Oleh : Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle
Teman saya seorang Habaib senior berdomilisi di Tebet, menelpon tadi pagi, 21-2, untuk memastikan saya datang dan duduk di panggung Munajat 212, hari ini 2 Februari, pada acara Malam Munajat 212. Dua hari lalu dia memberikan sepotong baju gamis plus kurma, yang dibawanya dari Mekkah minggu lalu.
Tentu saya menolak untuk duduk di panggung bersama para habaib dan para ulama. Ilmu saya berbeda aliran dengan para habaib2 tersebut, dan saya bukan seperti Amien Rais, Fadli Zon, Zulkifli Hasan dll yang mungkin duduk di depan karena mereka pejabat negara. Saya menolak ajakan Habieb tersebut, sambil meyakinkan dia bahwa saya akan ada ikut bermunajat kepada Allah SWT sebagai preserta. Dan saya berjanji menuliskan apa yang saya lihat dan rasakan dari majlis Munajat 212 tersebut.
Munajat, menurut Habib tersebut adalah mengetuk pintu langit, memohon bantuan Allah. Tujuan munajat ini adalah untuk keselamatan bangsa wa bil khusus Imam Besar bangsa kita Habib Rizieq Sihab (HRS).
Setelah menghabiskan kopi di Walnut Sarinah Thamrin, pas Maghrib, saya berpisah dengan Adhi Massardhi, mantan Juru Bicara Presiden Gus Dur, mengganti pakai gamis, Sholat dan menyusuri jalan Sabang menuju Monas.
Hanya butuh beberapa menit menuju Monas. Dan Monas tentu saja sudah dipenuhi puluhan ribu rakyat yang datang dari Jakarta dan Luar Jakarta. Panitia mengumumkan jamaah terjauh berasal dari Makasar, seorang ibu berusia 82 tahun.
Lalu apa yang saya rasakan?
Pada 212 (2/12/18) lalu, saya menulis tentang Rizieqism berdasarkan kajian saya tentang sosok Imam Besar Habib Rizieq Sihab, kenapa dia begitu fenomenal, sehingga bisa massa berkumpul jutaan jiwa. Ada 5 pilar dalam Rizieqism tersebut, yakni 1) Perjuangan Islam adalah perjuangan keadilan sosial, 2) Perjuangan di akar rumput, bukan di elit, 3) Islam sebagai alat persatuan, 4) Berjuang tidak mengenal kompromi dan 5) Tanggung jawab sosial langsung.
Namun, saat ini saya lebih melihat dan mengobservasi sebuah acara Munajat kepada Allah, yang diprakarsai Lembaga Dakwah FPI ini. Yang saya rasakan dan lihat adalah 1) Massa yang hadir mayoritas adalah benar-benar massa akar rumput. 2) Massa yang hadir memahami situasi politik nasional dan bersikap berani mengambil resiko politik sesuai dengan sikap politik Imam Besar HRS. 3) massa ini memanjatkan Zikir, Barjanji, Shalawat Nabi dan doa2, sehingga massa ini bukanlah yang dituduhkan sebagai Wahabi atau Salafis, yang selalu dipropagandakan musuh2 Islam untuk memecah belah. 4) pengorganisasian dalam mengendalikan massa dilakukan sangat baik, termasuk adanya pasukan volunteer mengambil sampah, memeriksa keamanan, memungut infaq dan membagikan makanan. 5) Massa ini datang secara sukarela, tidak ada mobilisasi. Sukarela mungkin pengertiannya mereka bagian dari network pengajian para Habaib maupun FPI, namun tentu tidak menutup kemungkinan banyaknya masyarakat biasa yang terpanggil.
Secara politik apa makna yang saya lihat dan rasakan ini?
Dalam orasinya, Sobri Lubis, Ketua Umum FPI menjelaskan bahwa Munajat kepada Allah ini adalah untuk meminta keselamatan bangsa dan negara. Khususnya adalah keselamatan Imam Besar bangsa Habib Rizieq Sihab.
Ustad Lubis mengetengahkan ketidak adilan negeri ini. Dia mencontohkan sahabatnya Habib Bahar bin Smith langsung dijadikan tersangka dan ditahan karena menyatakan sesuatu yang jelek tentang Jokowi. Padahal, ada seorang anak Cina, kata Lubis, yang memghina dan mengancam bunuh Jokowi dan viral, sedikitpun tidak digugat hukum. Hukum hanya ditujukan untuk ulama dan tumpul ke anak Cina itu.
Kedua, Lubis mencatat juga ketidakadilan dilakukan rezim Jokowi kepada Ahmad Dhani dan Buni Yani.
Merujuk pada isu ketidak adilan hukum ini, Sobri Lubis menanyakan pada massa rakyat apakah mereka menjadi takut dengan kriminalisasi ulama itu? secara serentak semua massa rakyat mengatakan mereka tidak takut dan bersiap mati ataupun masuk penjara untuk kemulian pemimpin mereka.
Secara politik massa rakyat ini tentunya merupakan kekuatan besar yang vis a vis berhadapan dengan kekuatan Jokowi, yang mungkin sebentar lagi belum tentu terpilih.
Ini adalah situasi yang hampir atau sudah berusia 5 tahun permusuhan massa Islam dengan Jokowi. Yang mungkin akan berkelanjutan jika tidak ada jalan keluarnya.
Ketika saya melihat massa inti yang beratribut LPI (Laskar Pembela Islam), anak2 muda yang usianya belasan dan 20 an tahun, saya membayangkan mereka seperti “Pasdaran”, garda inti Khomeini ketika melakukan revolusi Islam di Iran. Semakin kemari massa militan Islam diwarnai anak2 muda dan semakin muda.
Sebagai intelektual yang dijejali ilmu sekuler, saya belum mampu menjelaskan mengapa militansi massa rakyat akar rumput bisa berhubungan dengan spritualitas. Kaum sosialis, dan sekuler umumnya membenturkan kesenjangan yang bersifat material sebagai pemompa militansi rakyat kecil, seperti yang di lakukan Tan Malaka di Lebak, di masa revolusi. Namun, dalam massa tadi tidak sedikitpun hal itu dibahas ustad Sobri Lubis. Semua acara diwarnai doa doa, takbir dan zikir.
Namun massa yang massif dengan kesadaran politik, adalah massa rakyat yang harus dilihat sebagai sebuah massa sadar. Ini adalah sebuah massa yang bangkit, bukan massa tidur.
Besarnya jumlah massa militan Islam yang ada di ibukota dengan konektivitas mereka pada eksistensi Imam Habib Rizieq, kelihatannya pembicaraan kebangkitan Islam dan kebangkitan bangsapun sangat ditentukan kemauan elit2 nasional memuliakan Habib Rizieq. Sebagaimana yang disuarakan pembaca Munajat Qubra, Kyai Qurtubi, Imam FPI Banten tadi, bahwa negara harus memulangkan Habib Rizieq dan keluarganya ke Indonesia secara selamat.