Objek gugatan pasangan 02 di Mahkamah Konstitusi (MK) adalah keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menetapkan pasangan 01 sebagai pemenang Pilpres. Para lawyer 02 saya yakin faham betul tentang itu.
Karena itu, jangan buang waktu untuk debat atau komentar yang tak perlu. Petitum dalam gugatan harus fokus pada keputusan KPU itu agar terhindar dari _obscuur libel (gugatan kabur). Kita tahu, “burden of proof” (beban pembuktian) terletak pada Penggugat. Rasulallah SAW berkata,
لو يعطى الناس بدعواهم، لادعى رجال اموال قوم ودماءهم، لكن البينة على المدعي، واليمين على من انكر
“Andai setiap orang diberikan apa yang dia gugat, niscaya orang-orang akan menggugat harta dan (menuntut) darah kaum lainnya, tetapi (beban) pembuktian adalah tugas penggugat, dan sumpah atas kaum yang menolak (gugatan itu)”?
Kita tahu, dalam sidang keperdataan, termasuk sengketa Pilpres, kebenaran yang dicari adalah kebenaran formil. Artinya, alat bukti harus memenuhi unsur pembuktian formal agar terbangun keyakinan di sisi hakim MK bahwa benar telah terjadi kecurangan pemilu yang “Terstruktur, Sistematis dan Massif” (TSM).
Jika pasangan 02 gagal membuktikan kecurangan itu, pasangan 01 akan dilantik pada Oktober mendatang. Apalagi, Prof. Yusril Ihza Mahendra selaku kuasa hukum 01 telah mendaftarkan diri sebagai PIHAK TERKAIT. Artinya, walaupun gugatan diarahkan oleh pasangan 02 ke KPU, pasangan 01 dapat intervensi setiap saat dalam proses persidangan, tentu dengan menyertakan dalil-dalil bantahan.
Terus terang, melihat selisih angka suara yang mencapai sekitar 17 juta dan posisi 01 sebagai petahana, saya berpendapat, perjuangan para lawyer 02 sangat berat, jika tidak dikatakan mustahil. Namun demikian, percayalah pada kaidah hukum Romawi, “ubi jus ibi remedium” (Setiap perbuatan curang pasti dapat balasannya).
Inayatullah Hasyim (Dosen FH Univ. Djuanda Ciawi)