thayyibah.com :: Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah sepakat tentang wajibnya mencintai dan mengagungkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam melebihi kecintaan dan pengagungan terhadap seluruh makhluk Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Akan tetapi dalam mencintai dan mengagungkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak boleh melebihi apa yang telah ditentukan syari’at, karena bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam seluruh perkara agama akan menyebabkan kebinasaan.
Tidak boleh seseorang melakukan perbuatan atau ibadah yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak contohkan, apalagi mengatakan bahwa perbuatan itu termasuk “cinta” kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam ?! Karena hakikat cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah dengan ittiba’ bukan dengan berbuat bid’ah.
Cinta kepada Allâh dan Rasul-Nya merupakan ibadah yang paling mulia. Sedangkan dalam beribadah kepada Allâh, tidak boleh seorang Muslim melakukan perbuatan bid’ah, karena bid’ah dilarang dalam agama. Orang yang mengadakan sesuatu yang baru dalam agama, maka perbuatannya tertolak, tidak diterima oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَـةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.
Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah itu adalah sesat.[1]
مَنْ أَحْدَثَ فِـيْ أَمْرِنَا هٰذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.
Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan agama kami yang tidak ada contohnya (dari kami), maka ia tertolak.[2]
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.[3]
Bentuk-Bentuk Penyimpangan Dari Cinta Kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam
Pertama. Perbuatan Syirik
Penyimpangan terbesar dari perintah ittiba’ kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah kesyirikan, yaitu menyekutukan Allâh Azza wa Jalla dengan sesuatu. Padahal, tidaklah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam diutus oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala melainkan untuk menyempurnakan tauhid dan menjauhkan syirik.
Saat ini, fenomena kesyirikan banyak merebak di tengah kaum Muslimin. Di antaranya adalah semakin banyaknya kubur-kubur yang dibangun dan disembah, serta semakin banyak pengunjungnya. Dan yang menganjurkan untuk ziarah dan menyembah kubur-kubur tersebut adalah para da’i, ustadz, dan kyai. Padahal ini merupakan perbuatan syirik akbar, sejelek-jelek bid’ah, dan bentuk penyelisihan yang paling besar terhadap petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam .
Di antara peziarah kubur tersebut ada yang sujud, thawaf, istighatsah, meminta syafa’at, dan memohon segala macam permintaan kepada penghuni kubur, terlebih lagi pada bulan Rabi’ul-Awwal, Rajab, dan Sya’ban. Perbuatan ini jelas merupakan syirik yang paling besar dan bentuk penentangan kepada Allâh dan Rasul-Nya, wal ‘iyyadzu billâh.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ ۖ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ
Dan jangan engkau menyembah sesuatu yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat (bencana) kepadamu selain Allâh, sebab jika engkau lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya engkau termasuk orang-orang zhalim. [Yunus/10:106].
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا
Sesungguhnya Allâh tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Allâh, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar. [an-Nisâ`/4:48].
Kedua. Amalan-amalan Bid’ah
Bentuk-bentuk lain dari penyimpangan atas ittiba’ kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam dan bukan merupakan bentuk cinta kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah berbagai macam perbuatan bid’ah.
1. Peringatan Maulid Nabi
Di antara bid’ah yang banyak dilakukan oleh kaum Muslimin adalah perayaan maulid Nabi pada bulan Rabi’ul-Awwal, dan sedikit sekali para da’i yang memperingatkan ummat dari penyimpangan ini. Apabila mereka yang mengadakan perayaan ini mengatakan bahwa perayaan Maulid Nabi merupakan syi’ar Islam dan kecintaan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam , maka apakah hal ini pernah dilaksanakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam , ataukah tidak? Pernahkah beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam mencontohkannya ataukah tidak? Demikian juga, apakah peringatan maulid itu pernah dilakukan para sahabat ataukah tidak?
Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam atau memperingati hari kelahiran Nabi semakin hari semakin marak bahkan diyakini sebagai suatu ibadah dan bentuk kecintaan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam padahal hal tersebut tidak pernah dilakukan pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam , sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, a-immatul-arba’ (Imam Abu Hanifah, Imam Mâlik bin Anas, Imam asy-Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal). Ketika orang melakukan peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam , jelas mereka ingin mendapatkan ganjaran, pahala, dan lainnya. Kalau seperti ini adalah ibadah sedangkan ibadah harus ada contohnya dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam .
2. Mengamalkan Shalawat-Shalawat Bid’ah
Yang perlu diperhatikan adalah tidak boleh seseorang membuat shalawat-shalawat tertentu yang tidak dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam , dan tidak dibenarkan mengkhususkan waktu dan cara tertentu dalam ber-shalawat dan memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam kecuali berdasarkan dalil shahîh dari al-Qur`ân dan as-Sunnah.
