Oleh: Mochamad Toha
Rangkaian peristiwa sejak kepergian Prabowo ke luar negri hingga kunjungan Menhan AS ke Jakarta, harus dibaca dalam satu rangkaian yang tak terputus.
Tampaknya, Presiden AS Donald Trump tidak alergi lagi pada ormas Front Pembela Islam (FPI). Perubahan pandangan ini setidaknya ditampakkan dalam tulisan di media AS, seperti The Washington Post yang menulis kiprah FPI saat ada bencana.
Melansir Demokrasi.co.i, Kamis (13/6/2019), kiprah FPI dalam membantu korban bencana alam di Indonesia tidak bisa dianggap sepele. Front bentukan Habib Rizieq Shihab itu selalu terdepan dalam setiap penanganan bencana.
Jurnalis Stephen Wright menulis dedikasi FPI tersebut dalam artikel berjudul When Disaster Hits, Indonesia’s Islamists are First to Help yang diunggah di The Washington Post pada 11 Juni 2019 lalu.
Dia mengawali tulisan itu dengan menceritakan bendera FPI yang terpasang di rumah Anwar Ragaua, korban tsunami Palu, Sulawesi Tengah, 28 September 2019. Pria berusia 50 tahun itu menghiraukan perintah polisi untuk menurunkan bendera tersebut.
Anwar adalah satu-satunya nelayan yang selamat saat tsunami melanda ibukota Sulteng, 28 September lalu. Anwar mengenang bahwa saat itu tidak ada polisi dan pemerintah yang membantu evakuasi di daerahnya.
Sebaliknya, pihak pertama yang menawarkan harapan kepadanya adalah FPI. Bahkan, FPI turut menyerahkan kapal baru untuknya kembali melaut. Anwar tinggal di kampung nelayan di daerah terpencil yang sulit terjangkau.
Itulah sebagian fakta yang ditulis Wright di The Whasington Post. Kehadiran FPI dalam tanggap bencana mulai dilakukan pada saat terjadi tsunami Aceh pada 2004. Tsunami ini menewaskan lebih dari 100 ribu orang di Serambi Mekah.
Teranyar, FPI turut berperan dalam mengevakuasi korban gempa dan tsunami Palu yang menewaskan lebih dari 4.000 jiwa. Mereka membantu pencarian korban, mendistribusikan bantuan ke daerah pelosok, dan membangun perumahan sementara dan masjid baru.
Wright menguraikan, sejak didirikan dua dekade lalu, FPI konsisten mendorong hukum Islam untuk mengatur kehidupan 230 juta muslim Indonesia. FPI menilai ada kesalahan konstitusi di Indonesia yang mengubah negara menjadi lebih sekuler.
FPI dibentuk di Jakarta oleh unsur-unsur militer Indonesia setelah jatuhnya diktator Soeharto pada 1998 sebagai alat untuk menghadapi aktivis pro-demokrasi dan liberalisme. Menurut Panglima Laskar Pembela Islam (LPI) Maman Suryadi Abdurrahman bahwa jumlah anggota FPI saat ini mencapai lebih dari satu juta orang. Maman juga memastikan bahwa FPI tidak dalam tujuan mendorong Indonesia berpaham khilafah.
Mereka bahkan memasang bendera merah putih dalam seragam untuk memastikan tidak anti dengan NKRI. “Tujuan kami adalah menjadikan Indonesia, di mana Islam adalah agama mayoritas rakyat, menjadi religius dan bersih dari amoralitas,” tegas Abdurrahman.
“Kami menginginkan negara Islami, bukan negara Islam, karena negara yang religius akan mencegah negara dari menderita ketidakadilan sosial,” sambungnya. Pemahaman seperti ini tampaknya sudah bisa diterima Presiden Donald Trump.
Menjelang sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang diajukan paslon 02 Prabowo Subianto– Sandiaga Uno, The Straits Timesjuga menulis: Security heightened as pre-trial hearing begins fot #Prabowo’s challenge of #Indonesia poll results str.sg/oCkd.
TST menulis, keamanan diperketat sejak MK menyidangkan gugatan Prabowo. Media asal AS itu sejak sidang PHPU ini mulai memantau persidangannya. Atensi media AS tersebut setidaknya menggambarkan sikap politik Pemerintahan Presiden Trump.
