Oleh : Asyari Usman (Wartawan Senior)
Jangan dulu tersulut oleh judul tulisan ini. Yang saya maksud “Menghadapi Masalah Luar-Dalam” itu adalah bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak hanya dirundung masalah dalam mengelola isu-isu dalam negeri (domestik). Beliau juga mungkin membuat orang luar heran kenapa terus-menerus absen dari forum-forum internasional, seakan-akan menghindar.
Pak Jokowi empat kali absen dari sidang Majelis Umum PBB (UN General Assembly, UN-GA). Yang terbaru, Jokowi absen dari pertemuan puncak G-20 di Argentina. Lagi-lagi dia mengirim Wapres Jusuf Kalla. Padahal, mimbar UN-GA atau G-20 bisa digunakan untuk memperlihatkan posisi Indonesia sebagai negara besar. Negara dengan kekuatan geo-politik yang besar. Sekaligus pasar yang besar juga. Artinya, ruangan UN-GA dan G-20 plus agenda-agenda khusus antar-kepala negara bisa dijadikan peluang untuk menguatkan eksistensi Indonesia di komunitas internasional dan regional berkaitan dengan berbagai pertikaian yang masih belum selesai.
Absen satu kali di UN-GA bisa dipahami. Tapi, absen empat kali memerlukan penjelasan ekstra.
Kalau Pak Jokowi hadir di sana dan aktif mencari mitra dialog untuk isu-isu yang berkaitan langsung dengan kepentingan Indonesia, tentu orang lain akan menghitung kita. Apalagi kalau Jokowi bisa menunjukkan kemampuan diplomasi yang setara dengan lawan bicara. Seperti PM Mahathir Mohamad di era kejayaannya tempohari, berdiri tegak melawan kesewenangan Inggris dan Amerika Serikat.
Kira-kira apa yang menyebabkan Pak Jokowi seolah “tak suka” forum internasional?
Tidak ada yang tahu secara persis. Hanya saja, bisa diduga dari ‘nature’ pergaulan internasional. Mereka itu adalah komunitas para pemimpin handal yang menggunakan bahasa internasional. Pentas internasional itu pasti “challenging” (penuh tantangan). Di sana, pemolesan kapabilitas dan kapasitas tak bisa dilakukan. Begitu tampil, mau tak mau akan tersingkap keaslian dan kepalsuan. Tak bisa disembunyikan.
Berbeda dengan urusan di dalam negeri sendiri. Banyak yang bisa dilempar ke para pembantu, para menteri, staf ahli, dll. Ditambah lagi dukungan media-media besar yang sudah di tangan. Media yang menunya bisa dipesan oleh para penguasa. Klop. Itu pun masih kucar-kacir juga.
Di panggung antarabangsa, Anda langsung berhadapan face-to-face dengan para kepala pemerintahan yang berkelas singa podium. Mereka adala politisi-politisi berpengalaman yang terlatih argumentatif dan selalu artikulat. Berbicara tanpa hesitasi. Menjawab tanpa jedah. Setiap kata keluar bagai peluru. Para wartawan sering “kehabisan bahan”.
Mereka senang suasana yang menantang. Tapi selalu mulus melewati kepungan wartawan-wartawan kelas dunia. Selalu bisa lolos dari pertanyaan-pertanyaan rumit. Mereka pantang menyerahkan jawaban kepada menteri atau jurubicara.
Itulah gambaran tentang forum internasional. Para wartawan seringkali tak bersahabat. Apalagi diatur. Diskenariokan. Tak bakalan. Anda akan megap-megap kalau tidak menguasai masalah dan tidak cakap dalam menguraikan jawaban.
Saya punya feeling begini. Kalau ada yang berani bertanya kepada Pak Jokowi apa yang paling tak disukainya, dan beliau mau berkata dengan jujur, saya percaya jawabannya adalah “forum internasional”. Ini yang kelihatannya menjadi momok bagi Pak Jokowi. Inilah yang membuat beliau alergi.
Berdasarkan pengalaman saya meliput forum-forum internasional, para politisi yang berjabatan tinggi pantang menjadi rusa. Mereka harus manjadi singa. Sebab, mereka seringkali dikerumuni oleh srigala. Singkat kata, nyali, kapabilitas, dan kapasitas harus selalu di posisi “on”. Stand-by setiap saat.
Sebagai rakyat, kita semua prihatin dengan absensi Pak Jokowi di berbagai forum penting internasional. Di satu sisi, kita tidak ingin Pak Jokowi dianggap tak memiliki kemampuan analitik. Tak memiliki kemampuan komunikasi. Tak memiliki kapabilitas, dlsb. Tetapi, di sisi lain, kita semua mendambakan presiden yang ‘charming’ dan berkaliber. Tidak gerah di pentas-pentas internasional.
Entahlah! Saya hanya bisa mengatakan kita semua harus menerima kenyataan yang ada. Inilah presiden kita. Anda semua boleh-boleh saja berekspektasi tinggi. Tetapi, Anda semua harus ikhlas dan berlapang dada.
Cuma saya sepakat bahwa Indonesia, kita semua, sangat wajar (deserves) memiliki presiden yang berkualitas mendekati kesempurnaan. Meskipun kita sadar bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Kita wajar memiliki presiden yang berliterasi tinggi. Presiden yang bisa menyetarakan dirinya dengan para pemimpin internasional.
Indonesia wajar, dan perlu, mempunyai pemimpin yang mampu memberikan pengarahan. Bukan yang menunggu atau meminta pengarahan. Presiden yang sangat paham tentang masalah-masalah bangsa dan bisa mendeskripsikan berbagai solusi yang variatif dari satu isu ke isu lain. Presiden yang biasa dengan kerumitan.
Presiden yang bersemangat menghadiri forum-forum internasional. Presiden yang bisa membentuk arus alternatif di panggung dunia.
Sayangnya, hari ini kita harus legowo dengan Pak Jokowi yang tak mulus di luar dan sarat dengan masalah di dalam. Semoga saja “ketimpangan” ini bisa diperbaiki melalui proses pemilihan presiden tahun depan.
(Artikel ini diambil dari WAG)