetap berlaku.
Dalam Diktum putusan KTUN Objek Sengketa hanya memuat tentang pencabutan status BHP HTI yang pernah dikeluarkan oleh kemenkumham pada tahun 2014. Tidak ada satupun Diktum KTUN objek sengketa, yang menyebut HTI sebagai ormas terlarang, apalagi memutus amar khilafah dinyatakan sebagai ajaran yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Kedua, dalam aturan norma pasal yang diadopsi melalui Perppu No. 2 tahun 2017 yang kemudian dikukuhkan dengan UU No. 16 tahun 2017 tentang pengesahan Perppu No. No. 2 tahun 2017 tentang Perubahan UU No. 17 tahun 2013 tentang ormas menjadi undang undang, tidak terdapat satupun pasal yang secara tegas menyatakan khilafah adalah paham atau ajaran yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Perppu ormas hanya memperluas tafsiran ‘paham lain’ dalam penjelasan, yang memuat penjelasan paham lain itu adalah sosialisme, marxisme, atheisme dan leninisme atau paham yang bertujuan ingin mengganti Pancasila dan UUD 1945.
Ketiga, putusan PTUN Jakarta itu mengadili beshicking yang sifatnya kongkrit, individual dan final. Keputusan ini, hanya mengikat bagi pihak yang dituju keputusan.
Karenanya, Wiranto terlalu berhalusinasi jika melarang ormas Islam lainnya untuk mendakwahkan ajaran Islam khilafah, berdalih telah ada putusan hukum. Putusan PTUN Jakarta yang dikuatkan oleh MA hanya berisi penolakan gugatan HTI dan hanya mengikat bagi HTI.
Alhasil, keputusan hanya menguatkan status pencabutan BHP HTI ini hanya berlaku bagi HTI. Putusan PTUN bersifat individual, karena hanya memuat kewajiban dan keterikatan bagi individu atau institusi tertentu yang diterapkan beshicking.
Jadi, narasi melarang ormas-ormas Islam untuk mengajarkan ajaran Islam khilafah berdalih telah ada putusan yang bersifat final adalah salah, keliru dan tidak sesuai dengan fakta dan hakekat putusan tata usaha negara. Selain itu, PTUN adalah pengadilan administrasi, bukan pengadilan pidana. Adalah keliru besar jika substansi khilafah dikriminalisasi hanya berdalih telah ada putusan PTUN yang bersifat inkrah van gevisjde.
Karena itu, penulis lebih melihat substansi statement Wiranto lebih kental nuansa politik, yang bertujuan ingin menjauhkan umat Islam dari ajaran Islam khilafah. Dengan narasi itu, umat ingin dijauhkan bahkan ditakut-takuti dengan ajaran agamanya.
Lebih jauh, statement politik ini juga bertujuan untuk mengintimidasi, menteror dan mengalienasi aktivis dan para pengemban dakwah dari umat. Padahal, saat ini umat ini butuh bimbingan dan arahan sesuai petunjuk syariat Islam, agar tidak salah dalam memahami realitas politik yang terjadi di negeri ini.
Umat Akan Tetap Cinta Ajaran Islam Khilafah
Upaya politik Wiranto yang ingin menjauhkan umat dari ajaran Islam khilafah sudah pasti akan sia-sia. Sebab, khilafah adalah ajaran Nabi, bukan ajaran individu atau ormas tertentu.
Memaksa umat menjauhi khilafah dan memaksakan narasi khilafah sebagai paham yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, hanya akan menuai kegagalan, sebagaimana kegagalan Wiranto memaksa nalar publik untuk menstigmasasi bendera tauhid sebagai bendera ormas. Khilafah telah ada jauh sebelum bangsa ini didirikan, para ulama mu’tabar telah banyak membahas khilafah dalam kitab-kitab yang mereka keluarkan.
Semakin besar upaya rezim menjauhkan umat dari khilafah, akan semakin lantang umat berdiri dan membela khilafah. Tindakan politisasi hukum untuk menjauhkan umat dari khilafah, justru akan menambah rasa cinta umat pada khilafah dan menimbulkan semangat berkorban untuk mendakwahkannya.
Rasanya, Wiranto diusia yang udzur seyogyanya banyak istighfar dan mengubah sikap dan penentangannya pada ajaran Islam khilafah. Sebab, siapapun tidak akan sanggup melawan janji Allah SWT tentang akan kembali berdirinya khilafah. Semoga, Wiranto masih diberi umur panjang hingga mampu menyaksikan bagaimana khilafah berdiri kembali dan memakmurkan negeri ini. [].