Oleh : Hersubeno Arief
Pemerintah secara resmi membatalkan rencana pembebasan bersyarat Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Kepala Staf Presiden Moeldoko mengatakan, Ba’asyir tidak memenuhi syarat formil untuk dibebaskan.
Kasus ini sempat mengundang kehebohan tidak hanya di dalam negeri, namun juga menjalar ke negara tetangga Australia.
Perdana Menteri Australia Scott Morisson menyampaikan protes. “Kami meminta pemerintah Indonesia menunjukkan rasa hormat yang besar kepada Australia dengan membuat Ba’asyir menjalani hukumannya secara penuh,” tegasnya.
Ba’asyir pada bulan Juni 2011 dijatuhi hukuman selama 15 tahun karena dinilai terbukti mendanai pelatihan militer kelompok teroris di kawasan Aceh. Di luar kasus itu dia juga dituding terlibat Bom Bali. Namun pengadilan membebaskannya. Tidak cukup bukti.
Pada peristiwa Bom Bali yang terjadi tanggal 12 Oktober 2002, sebanyak 202 orang tewas. Korban terbanyak berasal dari Australia (88 orang) Indonesia (38 orang), Inggris (24 orang). Sisanya berasal dari berbagai negara.
Australia hingga saat ini tetap meyakini keterlibatan Ba’asyir. Karenanya rencana Jokowi membebaskannya menuai protes besar di Australia. Bukan hanya pemerintah, namun para keluarga korban, aktivis, dan media ramai-ramai menyatakan terkejut, kecewa, dan marah atas keputusan itu.
Di dalam negeri kasus ini juga menimbulkan tarik-menarik kepentingan yang sangat keras di kalangan pemerintah, dan pendukung Jokowi. Banyak yang kecewa, karena Jokowi dinilai memberi angin kepada kelompok radikal.
Kasus ini kian menunjukkan betapa Jokowi menjalankan pemerintahan ini secara impulsif. Tanpa pemikiran dan pertimbangan yang matang. Grasa-grusu. Sebuah keputusan yang diambil, kemudian diralat dalam hitungan hari, bahkan jam.
Bermula dari kedatangan Yusril Ihza Mahendra pengacara Jokowi-Ma’ruf Amin ke LP Gunung Sindur Bogor tempat Ba’asyir di tahan, Jumat (18/1). Yusril mengatakan bahwa dia ditugaskan oleh Presiden Jokowi untuk mengumpulkan data, mengamati, upaya pembebasan Ba’asyir.
Dari telaah hukum yang dilakukan, Yusril mengatakan pembebasan Ba’asyir akan dilakukan secepatnya sambil membereskan urusan administrasi pribadi di Kementerian Hukum dan HAM. “Setelah bebas nanti, Ba’asyir akan pulang ke Solo dan tinggal di rumah anaknya,” ujarnya.
Pada hari yang sama di Garut Jokowi juga menyampaikan rencana tersebut. ”Ya yang pertama memang alasan kemanusiaan. Beliau kan sudah sepuh. Ya pertimbangannya pertimbangan kemanusiaan. Termasuk ya tadi kondisi kesehatan,” kata Jokowi.
Jelas sudah ini merupakan keputusan yang diambil Jokowi setelah mendengar pendapat dan saran Yusril.
Statemen Yusril dan Jokowi menjadi bola liar. Pro kontra bermunculan, termasuk dari PM Scott Morisson. Menko Maritim Luhut Panjaitan dan cawapres Ma’ruf Amin menilai sikap Morisson sebagai campur tangan masalah dalam negeri Indonesia. “ Emang dia yang ngatur kita,” ujar Luhut ketus.
Sampai disini tampaknya sikap Jokowi tetap pada posisi akan membebaskan Ba’asyir. Termasuk ketika Ba’asyir menyatakan tidak bersedia menandatangani ikrar kesetiaan pada Pancasila dan NKRI. Menurut Yusril ketentuan peraturan Menkum HAM itu bisa dikesampingkan. Presiden sudah setuju, pembebasan tanpa syarat.
Senin (21/1) malam Wiranto tiba-tiba mengadakan jumpa pers mendadak. Dia menyatakan presiden bersama menteri dan pejabat terkait perlu melakukan kajian mendalam soal rencana pembebasan. “Jadi Presiden tidak boleh grasa-grusu serta merta memutuskan, tapi perlu pertimbangan aspek-aspek lainnya,” ujarnya.
Pernyataan Wiranto itu cukup mengejutkan. Pertama, dia menganulir pernyataan Presiden Jokowi dan semua proses yang tengah dilakukan untuk membebaskan Ba’asyir. Kedua, pilihan kosa kata “Presiden tidak boleh grusa-grusu.”
Secara harfiah grasa-grusu dalam bahasa Jawa berarti gegabah. Dari sisi rasa bahasa, maupun tata krama unggah-ungguh politik, tidak pada tempatnya seorang menteri menggunakan kosa kata itu kepada seorang presiden.
