Oleh : Dr. Chazali H. Situmorang (Pemerhati Kebijakan Publik/Dosen FISIP UNAS)
Tidak ada judul lain yang tepat, yang dapat saya tulis dalam artikel ini. “Prabowo di Ambang Kemenangan”, merupakan narasi yang tepat atas debat Jokowi dengan Prabowo yang berlangsung selama 2 jam, di media televisi mainstream. Debat mengangkat tema Ideologi Pancasila, Pemerintahan, Pertahanan dan keamanan dan Hubungan Internasional.
Saya berusaha secara objektif dalam mengamati perdebatan tersebut, walaupun saya tidak bisa menyembunyikan subjektifitas atas kemampuan retorika, dan literasi masing-masing capres, yang diunggulkan oleh Prabowo.
Dari sisi penampilan, sejak awal Jokowi seperti kehilangan energi, tidak tahu pasti apa karena terlalu lelah mengikuti kampanye di berbagai wilayah. Berbeda dengan penampilan debat kedua dua bulan yang lalu, lebih agresif, menohok, dan menyerang personal Prabowo.
Pada debat kedua, banyak penonton TV yang kurang “sreg” dengan gaya Prabowo yang terkesan –soft_ berbeda dengan imej yang dibangun selama ini sebagai figur yang keras, tegas, dan sebagai penantang akan terus menyerang.
Debat keempat ini, Prabowo menunjukkan karakternya, yang percaya diri, menguasai persoalan, literasi nya bagus, vacabularinya lebih banyak, percaya diri dengan apa yang disampaikan dan apa yang diinginkan.
Bagaimana dengan Jokowi, dari awal sampai akhir, terkesan datar, tidak meninggi seperti debat sebelumnya. Lebih banyak terjebak dan kedodoron dalam merespons persoalan yang diangkat Prabowo. Dengan literasi terbatas, vocab yang juga terbatas, terkesan menjadi sulit mencari kata-kata yang tepat dan diyakininya.
Terkait ideologi Pancasila misalnya, kedua Calon, sepakat untuk menanamkan ideologi Pancasila melalui pendidikan. Sesuatu yang sudah diungkapkan Prabowo dan didukung oleh Jokowi. Tetapi ada satu poin penting yang tidak ada dalam literasi Jokowi adalah gagasan Prabowo bahwa Pancasila tidak cukup melalui pendidikan, tetapi adalah perlunya contoh dari seorang pemimpin.
Intinya harus ada model figur sebagai contoh implementasi Pancasila, yaitu mental korup, jual beli jabatan yang tidak sesuai dengan Pancasila.
Soal tuduhan Prabowo dituduh sebagai pelindung khilafah yang dilontarkan oleh mereka orang-orang di sekitar pendukung Jokowi, tidak diduga dijawab juga dengan geles bahwa Jokowi juga korban fitnah dituduh PKI. Selama 4,5 tahun diam saja.
Kenyataannya Jokowi tidak diam, tetapi menyatakan akan melawannya. Walaupun tak jelas siapa yang dilawan. Sedangkan yang menuduh Prabowo jelas orangnya berada di kubu Jokowi. Tapi sayangnya tidak ada upaya menjawabnya. Apakah Jokowi membenarkan tuduhan tersebut? Itulah yang menjadi pertanyaan penonton di TV.
Mengenai pertahanan dan keamanan, Jokowi “babak belur” dalam merespon permasalahan yang diangkat Prabowo. Posisi Jokowi memang sulit, sebab walaupun beliau presiden, Prabowo memastikan bahwa Jokowi lebih banyak mendapatkan laporan ABS dari Petinggi TNI. Jokowi terjebak dengan kebanggaannya sudah mengalokasikan Rp. 107 triliun anggaran pertahanan dari APBN.
Ungkapan tersebut langsung disambar Prabowo, dana sebesar itu tidaklah banyak, jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura yang anggaran pertahanannya 30% dari APBN.
Apa gunanya menambah squadron, pangkalan armada, maupun divisi-divi pasukan, radar-radar pertahanan udara, jika kapal perang negara asing masuk, peluru kendali kita tidak cukup untuk menghadangnya.
Kemudian Jokowi memberikan argumentasi bahwa berdasarkan analisis situasi pertahanan global, dalam 20 tahun mendatang tidak ada invasi negara asing ke Indonesia. Ungkapan itu disambar lagi oleh Prabowo. Kita tidak bisa menduga isi hati negara lain. Prinsipnya jika kita negara lemah, pasti akan diterkam oleh negara kuat. Jadi Pertahanan negara itu penting, sebagai alat perdamaian, dan juga siap berperang jika diserang.
Dalam materi pemerintahan, Jokowi mengutamakan percepatan pelayanan melalui sistem IT yang terpadu dari pusat sampai ke level bawah. Prabowo setuju IT penting, tetapi yang lebih penting apakah sistem tersebut dapat menjamin untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan berkurangnya perilaku koruptif. Nyatanya di lapangan sebanyak 90 kementerian melakukan jual beli jabatan.
Soal hubungan luar negeri, Indonesia tidak dihormati luar negeri, karena banyak hutang, impor pangan, rupiah melemah. Di kalangan negara Asia Tenggara posisi Indonesia lemah walaupun negara luas dan penduduk melimpah. .
Begitulah yang disampaikan Prabowo. Tetapi Jokowi tidak menyerah. Diplomasi yang dilakukan Menlu soal Rohingya, telah membawa hasil, secara berangsur kembalinya pengungsi Rohingya. Prabowo setuju, tetapi diplomasi akan lebih efektif lagi, jika Indonesia itu negara kuat, pertahanannya kuat, ekonominya kuat.
Sebenarnya lebih banyak lagi, substansi debat yang menyebabkan Jokowi sulit untuk melakukan serangan balik. Kali ini Prabowo pada performance puncak. Saya yakin sikap tegas, tegar, dan percaya diri, sebagai Prajurit Sapta Marga, akan membuat ciut nyali para Jenderal-Jenderal purnawirawan di sekitar Jokowi yang sudah kehilangan jiwa Sapta marga dan Sumpah Prajurit.
Apalagi Prabowo menyatakan lebih TNI dari pada beberapa TNI lainnya. Bayangkan sejak umur 18 tahun mempertaruhkan nyawanya untuk NKRI.
Secara keseluruhan Prabowo menguasai panggung dan menguasai materi debat. Kalau besok pagi dilakukan Pilpres, maka saya dapat memastikan Prabowo terpilih jadi Presiden.
Tetapi karena Pilpres 17 April 2019, maka lebih tepat saya mengatakan bahwa “Prabowo di Ambang Kemenangan”.