Pujian The Washington Post atas kiprah FPI terkait bantuan ketika ada bencana alam tentu sangat menarik untuk dikaji. Pasalnya, selama ini sejak kampanye Pilpres AS lalu, Trump dikenal “anti” Islam, sampai membatasi orang Islam yang mau masuk AS. Makanya, saat The Washington Post tiba-tiba menulis kiprah FPI saat ada bencana, pasti terdapat sinyal atau pesan khusus terkait rivalitas pada Pilpres 2019 antara paslon 01 Joko Widodo–Ma’ruf Amin dengan paslon 02 Prabowo–Sandi. Apalagi, banyak fakta menunjukkan adanya kecurangan terstruktur, sistemik, dan massif (TSM) dalam proses Pilpres 2019, yang semua itu bisa dilihat melalui jaringan internet di berbagai negara. Perhatian dunia kini sedang tertuju ke Indonesia.
Sebelumnya, Prabowo ke Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), Selasa, 28 Mei 2019, bersama 4 orang WNA, Mr. Mikhail Davzdov (RUSIA), Mrs. Anzhelika Butaeva (RUSIA), Mr. Justin Darrell Flores Howard (USA), dan Mr. Mischa Demermann (GERMAN).
Prabowo memang cerdas dan cerdik! Mantan Danjen Kopassus itu piawai memanfaatkan jaringan koleganya di luar negeri untuk mencari dukungan agar lembaga peradilan seperti MK bersidang secara profesional dan sesuai UU dan amanat konstitusi.
Tafsir Opini
Lawatan Prabowo bersama utusan “tidak resmi” dari Jerman, Rusia, dan AS itu, kini tampak sekali hasilnya. Prabowo sudah benar gandeng ketiga negara tersebut. Untuk hadapi pengaruh politik China di Indonesia, China memang harus dikepung seperti itu.
Upaya kubu paslon 01 untuk mempertemukan Prabowo dengan Jokowi sebelum sidang MK, yang dilakukan oleh koleganya semasa dinas di TNI, seperti Luhut Binsar Panjaitan maupun Susilo Bambang Yudhoyono selalu gagal, tak pernah terwujud. Saat bertemu Ketum DPP Partai Demokrat SBY di kediamannya, Puri Cikeas, Kabupaten Bogor, Prabowo menolak mengalah dengan alasan apapun. Sebab, keputusan yang dilakukan akan menentukan masa depan NKRI dari ancaman komunis China.
“Prabowo tidak mau ditipu lagi seperti ketika Pilpres 2014,” ungkap sumber Pepnews.com. Sudah bukan rahasia, ternyata pada Pilpres 2014, Presiden RI ke-6 itu mendukung Jokowi hingga Pilpres 2019, meski partainya bergabung dalam koalisi paslon 02. Sehingga, wajar jika SBY kemudian berusaha meminta agar Prabowo bersedia mengalah dengan menerima hasil rekapitulasi KPU pada 21 Mei 2019 itu.
Satu-satunya langkah pamungkas dan cukup strategis yang perlu dilakukan Prabowo adalah memanfaatkan jaringan akses luar negerinya seperti UEA, Jerman, Rusia, dan AS itu. Ketiga WNA itu, apapun latar belakangnya, jelas mewakili otoritas tertinggi negaranya.
Mereka itu semacam “utusan khusus”. Untuk menjalin kesepakatan baru dengan Prabowo. Jerman boleh dibilang mewakili kepentingan Uni Eropa. AS juga sudah jelas mewakili kepentingan persekutuan Amerika-Inggris. Menariknya, sejak Inggris keluar dari Brexit, AS-Inggris dalam ekonomi politik merupakan kutub tersendiri di luar UE yang dimotori Jerman dan Perancis. Bagaimana kaitannya dengan Rusia, kan ada AS juga?
Rusia dan AS memang musuhan berat, karena Presiden Trump sudah mencanangkan China dan Rusia sebagai musuh utama secara politik dan militer. “Tapi ingatlah, Eropa Barat lewat UE, sangat tergantung pada Rusia dalam pasokan gas,” ungkap Hendrajit. Menurut Direktur The Global Future Institute tersebut, dengan hengkangnya Inggris dari UE, “Rusia jadi strategis di mata Uni Eropa,” lanjutnya.
Selain itu, meski sejak 2001 Cina dan Rusia terikat kerjasama solid melalui payung Shanghai Cooperation Organization/SCO, tapi ekspansi China di Asia dan Afrika di bidang ekonomi bikin negeri beruang merah ini tidak happy.