Para ulama Ahlus-Sunnah telah banyak meriwayatkan lafazh-lafazh shalawat yang shahîh, sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam kepada para sahabatnya g . Sebab bershalawat adalah ibadah, dan ibadah harus berdasarkan ittiba` (meneladani) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam .[4]
3. Berlebihan Dalam Memuji Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam
Ghuluw artinya melampaui batas. Dikatakan: “ غَلاَ يَغْلُو غُلُوًّا ,” jika ia melampaui batas dalam ukuran.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ
… Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu … [an-Nisâ`/4:171].
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِـي الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اَلْغُلُوُّ فِـي الدِّيْنِ.
Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.[5]
Salah satu sebab yang membuat seseorang menjadi kufur adalah sikap ghuluw dalam beragama, baik kepada orang shalih atau dianggap wali, maupun ghuluw kepada kuburan para wali, hingga mereka minta dan berdo’a kepadanya padahal ini adalah perbuatan syirik akbar. Dan yang dimaksud dengan ghuluw dalam hak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah melampaui batas dalam menyanjungnya, sehingga mengangkatnya di atas derajatnya sebagai hamba dan Rasul (utusan) Allâh, menisbatkan kepadanya sebagian dari sifat-sifat Ilahiyyah. Hal itu, misalnya, dengan memohon dan meminta pertolongan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam , tawassul dengan beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam , atau tawassul dengan kedudukan dan kehormatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam , bersumpah dengan nama beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam , sebagai bentuk ‘ubudiyyah kepada selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala ; perbuatan ini adalah syirik.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
لَا تُطْرُوْنِـيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ ، فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ.
Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji ‘Isa putera Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah,”Abdullâh wa Ra-sûluhu (hamba Allâh dan Rasul-Nya)”.[6]
Dengan kata lain, janganlah kalian memujiku secara bathil dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku. Hal itu sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa Alaihissalam, sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat Ilahiyyah. Karenanya, sifatilah aku sebagaimana Rabb-ku memberi sifat kepadaku, maka katakanlah: “Hamba Allâh dan Rasul (utusan)-Nya”.[7]
‘Abdullâh bin asy-Syikhkhir Radhiyallahu anhu berkata: Ketika aku pergi bersama delegasi Bani ‘Amir untuk menemui Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam , kami berkata kepada beliau, “Engkau adalah sayyid (penguasa) kami!” Spontan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam menjawab:
اَلسَّيِّدُ اللهُ .
“Sayyid (penguasa) kita adalah Allâh Azza wa Jalla “.
Lalu kami berkata, “Dan engkau adalah orang yang paling utama dan paling agung kebaikannya,” serta merta beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
قُـوْلُـوْا بِقَوْلِكُمْ أَو بَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلَا يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ.
“Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian katakan, atau seperti sebagian ucapan kalian dan janganlah sampai kalian terseret oleh setan“.[8]
Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu berkata: Sebagian orang berkata kepada beliau, “Wahai Rasûlullâh, wahai orang yang terbaik di antara kami dan putera orang yang terbaik di antara kami! Wahai sayyid kami dan putera sayyid kami,” maka seketika itu juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ وَلَا يَسْتَهْوِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ ، أَنَا مُـحَمَّدٌ ، عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ ، مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُوْنِـيْ فَوْقَ مَنْزِلَتِـيْ الَّتِي أَنْزَلَنِـيَ اللهُ
“Wahai manusia, ucapkanlah perkataan yang biasa (wajar) kalian ucapkan! Jangan kalian terbujuk oleh setan, aku (tidak lebih) adalah Muhammad, hamba Allâh dan Rasul-Nya. Aku tidak suka kalian mengangkat (menyanjung)ku di atas (melebihi) kedudukan yang telah Allâh berikan kepadaku“.[9]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam membenci jika orang-orang memujinya dengan berbagai ungkapan seperti: “Engkau adalah sayyid-ku, engkau adalah orang yang terbaik di antara kami, engkau adalah orang yang paling utama di antara kami, engkau adalah orang yang paling agung di antara kami,” padahal sesungguhnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah makhluk yang paling utama dan paling mulia secara mutlak. Meskipun demikian, beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam melarang mereka agar menjauhkan mereka dari sikap melampaui batas dan berlebih-lebihan dalam menyanjung hak beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam , juga untuk menjaga kemurnian tauhid. Selanjutnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam mengarahkan mereka agar menyifati dengan dua sifat yang merupakan derajat paling tinggi bagi hamba yang di dalamnya tidak ada ghuluw serta tidak membahayakan ‘aqidah. Dua sifat itu adalah ‘Abdullâh wa Rasûluh(hamba Allâh dan utusan Allah).