Proyek Politik
Agak sulit membantah rencana pembebasan Ustadz Ba’asyir merupakan proyek politik Jokowi yang tengah dijalankan Yusril. Targetnya meningkatkan basis elektoralnya yang terus tergerus.
Ketua Umum PBB itu telah membuka topengnya dari seorang pengacara, menjadi tim sukses dengan tugas khusus menggarap segmen pemilih Islam. Sejak awal sudah bisa diduga keputusan Yusril bersedia menjadi “Pengacara” Jokowi-Ma’ruf hanya sebagai pintu masuk agar dia bisa secara mulus menjadi timses.
Pilihan atas Ustadz Ba’asyir direncanakan sangat matang untuk menggerus dan sekaligus masuk ke segmen pemilih muslim yang masih tetap menjadi titik lemah Jokowi. Secara kasat mata Jokowi ingin memperkuat pengaruhnya di kalangan umat Islam, sekaligus menghapus stigma bahwa dia melakukan kriminalisasi ulama.
Cawapres Ma’ruf Amin memuji setinggi langit langkah Jokowi sebagai bukti kepeduliannya kepada seorang ulama. “Bukti Pak Jokowi cinta ulama,” puji anggota TKN Ace Hasan Sadzily.
Proyek politik ini juga sekaligus bisa digunakan untuk menghantam kubu Prabowo. Ba’asyir ditahan dan diadili pada masa pmerintahan SBY yang kini menjadi sekutu kuat Prabowo. Harus dilakukan delegitimasi atas SBY.
Jika proyek ini berhasil, kemungkinan Jokowi akan melangkah lebih jauh. Misalnya membebaskan Ustad Alfian Tanjung yang kini di tahan di LP Porong, Sidoarjo. Puncak dari semuanya adalah menerbitkan SP3 dan membebaskan Habib Rizieq Shihab dari semua tuntutan hukum.
Sayang operasi politik ini berantakan di tengah jalan. Jokowi tidak hanya menghadapi penentangan di kalangan pendukung garis kerasnya. Dia juga menghadapi oposisi di dunia internasional.
Jika Jokowi bersikeras melanjutkan pembebasan Ba’asyir, dia bakal kehilangan pemilih yang kecewa karena dinilai bergerak terlalu ke kanan. Merangkul dan mengakomodasi kelompok yang selama ini distigma radikal.
Kelompok pemilih non muslim, abangan, bahkan kaum nahdliyin (NU), dan Islam moderat lainnya dipastikan akan sangat kecewa bahkan marah.
Jokowi juga bisa kehilangan dukungan dari dunia internasional, terutama negara-negara Barat yang direpresentasikan oleh Australia. Padahal dukungan dari negara-negara Barat sangat diperhitungkan oleh Jokowi untuk mengimbangi isu bahwa dia saat ini lebih dekat ke poros Cina.
Bertemunya sejumlah duta besar negara-negara anggota Uni Eropa dengan Badan Pemenangan Pemilu (BPN) Prabowo-Sandi Jumat (18/1), bisa ditafsirkan sebagai signal adanya pergeseran dukungan yang harus diwaspadai.
Pertemuan yang terjadi sehari setelah paslon melakukan debat perdana, tidak bisa dianggap sebagai kunjungan biasa. Para duta besar yang dipimpin oleh Dubes Uni Eropa Vincent Gerend itu menanyakan soal kebijakan ekonomi Prabowo Sandi, khususnya reformasi pajak, dan keterbukaan bagi dunia bisnis dan invesatasi. Mereka juga mempertanyakan kisruh Daftar Pemilih Tambahan (DPT) yang banyak disoal publik.
Dua isu itu sangat sensitif. Soal investasi jelas tidak bisa dilepaskan dari isu dominasi modal dan TKA Cina yang membanjiri Indonesia. Sementara kisruh DPT menyangkut adanya potensi kecurangan dan masa depan demokrasi Indonesia.
Dilema dan pilihan-pilihan politik itulah yang bisa menjelaskan mengapa Jokowi membuat kebijakan tarik ulur seperti permainan yoyo soal Ba’asyir.
Posisi Jokowi saat ini mengingatkan kita pada sebuah hikayat cerita rakyat pada khasanah pemikiran Islam. Kisah seekor keledai kecil dengan seorang ayah dan anaknya. Anak beranak ini bingung siapa yang harus menaiki keledai itu karena tak cukup ditunggangi dua orang.
Ketika sang ayah yang menunggangi, banyak orang mengecam tidak sayang anak. Giliran anak yang menunggangi, dia dinilai sebagai anak yang durhaka. Tidak menghormati orang tua.
Keduanya memutuskan untuk menuntun keledai tersebut. Itu lebih adil. Namun kembali keduanya ditertawakan, dan dinilai bodoh. Ada tunggangan, namun tak dimanfaatkan.
Karena bingung, akhirnya mereka memutuskan menggotong keledai kecil itu. Semua orang yang bertemu mereka di jalan kembali menertawakan kebodohan mereka.