“Sehingga kerjasama baru UE dan Rusia merupakan sebuah terobosan baru bukan saja untuk mengimbangi China. Tetapi, juga untuk mengimbangi persekutuan tradisional AS-Inggris,” lanjut Hendrajit kepada Pepnews.com.
Bagaimana dengan AS? Setidaknya utusan khusus seperti Mr. Justin Darrell Flores Howard (USA) yang ikut terbang bersama Prabowo kala itu tentunya sudah melaporkan kepada Presiden Trump mengenai hasil pembicaraannya dengan Prabowo.
Makanya, tidak heran kalau media sekelas The Washington Post menurunkan artikel kiprah FPI ketika terjadi bencana. Pensiunan Jenderal seperti SBY, Luhut Binsar Panjaitan maupun AM Hendropriyono pasti paham dengan sinyal dari negeri Paman Sam ini.
Artinya, mereka harus mengerti bahwa AS tidak lagi menyokong Jokowi, akan mengalihkan dukungannya ke Prabowo. Makanya, jangan terkejut jika belakangan ini banyak sikap politik yang melunak di kalangan pejabat pemerintah.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian sampai perlu meluruskan opini tentang keterlibatan mantan Kakostrad Mayjen (Purn) Kivlan Zein dalam kerusuhan 21-22 Mei di Jakarta 2019. Kata dia, Polri tak pernah menyebut Kivlan sebagai dalang kerusuhan pasca-Pilpres 2019 tersebut. Apalagi, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Sebagai Menhan, Ryamizard yang pasti berada di bawah Menko Polhukam Wiranto. Namun, Ryamizard tak segan-segan menafikan adanya ancaman pembunuhan terhadap 4 tokoh, termasuk Wiranto. Sikapnya cukup jelas, tegas, dan tidak multi interpretasi bahwa Ryamizard tidak percaya isu adanya ancaman pembunuhan pada 4 tokoh nasional, Luhut Binsar Panjaitan, Wiranto, Budi Gunawan, dan Gorries Mere itu.
Apalagi, adanya dugaan pemasok senjata illegal adalah salah satu mantan Danjen Kopassus, Soenarko. Belum lagi, belakangan ini sejumlah purnawirawan perwira tinggi TNI AD banyak yang “turun gunung”, bahkan bersatu padu dengan rakyat.
Mereka menyuarakan kritik keras bahkan protes atas kelangsungan demokrasi yang dirasakan ternoda oleh kecurangan secara TSM yang kini sedang diproses Mahkamah Konstitusi (MK). Tidak hanya itu! Ryamizard pun menyayangkan adanya upaya mengkriminalisasi sejumlah purnawira TNI yang nota bene adalah para mantan jenderal di lapangan. “Semua itu teman-teman saya!” tegasnya. Pesan ini jelas! Apalagi di ujung pidatonya Ryamizard mengatakan, jika dia harus bertindak, maka “alat”nya adalah Tentara! Dan dia tak akan kenal kompromi. To be honest, cobalah tanya kepada para tentara di akar rumput, prajurit di lapangan!
Apakah belakangan ini mereka masih merasa kondisi negeri ini so far fine saja?! Ataukah mereka sebenarnya sudah “gerah”?!
Dengan kedatangan Patrick M Shanahan, Acting Defense Secretary (Menhan sementara yang baru diangkat beberapa bulan lalu, karena Jenderal Mattis mundur), sebagai tamunya Menhan Ryamizard, Washington mengisyaratkan akan bergeser ke tengah. Sebab dalam beberapa statement-nya akhir-akhir ini, Ryamizard menunjukkan garis politik yang tidak sejalan dengan Trio Jenderal: Hendropriyono, Wiranto, dan Luhut. Sikap berseberangan Ryamizard terhadap Trio Jenderal itu sekaligus menyuarakan alter ego Megawati dan kubu Teuku Umar. Yang sepertinya juga mulai membaca gelagat bakal terjadi keadaan yang tak terduga beberapa waktu ke depan.
Dari kunjungan Menhan AS kali ini, justru penting bukan untuk membaca apa maunya AS. Tapi, “Buat membaca kondisi obyektif negeri kita saat ini,” ujar Hendrajit. Rangkaian peristiwa sejak kepergian Prabowo ke luar negri hingga kunjungan Menhan AS ke Jakarta, harus dibaca dalam satu rangkaian yang tak terputus.
Jadi, jelas bukan, Jiwa Korsa itu kuat, Jenderal!