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak suka disanjung melebihi dari apa yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikan dan Allâh ridhai. Tetapi banyak manusia yang melanggar larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam tersebut, sehingga mereka berdo’a kepadanya, meminta pertolongan kepadanya, bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allâh. Hal itu sebagaimana yang mereka lakukan ketika peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam , dalam kasidah atau anasyid, dimana mereka tidak membedakan antara hak Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan hak Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam .
4. Mengamalkan Hadits-Hadits Lemah Dan Palsu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam mengancam orang-orang yang berdusta atas nama beliau. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menemui tempat tinggalnya di neraka.[10]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam juga bersabda:
مَنْ حَدَّثَ عَنِّيْ بِحَدِيْثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِيْنَ.
Barangsiapa menceritakan hadits dariku dan hadits tersebut diketahui dusta, maka ia adalah salah satu dari para pendusta.[11]
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Haram hukumnya meriwayatkan hadits maudhu’ (palsu) bagi orang yang telah mengetahui atau menurut persangkaan kuatnya bahwa derajat hadits tersebut adalah maudhu`. Maka barangsiapa meriwayatkan suatu hadits yang ia yakin atau berprasangka kuat bahwa derajatnya adalah maudhu’, namun ia tidak menjelaskan derajatnya, maka ia termasuk dalam ancaman hadits ini.”[12]
Kepada kaum Muslimin –khususnya kepada para da’i dan para ustadz– tidak boleh membawakan hadits-hadits lemah dan palsu, karena akibatnya akan menimbulkan bid’ah dan diancam masuk neraka. Hakikat cinta kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam , yaitu dengan kita mempelajari tentang hadits-hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam dan mushthalahnya, kemudian membaca kitab-kitab hadits yang shahîh, lalu mengamalkan, serta mendakwahkan-nya. Dan jangan membawakan hadits-hadits lemah dan palsu.
Para da’i harus belajar ilmu mushthalah hadits, yaitu mempelajari ilmu riwayat dan ilmu dirâyah. Ilmu riwâyatul-hadîts, yaitu ilmu tentang meriwayatkan sabda-sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, perbuatan-perbuatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam, taqrîr (persetujuan), dan sifat-sifat beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam . Adapun ilmu dirâyah hadîts, yaitu ilmu yang membicarakan tentang qawâ`id (kaidah-kaidah), yang dengannya dapat diketahui sah atau tidaknya suatu hadits tersebut, yang orang sandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam. Ilmu dirâyah hadîts membahas tiga prinsip yang ada pada hadits, yaitu sanad, matan, dan rawi.
Wallâhu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVII/1435H/2014M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______Footnote
[1] Shahîh. HR Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676), Ibnu Majah (no. 42), ad-Darimi (I/44), al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (I/205), dan al-Hakim (I/95-96). Dishahîhkan dan disepakati oleh adz-Dzahabi, juga dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Irwâ`ul-Ghalîl (no. 2455).
[2] Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 2697), Muslim (no. 1718 (17)), Abu Dawud (no. 4606), Ahmad (VI/270), Ibnu Hibban (no. 26, 27–at-Ta’lîqâtul-Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibban) dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
[3] Shahîh. HR Muslim (no. 1718 (18)) dan Ahmad (VI/146, 180, 256), dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
[4] Lihat buku Do’a dan Wirid, Sifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa slam, dan Sifat Shalawat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam oleh penulis.
[5] Shahîh. HR Ahmad (I/215, 347), an-Nasâ`i (V/268), Ibnu Majah (no. 3.029), Ibnu Khuzaimah (no. 2.867) dan lainnya, dari Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma. Sanad hadits ini shahîh menurut syarat Muslim. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1.283).
[6] Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 3.445), at-Tirmidzi dalam Mukhtashar asy-Syamâ`il al-Muhammadiyyah (no. 284), Ahmad (I/23, 24, 47, 55), ad-Darimi (II/320) dan yang lainnya, dari ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhuma.
[7] ‘Aqîdatut-Tauhîd (hlm. 151).
[8] Shahîh. HR Abu Dawud (no 4.806), Ahmad (IV/24, 25), al-Bukhâri dalam al-Adabul-Mufrad (no 211, Shahîh al-Adabil-Mufrad no. 155), an-Nasâ`i dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah (no. 247, 249). Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata: “Rawi-rawinya shahîh. Dishahîhkan oleh para ulama (ahli hadits)”. Lihat Fat-hul-Bâri (V/179).
[9] Shahîh. HR Ahmad (III/153, 241, 249), an-Nasâ`i dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah (no. 249, 250) dan al-Lalika`i dalam Syarh Ushûl-I’tiqâd Ahlis-Sunnah wal-Jamâ’ah (no. 2675). Sanadnya shahîh dari Sahabat Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu.
[10] Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 107) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[11] Shahîh. HR Muslim (hlm. 12).
[12] Syarh Shahîh Muslim (I/65).