Oleh: Ron Soesman, Perantau Indonesia di Jerman
thayyibah.com :: Ikut meramaikan tema hangat di tanah air tentang keriweuhan pendaftaran dan penerimaan siswa baru dengan sistem PPDB Zonasi tahun ajaran 2019.
Mengamati curhat kolega di Indonesia serta berita-berita tentang penerapan sistem kewilayahan rasanya saya ikut menarik nafas panjang. Merasakan peliknya dan habisnya energi orang tua yang tengah cemas menanti dimana buah hati tercinta melabuhkan masa depan 3 tahun mendatang. Rasanya ingin membantu berkomentar tapi pengalaman belum cukup untuk ikut urun rembuk.
Kami di Jerman tergerak ikut menggali walau tak dalam tentang apa yang berpotensi menjadi kekurangan serta bisa dilihat sebagai kelebihan agar bisa meyakinkan hati bahwa PPDB sistem zonasi ini memiliki kebaikan untuk nanti kami ingat ketika harus mendaftarkan anak-anak bersekolah sepulang dari Jerman.
Di Jerman sistem federal menerapkan otonomi sangat penuh dalam banyak hal termasuk pendidikan. Kalau di Indonesia pendidikan nasional serempak dan seragam di 34 provinsi berbeda situasinya di Jerman, otonomi setiap negara bagian memungkinkan setiap Bundesland menerapkan aturan main tersendiri mengacu pada tata kelola sistem pelayanan yang disepakati 16 negara bagian, salah satunya layanan pendidikan. Tapi ada satu prinsip yang menjadi baku dalam pendaftaran sekolah sejak SD (Grundschule) hingga jenjang lanjutan (Gymnasium atau Berufschule) yaitu Zonasi.
Saya jelaskan lebih rinci pada bagian ini karena tiga anak kami merupakan hasil dari sistem zonasi yang diberlakukan Pemerintah Kota Berlin. Di Jerman, khususnya Berlin setiap anak usia sekolah sejak tingkat TK (Kindergarten) menjadi tanggung jawab Dinas Pendidikan dan Kepemudaan dalam bahasa Jerman disebut Jugendamt. Orang tua di Jerman tak perlu sibuk mendaftarkan sekolah karena setiap evaluasi dan tes perkembangan anak sejak jenjang TK terdata pada Jugendamt. Kelayakan si anak masuk SD atau masuk ke Gymnasium mulai kelas 5 sejak awal diketahui kesiapannya.
Saya masih ingat ketika tiba-tiba kami menerima sepucuk surat berupa voucher mendaftar sekolah (Gutschein) dari Jugendamt kecamatan Lichtenberg tempat kami tinggal. Seingat kami tak pernah mendaftarkan anak ke sekolah dasar manapun. Singkat cerita voucher itu menerangkan bahwa anak kami telah layak masuk jenjang sekolah dasar berdasarkan evaluasi psikologi dan tumbuh kembang saat di level akhir taman kanak kanak lalu anak kami telah terdaftar di sekolah dasar atau sekolah lanjutan A, titik! Tak ada kesempatan alternatif pilihan seperti halnya PPDB Zonasi di Indonesia yang masih leluasa memilih.
Setiap bulan Mei atau Juni, orang tua calon siswa sekolah dasar maupun sekolah lanjutan di Jerman hampir dipastikan memiliki aktivitas yang sama dan tentu saja tak semerepotkan masa pendaftaran siswa di Indonesia.
Surat dari Jugendamt seolah menegaskan kepada seluruh orang tua/wali bahwa masa depan anak anda telah menjadi tanggung jawab kami, anda para orang tua cukup menunggu pemberitahuan lanjutan teknis dari sekolah dimana kami mendaftarkan putra/putri anda. Apa yang anda siapkan hanya perlengkapan tas dan sepatu serta hal-hal kecil murah dan meriah sebagai bagian prosesi penyambutan siswa baru di sekolah masing-masing…mudah dan tak bikin pusying!
Lalu dimana zonasi dimainkan? Kami tinggal di lingkungan permukiman yang disebut Kiez (setingkat RW di Indonesia), setiap Bezirk (kecamatan) memiliki cakupan wilayah kerja tak beda dengan situasi di Indonesia. Setiap anak usia sekolah hanya boleh bersekolah di lokasi yang sangat walkable atau rideable dengan sepeda dari tempat tinggal kita. Dengan kata lain kewilayahan dimainkan dengan sangat adil bagi seluruh warga terlepas dia kaya/miskin, orang penting/agak penting, gendut/langsing pokonya tak ada celah mengatur sekolah sesuka hati. Ikuti atau mati eh ikuti lalu syukuri. Begitulah azas fairness dari sistem zonasi yang dimainkan pemerintah Jerman sejak ratusan tahun lalu.
Sumber: Republika.co.id